Infeksi MRSA (methycillin-resistant Staphylococcus aureus) menjadi salah satu masalah besar dalam masalah penyakit infeksi saat ini. MRSA merupakan tipe bakteri yang resisten terhadap banyak antibiotik penting yang tersedia saat ini. Keberadaan MRSA disebabkan terutama penggunaan antibiotik yang tidak tepat. MRSA menjadi penting karena Staphylococcus aureus merupakan salah satu bakteri komensal yang ditemui di hampir setiap manusia namun sering menjadi kuman patogen pada berbagai macam keadaan. Selain merupakan masalah infeksi di rumah sakit, saat ini MRSA juga ditemukan di komunitas. Mengenal dan mengetahui penanganan dan sifat MRSA karena itu menjadi penting untuk diketahui agar dapat mencegah dan menanggulangi kasus infeksi MRSA di kemudian hari.
Daftar Isi
Apakah itu MRSA?
Sesuai dengan namanya, methicillin-ressistant Staphylococcus aureus atau MRSA adalah bakteri Staphylococcus aureus yang resisten terhadap antibiotika methicillin. Secara teknis, saat dilakukan tes resistensi memiliki nilai minimal inhibitory concentration (MIC) ≥4 μg/mL. Bakteri Staphylococcus aureus yang resisten terhadap methicillin ini juga resisten terhadap hampir sebagian besar antibiotika terutama golongan beta laktam.
Hospital-Acquired MRSA (HA MRSA) vs Community-Acquired MRSA (CA MRSA)
Pada awalnya, infeksi oleh MRSA dikenal sebagai infeksi penyulit yang dijumpai di rumah sakit atau fasilitas kesehatan. Tetapi, sejak dekade 1990-an, MRSA juga dapat dijumpai di komunitas. Kejadian infeksi di rumah sakit sekitar 70% disebabkan oleh bakteri multidrug resistance. MRSA merupakan masalah karena dapat meningkatkan kematian maupun biaya meliputi peningkatan lama rawat maupun beban komorbid.
Perbedaan antara MRSA yang didapat di komunitas (CA-MRSA) dengan rumah sakit (HA-MRSA) terletak pada tiga aspek yaitu gen pengkode resistensi, toksin yang dihasilkan, dan adanya arginine catabolic mobile element (ACME). Pada CA-MRSA, khususnya di Amerika Serikat, gen yang menjadi penyebab resistensi dikodekan oleh Staphylococcal cassette chromosome mec type IV (SCCmec tipe IV). Biasanya kuman ini hanya resisten terhadap antibiotik beta laktam dan makrolida serta masih sensitif terhadap banyak antibiotika nonbeta laktam lainnya seperti linkomisin, fluorokuinolon, rifampin, trimethoprim- sulfamethoxazole, aminoglikosida, dan tetrasiklin.
CA-MRSA juga menghasilkan beberapa toksin yang tidak umum terdapat pada strain HA-MRSA yaitu Panton-Valentine leukocidin, yang menyebabkan kerusakan leukosit dan nekrosis jaringan serta adanya arginine catabolic mobile element (ACME). Genotipe molekuler yang menyebabkan infeksi CA-MRSA adalah USA300 dan USA400.
Adapun pada HA-MRSA, gen resistensi dikodekan oleh staphylococcal cassette chromosome mec type II. Umumnya HA-MRSA banyak memiliki resistensi terhadap antibiotika lain dan jarang memproduksi toksin Panton-Valentine leukocidin. Strain yang banyak pada HA-MRSA adalah USA100 dan USA200.
Epidemiologi MRSA
MRSA pertama kali diobservasi pada tahun 1961. Sejak saat itu, insidensi MRSA terutama di negara-negara maju semakin meningkat akhir-akhir ini. Kejadian hospital-acquired MRSA (HA MRSA) cenderung stabil dan menurun namun community-acquired MRSA (CA MRSA) cenderung meningkat. Di Ameika Serikat, insiden HA MRSA dilaporkan 11,5-60%.
Epidemiologi MRSA di Rumah Sakit
MRSA saat ini merupakan masalah yang umum terjadi di rumah sakit di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, menurut data tahun 2003 dari US National Nosocomial Infections Surveillance System ditemukan bahwa 60% bakteri Staphylococcus aureus di ruang rawat intensif atau ICU adalah MRSA. Oleh sebab itu, di ICU, MRSA merupakan penyebab terbanyak infeksi bloodstream dan pneumonia nosokomial.
Adapun di Eropa (data 2005), proporsi MRSA bervariasi mulai dari 0% di negara Eropa Utara sampai 50% di Eropa Selatan. Adapun negara dengan proporsi MRSA yang terbesar adalah Inggris, Italia, Perancis, dan Spanyol. Adapun tingkat proporsi MRSA di Eropa ini dapat disimak di gambar di bawah ini:
Epidemiologi CA MRSA
Umumnya CA MRSA menyebabkan infeksi kulit dan jaringan lunak termasuk ke dalamnya adalah furunkel, abses, impetigo, dan selulitis. Infeksi dapat berulang dapat muncul sebagai wabah. CA MRSA jarang menyebabkan infeksi berat seperti sepsis, sindrom Waterhouse-Friderichsen, necrotising fasciitis, dan necrotising pneumonia. Necrotising pneumonia sering menyerang pasien dengan usia yang lebih muda dan biasanya didahului oleh influenza. Cirinya adalah munculnya infiltrat dengan kavitas multipel. Mortalitas akibat necrotising pneumonia ini lebih dari 50%.
CA MRSA ini tersebar secara global namun prevalensinya di komunitas sangat beragam dari satu tempat ke tempat lainnya. Di Amerika Serikat jenis CA MRSA yang cukup banyak tersebat adalah USA300. Di Eropa, secara umum prevalensi CA MRSA lebih rendah dibandingkan dengan Amerika Serikat. Insiden infeksi kulit dan jaringan lunak akibat CA MRSA di Perancis sekitar 6,8%. Beberapa klon jenis CA MRSA di Eropa diantaranya adalah ST80, USA300, dan ST30.
Epidemiologi Infeksi MRSA di Indonesia
Di Indonesia sendiri, data MRSA secara keseluruhan masih jarang dilaporkan. Namun pada beberapa penelitian, kejadian MRSA di Indonesia secara umum lebih rendah dibandingkan dengan negara maju pada umumnya.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Kuntaman, dkk pada pasien yang masuk ke perawatan rumah sakit di Surabaya ditemukan adanya MRSA sebesar 8,1%. Adapun untuk di komunitas, MRSA di Indonesia pada satu penelitian hanya terdeteksi pada 0,3% populasi (data 2001-2002).
Dari data tersebut memang secara umum data menunjukan MRSA di Indonesia termasuk rendah. Namun, berdasarkan tren di seluruh dunia serta praktek penggunaan antibiotika yang kurang baik di Indonesia, diperkirakan prevalensi kejadian MRSA di Indonesia meningkat akhir-akhir ini.
Faktor Risiko Infeksi MRSA
Faktor risiko terjadinya infeksi MRSA antara lain:
- Riwayat perawatan di rumah sakit dalam satu tahun terakhir dengan minimal satu penyakit kronik sebagai komorbid perawatan tersebut
- Perawatan di nursing home dalam satu tahun terakhir
- Riwayat mendapatkan antibiotika saat perwatan sebelumnya
- Riwayat infeksi kulit dan jaringan lunak pada perawatan sebelumnya
- Infeksi HIV
- Penggunaan obat narkotika suntik
- Riwayat infeksi atau kolonisasi MRSA sebelumnya
- Hemodialisa
- Lainnya yaitu peningkatan usia, inkarserasi, pekerjaan yang berhubungan binatang
Patogenesis MRSA
Bakteri MRSA disebabkan oleh gen MecA yang memproduksi tranepeptidase PBP2a yang mengurangi afinitas bakteri terhadap antibiotik golongan beta laktam. Gen MecA ini berbeda dengan gen yang mengekspresikan penisilinase dimana gen ini tidak berada di plasmid namun berada di kromosom dari bakteri. Adapun tempat dari gen MecA ini tepatnya adalah di large mobile genetic element yang disebut Staphylococcal Chromosome Cassette mec atau SCCmec.
PBP adalah protein periplasmik, yaitu celah antara membran plasma bakteri dengan dinding sel. Protein ini berfungsi membentuk dan menjaga struktur dinding sel bakteri. PBP merupakan target dari antibioka seperti penisilin. PBP2a ini adalah protein PBP yang mengalami mutasi. Mutasi ini mengakibtakan perubahan bentuk PBP sehingga mengurangi kemampuan penisilin mengikat dan menghambat kerja PBP. Oleh sebab itu, bakteri yang memiliki PBP2a memiliki ketahanan terhadap serangan dari antibiotika karena mutasi yang dimiliki protein tersebut. Di bawah ini adalah skema gambaran fungsi PBP dalam sintesis peptidoglikan, komponen utama dari dinding sel bakteri:
Dengan adanya PBP2a ini tidak hanya MRSA resisten terhadap methicillin namun juga terhadap semua antibiotik beta laktam termasuk penisilin sintetis, sefalosporin, dan karbapenem.
Diagnosis Infeksi MRSA
Diagnosis adanya MRSA secara standar adalah dengan dilakukan biakan dan tes resistensi kuman. Selain biakan, PCR juga dapat digunakan untuk mendeteksi MRSA. Spesimen biakan untuk MRSA diambil dari tempat luka, abses, atau ulkus ditambah nares anterior, cairan aspirat endotracheal tube, tepat gastrostomi perkutan, dan perirektal atau perineal.
Proses biakan kuman menggunakan media agar yang diperkaya dengan medium kaldu. Agar biakan ini kemudian diberikan oxacillin/cefoxitin. Saat ini methicillin sudah tidak digunakan lagi dan diganti dengan cefoxitin. Hal yang dilihat adalah daerah di sekitar cakram dari cefoxitin dimana dianggap resisten apabila diameter daerah yang tidak ditumbuhi bakteri <22 mm. Alternatif dari metode biakan adalah aglutiansi lateks untuk deteksi protein PBP2a. Adapun PCR bekerja dengan mendeteksi adanya gen mecA dan mecC. Di bawah ini adalah gambar biakan agar yang memperlihatkan tes sensibilitas Staphylococcus aureus terhadap cerfoxitin.
Pengobatan dan Pemilihan Antibiotik untuk Infeksi MRSA
Untuk menghadapi infeksi MRSA maka harus dilakukan pengobatan sekaligus dekolonisasi. Keputusan itu berdasarkan bagan di bawah ini:
Panduan penanganan infeksi MRSA dari IDSA membagi penanganan berdasarkan jenis infeksi dan terbagi lagi menjadi pasien dewasa dan anak-anak. Berdasarkan jenis infeksinya, infeksi MRSA dapat dibagi menjadi:
- Skin and soft tissue infections (SSTI)
- Infeksi tulang dan sendi
- Pneumonia
- Bakterimia dan endokarditis infektif
Skin and soft tissue infection (SSTI)
Bentuk infeksi kulit dan jaringan lunak berbagai macam bentuknya. Untuk dewasa, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:
- Untuk abses di kulit insisi dan drainase merupakan terapi utama. Pada abses yang sederhana, cukup dilakukan insisi dan drainase saja.
- Pemberian antibiotik pada abses dilakukan apabila terdapat:
- Penyakit berat dan ekstensif, seperti tempat infeksi yang banyak,
- Progresi yang cepat yang disertai tanda selulitis
- Tanda dan gejala penyakit sistemik
- Komorbiditas yang berkaitan atau adanya imunosupresi
- Usia ekstrim
- Abses di tempat yang sulit dilakukan drainase seperti wajah, tangan, atau daerah genitalia
- Disertai flebitis septik
- Respon yang kurang baik terhadap insisi dan drainase saja
- Untuk pasien rawat jalan dengan selulitis purulen maka terapi empiris terhadap CA MRSA direkomendasikan sambil menunggu hasil biakan. Terapi empiris terhadap infeksi streptococci β-hemolitikus tidak diperlukan. Adapun durasi terapi adalah 5-10 hari namun dapat diindividualisasi sesuai respon pasien terhadap pengobatan
- Untuk pasien rawat jalan dengan selulitis non purulen, direkomendasikan diberikan terapi empiris terhadap infeksi streptococci β-hemolitikus. Apabila dengan terapi beta laktam tidak berpengaruh, maka dianjurkan diberikan terapi empiris terhadap CA MRSA. Durasi terapi adalah 5-10 hari namun dapat diindividualisasi sesuai respon pasien terhadap pengobatan
- Terapi empiris CA MRSA pasien rawat jalan adalah antibiotik oral yaitu clindamycin, trimethoprim-sulfamethoxazole (TMP-SMX), tetrasiklin (doxycycline atau minocycline), dan linezolid. Apabila diperlukan juga terapi empiris terhadap streptococci β-hemolitikus, maka pilihannya adalah clindamycin tunggal, atau TMP-SMX, atau tetrasiklin dikombinasi dengan beta laktam, atau linezolide tunggal.
- Penggunaan rifampicin sebagai terapi tunggal maupun adjunctive tidak direkomendasikan
- Untuk pasien rawat inap yang mengalami SSTI yang kompleks atau dengan komplikasi, sebagai tambahan debridemen dan pemberian antibiotik spektrum luas, dapat dipertimbangkan terapi empiris MRSA sambil menunggu hasil biakan. Pilihannya adalah intravenous (IV) vancomycin , oral (PO) atau IV linezolid 600 mg dua kali sehari, daptomycin 4 mg/kg/dosis IV sekali sehari, telavancin 10 mg/kg/dosis IV sekali sehari, dan clindamycin 600 mg IV atau PO 3 kali sehari. Antibiotik beta laktam seperti cefazolin dapat dipertimbangkan pada pasien rawat inap dengan selulitis non purulen dengan modifikasi terapi terhadap MRSA jika tidak ada respin klinis. Lama terapi yang dianjurkan adalah 7-14 hati dan diindividualisasi sesuai respon klinis
SSTI pada Pediatri
- Pada anak anak infeksi kulit minor (sepeerti impetigo) atau lesi kulit dengan infeksi sekunder (eczema, ulkus, laserasi) dapat diberikan mupirocin 2% topikal
- Tetrasiklin tidak boleh digunakan pada anak dengan usia <8 tahun
- Pada anak dengan cSSTI yang dirawat inap direkomendasikan vancomycin. Apabila pasien stabil tanpa adanya bakterimia atau infeksi intravaskuler, dapat diberikan terapi empiris clindamycin 10-13 mg/kg/dosis IV tiap 6-8 jam jika resistensi terhadap clindamycin rendah dengan transisi ke oral apabila strain bakteri tidak resisten. Linezolide 600 mg PO/IV dua kali sehari untuk anak ≥ 12 tahun dan 10 mg/kg/dosis PO/IV setiap 8 jam untuk anak <12 tahun sebagai alternatif.
SSTI Berulang atau Rekuren
- Pencegahan berulangnya SSTI sangat penting. Hal yang perlu dilakukan untuk mencegah rekurensi adalah sebagai berikut:
- Jaga agar luka yang terdrainase tertutup dengan kasa yang bersih dan kering
- Menjaga kebersihan personal dengan mandi secara teratur dan mencuci tangan dengan air dan sabut atau sanitiser berbasis alkohol. Hal ini terutama setelah menyentuh luka atau kulit yang terinfeksi atau benda lain yang bersentuhan dengan luka yang terinfeksi.
- Hindari penggunaan alat pribadi seperti alat cukur atau handuk secara bersama-sama
- Di tingkat lingkungan, hal-hal yang dapat mencegah penyebaran MRSA adalah
- Usahakan fokus pada pembersihan tempat atau alat yang sering kontak kulit langsung dengan banyak orang seperti gagang pintu, toilet, sandaran tangan, dll
- Untuk upaya pembersihan, dapat dilakukan dengan produk pembersih yang tersedia secara komersial
- Dekolonisasi dilakukan apabila:
- Pasien mengalami rekurensi SSTI walaupun dengan perawatan luka dan kebersihan yang optimal
- Transmisi terus-menerus sesama anggota keluarga atau orang lain dengan yang sering kontak secara langsung
- Strategi dekolonisasi
- Dekolonisasi nasal dengan mupirocin dua kali sehari selama 5-10 hari
- Dekolonisasi nasal dengan mupirocin dua kali sehari selama 5-10 hari dan dekolonisasi tubuh dengan larutan antiseptik seperti chlorhexidine selama 5-14 hari.
Bakterimia dan Endokarditis Infektif pada Katup Alami
- Pada kondisi bakterimia tanpa komplikasi (didefinisikan sebagai kultur darah positif, tanpa ada endokarditis, tanpa ada prostese, hasil biakan negatif MRSA, perbaikan klinis dalam 72 jam pemberian antibiotik, tidak ada tanda metastasis tempat infeksi), maka pemberian vancomycin atau daptomycin 6 mg/kg/dosis IV sekali sehari diberikan setidaknya 2 minggu.
- Untuk bakterimia dengan komplikasi pemberian terapi 4-6 minggu. Beberapa ahli menyarankan dosis daptomycin 8-10 mg/kg/kali IV sekali sehari
- Pasien dewasa dengan endokarditis infektif, pemberian vancomycin IV atau daptomycin 6 mg/kg/dosis IV sekali sehari diberikan selama 6 minggu. Beberapa ahli menyarankan dosis daptomycin 8-10 mg/kg/kali IV sekali sehari.
- Tidak dianjurkan ditambahkan gentamycin atau rifampicin terhadap endokarditis pada katup alami.
- Biakan ulang 2-4 hari setelah biakan awal yang positif diperlukan sebagai dokumentasi terjadinya clearence.
- Evaluasi endokarditis dengan ekhokardiografi khususnya transesophageal echocardiography (TEE)
- Operasi penggantian katup dipertimbangkan apabila:
- Vegetasi >10 mm
- Rekurensi emboli bakteri ≥ 1 kali dalam 2 minggu pertama terapi
- Insufisiensi katup berat
- Perforasi atau perlengketan katup
- Gagal jantung
- Abses miokardial atau perivalvular
- Ada heart block baru
- Demam atau bakterimia persisten
Endokarditis Infektif pada Katup Prostetik
Antibiotika yang disarankan pada kondisi ini adalah vancomycin IV plus rifampicin 300 mg PO setiap 8 jam selama 6 minggu plus gentamycin 1 mg/kg/kali setiap 8 jam selama 2 minggu.
Endokarditis Infektif pada Anak
Pada anak dengan endokarditis infektif dan bakterimia disarankan vancomycin IV 15 mg/kg/dosis setiap 6 jam. Durasinya adalah 2-6 minggu tergantung sumber infeksi, adanya infeksi enfovaskular, dan foci metastasis dari infeksi bakteri. Alternatifnya adalah daptomycin IV 6-10 mg/kg/dosis sekali sehari walaupun informasi efikasinya terbatas.
Clindamycin atau linezolid tidak direkomendasikan apabila ada kekhawatiran endokarditis infektif ataun infeksi dengan sumber endovaskular. Tetapi, kedua obat ini dapat diberikan apabila bakterimia cepat teratasi dan tidak berkaitan dengan fokus infeksi endovaskular.
Pada anak yang mengalami bakterimia dengan durasi lebih dari 2-3 hari, direkomendasikan untuk dilakukan ekhokardiografi untuk meneliti kemungkinan adanya endokarditis infektif.
Pneumonia Akibat Infeksi MRSA
Pasien disebut mengalami pneumonia berat akibat CA MRSA apabila
- Memerlukan perawatan intensif
- Infiltrat dengan kavitas atau necrotizing
- Empiema
Dalam kondisi diatas, dapat diberikan terapi empiris untuk MRSA sambil menunggu hasil biakan bakteri. Untuk melihat klasifikasi derajat pneumonia komunitas juga dapat disimak di tautan ini.
Pilihan terapi untuk penumonia akibat CA MRSA atau HA MRSA adalah vancomycin IV atau linezolid 600 mg PO/IV dua kali sehari atau clindamycin 600 mg PO/IV 3 kali sehari. Tentu saja dengan catatan dari hasil biakan MRSA tersebut sensitif terhadap antibiotik tadi. Adapun lamanya pemberian antibiotik adalah 7-21 hari.
Pada keadaan adanya empiema, selain pemberian antibiotik juga harus disertai dengan prosedur drainase.
Pneumonia Akibat Infeksi MRSA pada Anak/Pediatri
Antibiotik yang disarankan pada kelompok pasien ini adalah vancomycin IV. Apabila kondisi klinis stabil tanpa adanya bakterimia atau infeksi intravaskular maka dapat diberikan clindamycin 10-13 mg/kg/dosis IV tiao 6-8 jam apabila data resistensi terhadap clindamycin <10%.
Untuk linezolid, pada anak usia ≥ 12 tahun dapat diberikan dengan dosis 600 mg PO/IV dua kali sehari. Sedangkan untuk anak <12 tahun dosisnya adalah 10 mg/kg/kali tiap 8 jam.
Osteomielitis Akibat Infeksi MRSA
- Terapi utama adalah dilakukannya debridemen dan drainase dan harus dilakukan sesegera mungkin
- Pilihan obat adalah vancomycin IV, daptomycin 6 mg/kg/dosis IV sekali sehari. Alternatif lain:
- TMP-SMX dengan dosis TMP 4 mg/kg/dosis dua kali sehari dikombinasi dengan rifampicin 600 mg sekali sehari
- Linezolid 600 mg dua kali sehari
- Clindamycin 600 mg setiap 8 jam
- Beberapa ahli menganjurkan ditambah rifampicin 600 mg per hari atau 300-450 mg PO dua kali sehari. Pada keadaan adanya bakterimia, penambahan rifampicin dilakukan setelah bakterimia teratasi
- Durasi optimum pemberoan antibiotik pada osteomielitis ini tidak diketahui namun minimal selama 8 minggu.
- Beberapa ahli menganjurkan ditambahkan durasi antibiotika 1-3 bulan pada keadaan infeksi kronik atau debridemen tidak mungkin dilakukan. Penambahan ini dengan terapi kombinasi berbasis rifampicin baik dengan TMP-SMX, doxycicline/minocycline, clindamycin, atau fluoroquinolon, disesuaikan dengan hasil tes resistensi
- Adapun modalitas diagnosis dan evaluasi terpilih adalah dengan MRI kontras gadolinium. Selain itu, untuk evaluasi terapi juga dapat dilakukan dengan pemeriksaan LED atau CRP.
Artritis Septik Akibat Infeksi MRSA
- Drainase dan debridemen hampir selalu harus dilakukan
- Untuk antibiotik pada septik artritis sama dengan pada osteomielitis dengan durasi terapi 3-4 minggu
Device-Related Osteoarticular Infections
Pada keadaan dengan awitan/onset awal, yaitu <2 bulan setelah operasi atau terjadi infeksi sendi prostetik akut yang melibatkan implan stabil dan gejala durasi singkat ( ≤ 3 minggu) dan telah dilakukan debridemen maka dapat diberkan antibiotik. Antibiotika yang diberikan seperti pada osteomielutus ditambah rifampicin 600 mg sekali sehari atau 300-450 mg dua kali sehari selama 2 minggu diikuti fuoroquinolon, TMP-SMX, tetrasiklin, atau clyndamycin selama 3 bulan untuk sendi panggul dan 6 bulan untuk sendi lutut.
Apabila awitan gejala lambat, implan tidak stabil, atau gejala durasi panjang ( ≥ 3 minggu), maka harus dilakukan debridemen dan disertai pelepasan atau pengangkatan implan selama memungkinkan.
Untuk implan tulang belakang awitan awal ( ≤ 3 hari setelah operasi) atau implan terletak di tempat dimana terjadi infeksi aktif, maka terapi inisial berupa parenteral ditambah rifampicin diikuti terapi antibiotika oral jangka panjang. Durasi optimal tidak diketahui namun pemberian antibiotika oral diberikan sampai terjadinya fusi spinal. Apabila infeksi awitan lambat (>30 hari) maka sebisa mungkin dilakukan pengangkatan implan.
Dalam keadaan khusus seperti misalnya pada kondisi tidak memungkinkan pengangkatan implan, diperlukan antibiotik supresi jangka panjang. Contohnya adalah TMP-SMX, tetrasiklin, atau fluoroquinolon, atau clindamycin baik dengan atau tanpa rifampicin. Pemberian tambahan rifampicin harus dilakukan terutama apabila antibiotika yang diberikan adalah fluoroquinolon berhubungan dengan merebaknya resistensi bakteri terhadap fluoroquinolon.
Osteomielitis dan Septik Artritis pada Anak
Pilihan antibiotika pada keadaan osteomielitis hematogen akut maupaun artritis septik akut pada anak adalah vancomycin IV. Apabila kemudian paasien stabil tanpa bakterimia atau infeksi intravaskuler dan tingkat resistensi clindamycin <10%, dapat diberikan cindamycin 10-13 mg/kg/kali IV tiap 6-8 jam. Jika hasil biakan tidak resisten, dapat diganti ke cindamycin oral.
Durasi terapi disesuaikan untuk setiap kasus. Secara umum minimal 3-4 minggu untuk septik artritis dan 4-6 minggu untuk osteomielitis. Adapun untuk alternatif vancomycin atau clindamycin adalah sebagai berikut:
- Daptomycin 6 mg/kg/kali sekali sehari
- Linezolid, pada anak usia ≥ 12 tahun 600 mg PO/IV dua kali sehari. Anak <12 tahun 10 mg/kg/kali tiap 8 jam.
Meningitis Akibat Infeksi MRSA
- Direkomendasikan vancomycin IV selama 2 minggu. Beberapa ahli merekomendasikan ditambah rifampin 600 mg sekali hari atau 300-450 mg dua kali sehari
- Alternatifnya
- Linezolid 600 mg PO/IV dua kali sehari
- TMP-SMX 5 mg/kg/dosis IV setiap 8-12 jam
- Pada infeksi shunt, direkomendasikan pengeluaran alat shunt dan tidak diganti yang baru sampai kultur cairan serebrospinal steril.
Abses Otak, Empiema Subdural, dan Abses Epidural Spinal
- Direkomendasikan untuk evaluasi pertimbangan dilakukan insisi drainase
- Antibiotik yang direkomendasikan adalah vancomycin IV selama 2 minggu. Beberapa ahli merekomendasikan ditambah rifampin 600 mg sekali hari atau 300-450 mg dua kali sehari
- Alternatifnya
- Linezolid 600 mg PO/IV dua kali sehari
- TMP-SMX 5 mg/kg/dosis IV setiap 8-12 jam
Trombosis Septik dari Vena Cavernosis dan Sinus Venosus Dura
- Direkomendasikan untuk pertimbangan dilakukan insisi drainase apabila memungkinkan.
- Penggunaan antikoagulan masih kontroversial
- Antibiotik yang direkomendasikan adalah vancomycin IV selama 2 minggu. Beberapa ahli merekomendasikan ditambah rifampin 600 mg sekali hari atau 300-450 mg dua kali sehari
- Alternatifnya
- Linezolid 600 mg PO/IV dua kali sehari
- TMP-SMX 5 mg/kg/dosis IV setiap 8-12 jam
Pustulosis Neonatus
- Untuk kasus infeksi ringan yang terlokalisasi, cukup diberikan terapi mupirocin topikal terutama untuk neonatus aterm
- Pada bayi yang prematur atau berat badan lahir rendah (BBLR), atau pada bayi aterm dengan infeksi multipel, direkomedasikan vancomycin IV atau clindamycin.
Sepsis Neonatus Akibat Infeksi MRSA
- Rekomendasi adalah pemberian vancomycin IV
- Untuk infeksi non endovaskular, dapat diberikan alternatif clindamycin atau linezolid.
Fungsi Terapi Ajungtif dalam Pengobatan Infeksi MRSA
Inhibitor sintesis protein seperti clindamycin dan linezolid serta intravenous immunoglobulin (IVIG) tidak direkomendasikan sebagai terapi adjungtif pada infeksi MRSA invasif. Akan tetapi, dalam keadaan khsusu seperti pada pneumonia necrotizing atau sepsis berat beberapa ahli mempertimbangkan pemakaian terapi adjungtif tersebut.
Rekomendasi Dosis Vancomycin
Dosis Pasien Dewasa
- Disarankan 15-20 mg/kg/dosis (berat badan aktual) setiap 8-12 jam, tidak melebihi 2 gram per dosis pada pasien dengan fungsi ginjal normal
- Pada keadaan sakit yang berat akibat infeksi MRSA, dapat dipertimbangkan pemberian loading dose 25-30 mg/kg berat badan aktual. Harus diingat risiko red man syndrome dan kemungkinan anafilaksis dengan dosis besar. Oleh sebab itu, dianjurkan diberikan dalam infus lama yaitu 2 jam dan pemberian antihistamin sebelum pemberian loading dose.
- Dianjurkan diperiksa kadar vancomycin darah dalam keadaan steady state yaitu sekitar setelah pemberian dosis ke-5. Adapun pemeriksaan kadar puncak vancomycin tidak diperlukan.
- Dalam keadaan infeksi berat, kosentrasi vancomycin yang dianjurkan adalah 15-20 μg/mL
- Pada kebanyakan pasien dengan fungsi ginjal yang normal dan tidak obes, dosis tradisional vancomycin adalah 1 gram tiap 12 jam sudah cukup dan tidak memerlukan monitoring.
- Monitoring kadar darah vancomycin dianjurkan pada keadaan infeksi berat dan pasien obese atau mengalami gangguan fungsi ginjal (termasuk dialisis) atau mengalami fluktuasi volume distribusi.
- Pemberian vancomycin secara infus kontinu tidak disarankan
Dosis Pasien Anak
Data mengenai panduan pemberian vancomycin pada anak terbatas. Dosis yang direkomendasikan adalah 15 mg/kg/dosis setiap 6 jam pada keadaan infeksi berat.
Penggunaan Hasil Pemeriksaan Resistensi terhadap Terapi Infeksi MRSA
Isolat yang rentan terhadap vancomycin apabila MIC ≤ 2 μg/mL. Pada infeksi dengan isolat tersebut, cukup evaluasi secara klinis dalam evaluasi kelanjutan pemberian terapi vancomycin. Penggantian alterntif yang lain dilakukan apabila secara klinis dan mikrobiologis tidak berespon walaupun sudah diberikan dosis yang cukup dan debridemen yang memadai.
Dalam keadaan terdapat Staphyloccoccus aureus yang memiliki MIC >2 μg/dL (vancomycin-intermediate S. aureus [VISA] atau vancomycin-resistant S. aureus [VRSA]) maka pada keadaan, diberikan antibiotika lain sebagai alternatif dari vancomycin.
MRSA Persisten atau Gagal dengan Terapi Vancomycin
- Terlebih dahulu dilakukan evaluasi dan upaya pembersihan fokus infeksi berupa debrideman dan drainase
- Apabila isolat rentan terhadap daptomycin, diberikan daptomycin dosis tinggi 10 mg/kg/hari ditambah agen lain seperti gentamicin 1 mg/kg IV tiap 8 jam, rifampin 600 mg PO/IV sekali sehari atau 300-450 mg dua kali sehari, atau telavancin 10 mg/kg/dosis sekali sehari
Review Antibiotika untuk MRSA
Clindamycin
Clindamycin tidak secara spesifik digunakan untuk MRSA namun dipakai secara luas dalam pengobatan SSTI. Antibiotika ini bersifat bakteriostatik sehingga tidak disarankan untuk pengobatan infeksi intravaskular.
Kelebihan clindamycin adalah penetrasi jaringan yang baik terutama ke tulang dan abses. Walaupun demikian, penetrasi ke CSF terbatas. Efek samping yang cukup sering adalah terjadinya diare dan infeksi Clostridium difficile.
Bentuk obat suspensi sirup biasanya kurang ditoleransi oleh pasien anak. Walaupun demikian, pemberian tambahan perasa dapat membantu mengatasi hal tersebut. Untuk kehamilan, clindamycin masuk kategori B.
Daptomycin
Obat ini termasuk kelas lipopetida yang menghambat fungsi membran sel melalui ikatan yang dependen kalsium. Aktivitas daptomycin berupa bakterisidal dan tergantung terhadap konsentrasi di darah.
Secara umum daptomycin ditujukan untuk terapi infeksi bakterimia akibat S. aureus, endoakrditis infektif sisi kanan, dan SSTI komplikata. Datomycin tidak disarankan dipakai untuk terapi pneumonia non hematogen karena dapat menghambat fungsi surfaktan.
Obat ini terikat 91% di protein plasma dan diekskresikan di ginjal. Breakpoints uji kerentanan terhadap daptomycin adalah ≤ 1 μg/dL. Efek samping yang mungkin terjadi adalah kenaikan kreatinin kinase terutama apabila muncul gejala nyeri otot.
Linezolid
Obat ini adalah oxazolidinone sintetik yang menghambat fungsi ribosom 50S sehingga mengganggu sintesis protein bakteri. Linezolid dipakai untuk pengobatan SSTI maupun pneumonia nosokomial akibat MRSA. Linezolid juga memiliki aktivitas terhadap VISA maupun VRSA. Availibilitas oral linezolid mencapai 100% sehingga pemebrian IV hanya untuk pasien yang mengalami gangguan pencernaan.
Penggunaan jangka panjang linezolid terbatas karena toksisitas atau efek samping hematologi. Efek samping tersebut berupa trombositopenia, anemia, dan neutropenia. Obat ini juga dapat menyebabkan asidosis laktat. Gangguan hematologi ini bersifat reversibel walaupun demikian, dapat terjadi gangguan ireversibel berupa neuropati perifer dan optik.
Perlu diingat pula, linezolid juga merupakan inhibitor reversibel yang lemah non-selektif terhadap moniamin oksidase sehingga dapat menyebabkan sindrom serotonin apabila diberikan secara bersama-sama dengan SSRI. Pada kehamilan, linezolid termasuk obat kategori C.
Quinupristin-Dalfopristin
Obat ini adalah kombinasi dari dua antibiotik streptogramin yang bekerja menghambat sintesis protein dari bakteri. Quinupristin-dalfopristin disetujui untuk dipakai pada kasus SSTI komplikata pada dewasa dan anak berusia >16 tahun. Obat ini juga dipakai sebagai terapi dalam keadaan infeksi invasif gagal diterapi dengan vancomycin.
Efek samping atau toksisitas dari quinupristin-dalfopristin adalah artralgia, mialgia, mual, dan reaksi terkait infus obat tersebut. Pada kehamilan, obat ini masuk dalam kategori B.
Rifampin
Rifampicin bersifat bakterisidal terhadap S. aureus dan dapat mencapai konsentrasi intraseluler yang tinggi serta menembus biofilm. Kelemahan besar dari obat ini adalah cepatnya muncul resistensi sehingga tidak boleh dipakai sebagai obat tunggal.
Telavancin
Obat ini merupakan lipoglikopeptida parenteral yang menghambat sintesis dinding sel dengan mengikat prekursor rantai peptidoglikan sehingga menyebabkan depolarisasi membran. Telavancin bersifat bakterisidal terhadap MRSA, VISA, dan VRSA. Obat ini disetujui untuk dipakai pada terapi SSTI komplikata pada dewasa dan kehamilan.
Dalam penggunaannya harus disertai monitoring kadar kreatinin darah serta penyesuaian dosis karena meningkatkan kejadian nefrotoksisitas. Pada kehamilan, telavancin masuk kategori C.
Tetrasiklin
Doxycycline biasa digunakan untuk pengobatan SSTI akibat S. aureus walaupun tidak spesifik terhadap MRSA. Adanya gen tet(M) menyebabkan resistensi terhadap semua obat kelompok tetrasiklin. Gen tet(K) menyebabkan resistensi terhadap tetrasiklin dan doxycycline walaupun tidak demikian halnya terhadap minocycline.
Tygecycline merupakan derivat dari tetrasiklim berupa glycylcycline yang digunakan untuk pengobatan SSTI dan infeksi intraabdomen. Obat ini memiliki volume distribusi yang besar dan mencapai konsentrasi tinggi di jaringan namun rendah di serum (< 1 μg/dL ). Disebabkan hal tersebut dan sifatnya sebagai bakteriostatik, tygecycline tidak direkomendasikan untuk bakterimia akibat MRSA.
Secara umum tetrasiklin masuk dalam kategori D untuk kehamilan dan tidak digunakan pada anak berusia <8 tahun karena menyebabkan diskolorisasi enamel dan mengurangi pertumbuhan tulang.
TMP-SMX
Obat ini oleh FDA tidak disetujui untuk pengobatan infeksi Staphylococcal. Walaupun demikian, 95-100% CA MRSA rentan terhadap obat ini secara in vitro sehingga menjadi salah satu pilihan penting untuk pengobatan SSTI pasien rawat jalan.
TMP-SMX harus dipakai secara hati-hati pada pasien lanjut usia terutama dengan gangguan fungsi ginjal dan memakai ACE-inhibitor atau ARB karena meningkatkan kejadian hiperkalemia. TMP-SMX tidak direkomendasikan pada wanita hami trimester ketiga karena masuk kategori C/D dan anak usia < 2 bulan.
Vancomycin
Vancomycin telah menjadi terapi utama pada MRSA walaupun efikasinya dipertanyakan karena sifatnya berupa bakterisidal yang lambat dan munculnya VISA dan VRSA. Perlu diingat kemampuan membunuh bakteri dari vancomycin inferior dibandingkan dengan beta laktam terutama pada beban koloni yang tinggi.
Vancomycin juga inferior dalam membunuh bakteri dalam keadaan bakterimia maupun endokarditis infektif. Penetrasi jaringan bervariasi dan terbatas terutama ke tulang, cairan yang dibatasi epitel paru, dan CSF. Pada kehamilan, vancomycin masuk kategori C.
Ringkasan Terapi untuk MRSA
Manifestasi | Terapi | Dewasa | Anak | Komentar |
---|---|---|---|---|
Abses, furunke, karbunkel | Insisi dan drainase | Untuk abses sederhana, cukup dengan insisi dan drainase | ||
Selulitis furulenta | Clindamycin | 300-450 mg TID | 10–13 mg/kg/kali PO setiap 6–8 jam, tidak melebihi 40 mg/kg/hari | Dapat meningkatkan kejadian infeksi Clostridium difficile |
TMP-SMX | 1-2 DS PO BID | TMP 4-6 mg/kg/dosis, SMX 20-30 mg/kg/dosis tiap 12 jam | Kategori kehamilan C/D, tidak diberikan pada kehamilan trimester ketiga dan bayi< 2 bulan | |
Doxycycline | 100 mg PO BID | ≤ 45 kg: 2 mg/kg/dosis PO tiap 12 jam. > 45 kg: dosis dewasa | Golongan tetrasiklin tidak direkomendasikan pada anak < 8 tahun dan kategori kehamilan D | |
Minocycline | 200 mg pertama kemudian 100 mg PO BID | 4 mg/kg dosis pertama, kemudian 2 mg/kg/dosis PO tiap 12 jam | ||
Linezolid | 600 mg PO BID | 10 mg/kg/dosis PO tiap 8 jam, tidak melebihi 600 mg/dosis | Lebih mahal dibandingkan alternatif lainnya | |
Selulitis non purulen | Beta laktam (cephalexin dan dicloxacillin) | 500 mg PO QID | Dosis per kg berat badan | Terapi empiris untuk streptococci beta hemolitikus. Cakupan empiris CA-MRSA untuk pasien yang tidak berespon terhadap terhadap beta laktam yang lain |
Clindamycin | 300-450 mg PO TID | 10-13 mg/kg/dosis PO tiap 6-8 jam, tidak melebihi 40 mg/kg/hari | Untuk mencakup infeksi CA MRSA dan streptococci beta hemolitikus | |
Beta laktam (seperti amoksisilin) dan/atau TMP-SMX atau tetrasiklin | Amoksisilin 500 mg TID, TMX-SMX dan tetrasiklin lihat di atas | Amoksisilin 25-50 mg/kg/hari TID, TMX-SMX dan tetrasiklin lihat di atas | Untuk mencakup infeksi CA MRSA dan streptococci beta hemolitikus | |
Linezolid | 600 mg PO BID | 10 mg/kg/dosis PO tiap 8 jam, tidak melebihi 600 mg/dosis | Untuk mencakup infeksi CA MRSA dan streptococci beta hemolitikus | |
SSTI komplikata | Vancomycin | 15-20 mg/kg/dosis IV tiap 8-12 jam | 15 mg/kg/dosis IV tiap 6 jam | |
Linezolid | 600 mg PO BID | 10 mg/kg/dosis PO tiap 8 jam, tidak melebihi 600 mg/dosis | Untuk anak usia ≥ 12 tahun, 600 mg PO/IV BID, kehamilan kategori C | |
Daptomycin | 4 mg/kg/dosis IV QD | Dalam penelitian | Dosis dalam penelitian 5 mg/kg (usia 12-17 tahun), 7 mg/kg (usia 7-11 tahun), 9 mg/kg (usia 2-6 tahun) | |
Telavancin | 10 mg/kg/dosis IV QD | Dalam penelitian | Kehamilan kategori C | |
Clindamycin | 600 mg PO/IV TID | 10-13 mg/kg/dosis PO tiap 6-8 jam, tidak melebihi 40 mg/kg/hari | Kehamilan kategori B | |
Bakterimia | Vancomycin | 15-20 mg/kg/dosis IV tiap 8-12 jam | 15 mg/kg/dosis IV tiap 6 jam | Penambahan gentamicin dan rifampicin rutin tidak direkomendasikan |
Daptomycin | 6 mg/kg/dosis IV QD | 6-10 mg/kg/dosis IV QD | Pada dewasa, beberapa ahli merekomendasikan 8-10 mg/kg/dosis IV QD. Kehamilan kategori B | |
Endokarditis infektif katup alami | Sama seperti bakterimia | |||
Endokarditis infektif katup prostetik | Vancomycin & gentamicin & rifampin | 15-20 mg/kg/dosis IV tiap 8-12 jam & 1 mg/kg/dosis IV tiap 8 jam & 300 mg PO/IV tiap 8 jam | 15 mg/kg/dosis IV tiap 6 jam & 1 mg/kg/dosis IV tiap 8 jam & 5 mg/kg/dosis PO/IV tiap 8 jam | |
Pneumonia | Vancomycin | 15-20 mg/kg/dosis IV tiap 8-12 jam | 15 mg/kg/dosis IV tiap 6 jam | |
Linezolid | 600 mg PO/IV BID | 10 mg/kg/dosis PO/IV tiap 8 jam, tidak melebihi 600 mg/dosis | Untuk anak ≥ 12 tahun dianjurkan linezolid 600 mg BID. Kehamailan kategori C | |
Clindamycin | 600 mg PO/IV TID | 10-13 mg/kg/dosis PO tiap 6-8 jam, tidak melebihi 40 mg/kg/hari | Kehamilan kategori B | |
Osteomielitis | Vancomycin | 15-20 mg/kg/dosis IV tiap 8-12 jam | 15 mg/kg/dosis IV tiap 6 jam | Harus dilakukan debridemen dan drainase. Beberapa ahli menambahkan rifampicin. Untuk anak 12 tahun ke atas dianjurkan linezolid 600 mg BID. |
Daptomycin | 6 mg/kg/dosis IV QD | 6-10 mg/kg/dosis IV QD | ||
Linezolid | 600 mg PO/IV BID | 10 mg/kg/dosis PO/IV tiap 8 jam, tidak melebihi 600 mg/dosis | ||
Clindamycin | 600 mg PO/IV TID | 10-13 mg/kg/dosis PO tiap 6-8 jam, tidak melebihi 40 mg/kg/hari | ||
TMP-SMX dan rifampin | 3,5-4 mg/kg/dosis PO/IV tiap 8-12 jam dan 600 mg PO/IV QD | NA | ||
Artritis septik | Vancomycin | 15-20 mg/kg/dosis IV tiap 8-12 jam | 15 mg/kg/dosis IV tiap 6 jam | Harus dilakukan debridemen dan drainaase |
Daptomycin | 6 mg/kg/dosis IV QD | 6-10 mg/kg/dosis IV QD | ||
Linezolid | 600 mg PO/IV BID | 10 mg/kg/dosis PO/IV tiap 8 jam, tidak melebihi 600 mg/dosis | ||
Clindamycin | 600 mg PO/IV TID | 10-13 mg/kg/dosis PO tiap 6-8 jam, tidak melebihi 40 mg/kg/hari | ||
TMP-SMX | 3,5-4 mg/kg/dosis PO/IV tiap 8-12 jam | NA | ||
Meningitis | Vancomycin | 15-20 mg/kg/dosis IV tiap 8-12 jam | 15 mg/kg/dosis IV tiap 6 jam | Beberapa ahli menambahkan rifampicin. Untuk anak 12 tahun ke atas dianjurkan linezolid 600 mg BID. |
Linezolid | 600 mg PO/IV BID | 10 mg/kg/dosis PO/IV tiap 8 jam, tidak melebihi 600 mg/dosis | ||
TMP-SMX | 5 mg/kg/dosis PO/IV tiap 8-12 jam | NA | ||
Abses otak, empiema subdural, abses epidural spinal | Vancomycin | 15-20 mg/kg/dosis IV tiap 8-12 jam | 15 mg/kg/dosis IV tiap 6 jam | Beberapa ahli menambahkan rifampicin. Untuk anak 12 tahun ke atas dianjurkan linezolid 600 mg BID. |
Linezolid | 600 mg PO/IV BID | 10 mg/kg/dosis PO/IV tiap 8 jam, tidak melebihi 600 mg/dosis | ||
TMP-SMX | 5 mg/kg/dosis PO/IV tiap 8-12 jam | NA | ||
Trombosis septik sinus kavernosus dan sinus venosus | Vancomycin | 15-20 mg/kg/dosis IV tiap 8-12 jam | 15 mg/kg/dosis IV tiap 6 jam | Beberapa ahli menambahkan rifampicin. Untuk anak ≥ 12 tahun dianjurkan linezolid 600 mg BID. |
Linezolid | 600 mg PO/IV BID | 10 mg/kg/dosis PO/IV tiap 8 jam, tidak melebihi 600 mg/dosis | ||
TMP-SMX | 5 mg/kg/dosis PO/IV tiap 8-12 jam | NA |
Kontrol Penyebaran Infeksi MRSA
Penanganan MRSA di rumah sakit penting untuk mencegah penularan MRSA ke pasien lain. Beberapa hal yang penting diperhatikan adalah kebersihan tangan dan isolasi.
Kebersihan Tangan
Penyebaran MRSA terutama melalui kontak. Kebersihan tangan sangat penting dalam memutus rantai penyebaran MRSA. CDC dan WHO memberikan beberapa petunjuk kebersihan tangan sebagai berikut:
- Penerapan kebersihan tangan dilakukan di seluruh level personel petugas kesehatan, pengunjung, pasien, maupun keluarga pasien.
- Menggunakan sabun dan air jika tangan terlihat kotor oleh darah atau cairan tubuh lainnya serta setelah menggunakan toilet.
- Jika tidak terlihat kotor, lakukan pembersihan tangan dengan pembersih berbasis alkohol.
- Melakukan pembersihan tangan sebelum dan setelah kontak dengan pasien.
- Melakukan pembersihan tangan setelah kontak dengan lingkungan pasien.
- Menggunakan sarung tangan ketika kontak dengan darah, cairan tubuh, dan permukaan yang lembab. Lepaskan sarung tangan setelah merawat pasien, berpindah dari tempat kotor ke tempat bersih pada pasien yang sama, dan sebelum merawat pasien yang lain.
- Mencuci tangan atau dengan menggunakan produk pembersih tangan berbasis alkohol setelah melepaskan sarung tangan.
- Memonitor kepatuhan petugas kesehatan akan praktik kebersihan tangan yang terstandar dan lakukan umpan balik.
- Melakukan kegiatan pembelajaran dan motivasi kepada petugas kesehatan akan kebersihan tangan.
- Menunjuk petugas kesehatan yang bertanggung jawab
Agar penerapan kebersihan tangan ini dilakukan dengan baik, tentu harus didukung dengan implementasi di semua lini. Sering kali terdapat beberapa kesulitan khususnya penerapan pada keluarga pasien. Masih sering ditemukan keluarga tidak melakukan teknik cuci tangan yang baik. Selain itu, keluarga sering kali berada di tempat yang sama di ruang pasien tanpa memakai pelindung. Hal ini tentu mengundang kekhawatiran penyebaran MRSA melalui keluarga pasien.
Isolasi dan Penanganan Kontak Pasien dengan Infeksi MRSA
Dalam menangani penyakit infeksi, terdapat standar kehati-hatian yang harus dipatuhi, khususnya dalam menghindari penyebaran melalui kontak tubuh atau alat kesehatan. Beberapa standar tersebut adalah:
- Sarung tangan untuk kontak dengan darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi, benda-benda terkontaminasi, memran mukosa, dan kulit yang tidak intak.
- Gaun untuk prosedur dan aktivitas perawatan pasien saat menghadapi pakaian atau kulit yang terpapar cairan tubuh atau darah atau antisipasi akan paparan cairan tubuh atau darah.
- Pelindung mata saat prosedur atau perawatan pasien yang memungkinkan adanya percikan dari cairan tubuh atau darah khususnya saat irigasi luka, penyeditan daerah oral, atau intubasi endotracheal.
- Kebersihan perlengkapan perawatan dan pakaian pasien harus ditangani dengan cara khusus sehingga mencegah transfer mikroorganisme ke peralatan, pakaian, atau lingkungan lainnya.
- Kontrol lingkungan dimana harus ada prosedur rutin untuk membersihkan dan mendesinfeksi permukaan lingkungan khususnya tempat yang sering dijadikan tempat perawatan pasien (bangsal, ruang prosedur, dan sebagainya).
- Tempat penempatan pasien sebaiknya satu pasien per ruangan.
- Penggunaan sarung tangan dan gaun untuk setiap kontak saat perawatan pasien.
- Penggunaan alat kesehatan yang khusus untuk satu pasien saja, tidak dicampur untuk pasien yang lainnya.
Kontrol Lingkungan Infeksi MRSA
Staphylococci dapat bertahan hidup di lingkungan rumah sakit dengan cukup baik. Bahkan, MRSA dapat ditumbuhkan setela lebih dari satu tahun inokulasi. Karena itu, kebersihan rutin dan teliti perlu dilakukan untuk menghambat penularan infeksi MRSA di rumah sakit.
Dekolonisasi MRSA
Dekolonisasi penting dilakukan untuk memutus dan mencegah infeksi MRSA. Namun, dekolonisasi rutin tidak dianjurkan. Beberapa syarat untuk dekolonisasi dapat di lihat pada di bawah ini:
Beberapa teknik dekolonisasi diantaranya adalah penggunaan mupirocin untuk nasal. Dekolonisasi tidak dilakukan untuk semua orang namun penting terutama bagi petugas kesehatan dan kelompok pasien yang rentan terhadap infeksi MRSA seperti penderita HIV. Namun, penelitian menunjukan bahwa penggunaan teknik dekolonisasi dengan mupirocin selama satu minggu dan penggunaan antiseptik untuk mandi tidak efektif untuk menurunkan kolonisasi MRSA. Secara umum, terdapat kegagalan dekolonisasi MRSA walaupun prosedur telah dilakukan dengan benar. Faktor yang mempengaruhi kegagalan dekolonisasi adalah luka terbuka, peralatan medis invasif, jalur intaravena, kateter urin, selang makanan, dan trakeostomi.
Kesimpulan
MRSA merupakan masalah kesehatan yang cukup besar karena menambah morbiditas, mortalitas, dan biaya perawatan. Saat ini kejadian infeksi MRSA di Indonesia memang masih relatif lebih rendah namun sangat berpotensi meningkat seiring dengan kurang baiknya praktek penggunaan antibiotika saat ini. Diperlukan tindakan yang tegas dimulai dengan kesadaran akan penggunaan antibiotika yang baik dan benar.
Sumber
- Chen CJ, Huang YC. New epidemiology of Staphylococcus aureus infection in Asia. Clin Microbiol Infect. 2014;20(7):605–23.
- da Costa T, de Oliveira C, Chambers H, Chatterjee S. PBP4: A New Perspective on Staphylococcus aureus β-Lactam Resistance. Microorganisms. 2018;6(3):57.
- Gajdács M. The Continuing Threat of Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus. Antibiotics. 2019 May 2;8(2):52.
- Kuntaman K, Hadi U, Setiawan F, Koendori EB, Rusli M, Santosaningsih D, et al. Prevalence of methicillin resistant Staphylococcus aureus from nose and throat of patients on admission to medical wards of Dr. Soetomo Hospital, Surabaya, Indonesia. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 2016 Jan;47(1):66–70.
- Liu C, Bayer A, Cosgrove SE, Daum RS, Fridkin SK, Gorwitz RJ, et al. Clinical Practice Guidelines by the Infectious Diseases Society of America for the Treatment of Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus Infections in Adults and Children. Clin Infect Dis. 2011;52(3):18–55.
- Pantosti A, Venditti M. What is MRSA? Eur Respir J. 2009 Nov 1;34(5):1190–6.
- Taguchi A, Kahne D, Walker S. Chemical tools to characterize peptidoglycan synthases. Curr Opin Chem Biol. 2019;53:44–50.
Seorang dokter, saat ini sedang menjalani pendidikan dokter spesialis penyakit dalam FKUI. Peminat berbagai topik sejarah dan astronomi.