Selain mortalitas, penyakit kanker juga menyebabkan beban morbiditas yang tinggi dengan penurunan kualitas hidup yang bermakna. Salah satu masalah yang berpengaruh besar terhadap kualitas hidup penderita kanker adalah depresi. Prevalensi depresi pada pasien kanker dapat mencapai 1,5 – 50%, dua sampai tiga kali lebih besar dari pada populasi normal. Tingginya angka depresi pada penderita kanker ini dapat dimaklumi karena hal ini merupakan stressor psikososial yang dapat mencetuskan gangguan mood. Depresi pada kanker itu sendiri walaupn dengan menifestasi paling ringan dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas pada penderita kanker. Perbaikan keadaan depresi pada kanker selain memperbaiki mood, dilaporkan dapat meningkatkan harapan hidup penderita kanker.
Akan tetapi, pengenalan kondisi depresi pada kanker ternyata masih kurang. Kita sering menganggap kondisi sedih pada penderita kanker adalah trivia, biasa, respon yang biasa. Padahal mengenali depresi pada kanker serta menanganinya secara tepat akan sangat membantu. Depresi pada penderita kanker juga tentu melibatkan kelaurga atau orang-orang terdekat dari pasien. Karenanya, menangani kanker jangan hanya fokus pada penyakit, melainkan juga masalah pribadi dan keluarga pada pasien.
Daftar Isi
Epidemiologi Depresi pada Penderita Kanker
Kejadian depresi pada pasien kanker dilaporkan lebih tinggi diabndingkan dengan populasi umum. Penelitian melaporkan bahwa kejadian depresi pada penderita kanker di China mencapai 66,7% dibandingkan populasi umum sebanyak 3,8%. Namun prevalensi depresi didapatkan bervariasi di dunia yaitu antara 8-24%.
Hubungan Kanker dengan Depresi
Selain merupakan suatu stressor psikologis, kanker sendiri memiliki hubungan secara biologis terhadap gangguan mood khususnya depresi. Sitokin proinflamasi seperti tumour necrosis factor-α (TNF-α), interleukin 1 (IL-1), dan interleukin 6 (IL-6) dapat mencetuskan suatu keadaan yang disebut “sickness behaviour syndrome“. Kondisi ini memiliki gejala yang secara substansial tumpang tindih dengan gejala depresi mayor (anhedonia, disfungsi kognitif, ansietas, iritabilitas, retardasi psikomotor, anergia, kelelahan, anoreksia, insomnia, dan peningkatan sensitivitas terhadap nyeri). Sitokin ini tidak dapat melintasi sawar darah otak, namun dapat masuk ke susunan saraf pusat melalui organ circumventricular seperti area postrema dan organ vasculosum lamina terminalis. Cara lain adalah melalui transportasi aktif atau melalui pengaruh saraf aferen nervus vagal. Oleh karena itu, sickness behaviour dapat diinduksi oleh sitokin proinflamasi secara langsung atau oleh subtsansi
lain yang dapat meginduksi kaskade sitokin proinflamasi.
Terdapat dua tipe sickness behaviour pada manusia yaitu tipe depresi, yang dapat berespon terhadap pemberian antidepresan dan tipe nuerovegetatif yang tidak berespon terhadap agen antidepresan. Yang menjadi unik dari gejala depresi ini adalah dapat berespon terhadap antidepresan walaupun gejalanya tidak memenuhi kriteria diagnostik untuk depresi.
Sitokin Pro Inflamasi pada Kanker Faktor Penting Terjadinya Depresi
Pada kanker, tubuhnya banyak beredar sitokin proinflamasi. Beberapa cara bagaimana hubungan sitokin proinflamasi ini dapat mencetuskan gejala depresi terdapat beberapa jalur. Jalur pertama adalah sitokin proinflamasi mengganggu sistem monoamin. Sitokin proinflamasi dapat menurunkan konsenterasi serum dari K-tryptophan, mengurangi availibilits serotonin secara tidak langsung dengan mengurangi nafsu makan, dan secara langsung dengan menginduksi indolamine 2,3 dioxygenase (IDO), enzim yang memecah tryptophan menjadi kynurenine. Kynurenine kemudian dimetabolisme menjadi asam quinolinat dan kynurenat yang memiliki aktivitas neuroaktif dan berhubungan dengan gejala depresi. Dua substansi ini juga menurunkan aktivitas mesolimbik dan sistem dopamin mesokortikal. Jalur kedua, sitokin proinflamasi menstimulasi aksis hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) melalui peningkatan corticotropin releasing hormone (CRH).
CRH pada binatang menginduksi perilaku yang mirip dengan depresi termasuk perubahan aktivitas psikomotor, anoreksia, dan perubahan pola tidur. Pada pasien dengan depresi juga menunjukan adanya peningkatan kadar CRH dan berkurangnya respon ACTH terhadap CRH. Jalur yang ketiga adalah pengaruh sitokin proinflamasi dengan inhibisi terhadap enzim yang mengubah thyroxin (T4) di perifer menjadi triiodothyroninen (T3). Secara skematik, hubungan biologis antara kanker dengan depresi dapat dilihat pada di bawah ini:
Depresi Meningkatkan Status Inflamasi
Stres dapat meningkatkan inflamasi walaupun pada individu yang sehat. Hal ini terbukti dengan meningkatnya transkripsi faktor nuclear factor kappa B (NF-κB) pada subjek yang dipaparkan terhadap Trier Social Stress Test (TSST). Peningkatan NF-κB DNA binding dan IL-6 juga terpantau lebih tinggi pada pasien depresi mayor yang menjalani TSST dibandingkan dengan kontrol orang sehat. Stres psikososial juga dapat meningkatkan inamasi melalui jalur peningkatan aktivitas saraf simpatis. Seperti kita ketahui, agonis α maupun β adrenergik dapat meningkatkan aktivitas NF-κB secara in vitro. Sebaliknya, aktivitas susunan saraf parasimnpatis berhubungan dengan penurunan aktivitas sitokin proinflamasi. Hal ini tampak pada adanya penurunan heart rate variability (HRV) seiring dengan peningkatan IL-6 dan CRP pada pasien gagal jantung dengan depresi mayor.
Penanganan Depresi pada Penderita Kanker
Walaupun tidak ada hubungan antara depresi dengan kejadian kanker, namun depresi dihubungkan dengan prognosis yang lebih buruk pada penderita kanker. Cara depresi memperburuk prognosis karena depresi berhubungan dengan pemanjangan lama rawat, penurunan kualitas hidup, penurunan kemampuan merawat diri, dan penurunan kepatuhan dalam menjalani pengobatan.
Seperti disebutkan di atas, walaupun angka kejadian depresi pada penderita kanker tinggi, namun diagnosis dan tatalaksana depresi pada kelompok ini masih kurang memadai. Hal ini khususnya berkaitan bahwa banyak gejala kanker dan efek samping terapi kanker serupa dengan gejala depresi (lelah, insomina, gangguan kognitif, kaheksia, penurunan nafsu makan, dan turunnya tingkat energi). Bahkan gejala klasik depresi yang terjadi pada penderita kanker seringkali diartikan sebagai respon pasien terhadap penyakit dan prognosis dari penderita kanker dibandingkan sebagai gejala dari depresi.
Memang terkadang penting untuk dilakukan pemisahan secara hati-hati apakah suatu gejala pada pasien depresi berasal dari gejala penyakit kanker atau efek terapi kanker ataukah memang bagian dari kondisi depresi. Namun, pada praktek sehari-hari, dikatakan dibutuhkan pendekatan secara inklusif dimana semua gejala yang relevan dengan depresi harus dimasukan dan dihitung dalam diagnosis terlepas dari hubungan gejala itu apakah murni faktor depresi atau penyebab lain. Hal ini dianggap lebih menguntungkan karena akan lebih menguntungkan karena dapat memungkinkan untuk diberinya intervensi secara lebih dini dan efektif dalam mengurangi gejala depresi pada penderita kanker.
Untuk terapi depresi pada penderita kanker sendiri, terdapat dua perhatian khusus yaitu: (1) antidepresan efektif mengurangi insidensi kasus depresi dan gejala depresi, dan (2) intervensi psikoterapi efektif mengurangi gejala depresi. Selain itu, pemberian antidepresan juga mampu mengurangi gejala lain yang terkait kanker dan efek samping terapi kanker di luar gejala depresi.
Psikoterapi pada Penderita Kanker dengan Depresi
Terdapat keuntungan baik secara sosial maupun medis dengan diberikannya pemberian terapi psikososial pada pasien penderita kanker walaupun dalam kondisi end of life. Dikatakan bahwa psikoterapi suportif dapat mengurangi gejala nyeri dan depresi pada kelompok pasien-pasien tersebut serta meningkatkan kesintasan sampai 2,5 bulan. Untuk jenis psikoterapi sendiri, terdapat banyak jenis, diantaranya:
1) Cognitive Behavioral Therapy (CBT)
Merupakan modalitas terapi yang berfokus pada peningkatan kesadaran pasien bagaimana cara berpikir (kognisi) dapat mempengaruhi emosi yang kemudian berpengaruh lebih jauh ke perilaku. Terapi ini biasanya terbatas waktu dan meliputi psiko-edukasi dan adanya tu-
gas atau pekerjaan rumah yang diberikan terapis kepada pasien (misal catatan pemikiran dan alat lain yang membantu pasien mengidentifikasi pemikiran yang memiliki pengaruh negatif).
2) Supportive-Expressive Group Therapy (SEGT)
Terapi terstandar untuk pasien-pasien yang memiliki penyakit yang mengancam nyawa yang mencoba agar pasien dapat mengekspresikan perasaan dan kekhawatiran terhadap penyakit dan dampaknya pada kehidupan mereka dalam lingkungan kelompok suportif. Tujuan dari terapi ini adalah untuk meingkatkan bantuan atau support sosial, membantu mengekspresikan emosi, membantu individu dalam menghadapi ketakutan akan meninggal atau sekarat, membantu merestrukturisasi prioritas, meningkatkan komunikasi dengan
keluarga dan pelaku rawat, dan membantu meningkatkan kontrol nyeri dan ansietas.
3) Problem Solving Therapy
Intervensi psikologis yang singkat, biasanya diberikan selama 4-8 sesi. Tujuannya adalah untuk klinisi dan pasien berkolaborasi mengidentikasi masalah pada hidup pasien dan mencoba mencari pemecahan masalah dengan format yang lebih terstruktur disertai dengan penambahan pengajaran pada pasien akan kemampuang coping secara umum.
4) Cognitive-Existential Group Therapy (CEGT)
CEGT pertama kali dikembangkan khusus pada pasien wanita yang menerima kemoterapi ajuvan dengan tujuan mempromosikan active coping dan dukungan sosial. CEGT berfokus pada beberapa tujuan yaitu mempromosikan lingkungan yang suportif, memfasilitasi proses berduka, memperbaiki proses pikir yang negatif, meningkatkan coping dan kemampuan pemecahan permasalahan, meningkatkan semangat harapan, dan membantu membuat prioritas di masa depan.
4) Mindfulness-Based Stress Reduction
Terapi ini baisanya dilakukan bersamaan dengan terapi relaksasi, biasanya dilakukan berupa pengajaran olahraga yang diadaptasi dari ajaran Buddhist yang bertujuan untuk membuka jiwa dan tubuh terhadap perasaan dan pikiran dari pada melawan perasaan atau pemikiran tersebut.
Antidepresan untuk Depresi pada Penderita Kanker
Keputusan memberikan antidepresan pada penderita kanker menjadi sulit karena memperhatikan faktor cofounding dari gejala depresi dengan gejala kanker. Namun pada penelitian memperlihatkan bahwa pemberian obat antidepresan seperti SSRI atau golongan trisiklik cukup efektif mengurangi gejala depresi dibandingkan plasebo. Akan tetapi, dikatakan tingkat kualitas penelitian-penelitian yang dukumpulkan berkualitas rendah. SSRI dan golongan trisiklik menjadi pilihan agen farmakologis yang diteliti. Untuk agen potensial dapat dilihat dari gambar di bawah ini:
Dari gambar tersebut, tampak bahwa pengobatan depresi pada penderita kanker dapat dicapai pada berbagai tingkat. Ada penelitian yang memang menyebutkan bahwa diet yang kaya triptofan dan vitamin B6 memberi efek yang baik pada gejala depresi. Adapun untuk pemilihan agen antidepresi, harus melihat terlebih dahulu dimensi karakteristik dari depresi seperti munculnya gejala tertentu yang dominan (anhedonia, ansietas, inhibisi, gejala somatik, dan gejala kognitif).
Strategi Pemilihan Antidepresan
Sebenarnya belum ada bukti yang menunjukan golongan antidepresan tertentu lebih unggul digunakan untuk pasien kanker. Beberapa hal yang harus diperhatikan pada kelompok pasien dengan kanker adalah
- Dimensi klinis simtomatologi yang berhubungan dengan kanker (misalnya pada kanker saluran cerna banyak gejala yang berhubungan dengan motilitas usus);
- Stadium dari kanker;
- Risiko penambahan efek samping obat dari agen antidresan yang diberikan bersamaan dengan terapi kanker (misalnya mulut kering pada antidepresan trisiklik, meningkatnya mual saat pemberian antidepresan golongan 5-HT);
- Kebutuhan perubahan psikofarmako ketika ada perubahan gejala saat evaluasi;
- Karakteristik farmakodinamik dan farmakokinetik yang berpotensi mengganggu terapi lain. Untuk contoh dari pemilihan tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Sedangkan untuk keputusan dimana temaptnya pemberian agen farmakoterapi, ada yang memberikannya berdasarkan derajat keparahan depresi yaitu sebagai berikut:
- Untuk gejala ringan, optimasi gejala fisik, evaluasi psikososial untuk mengenali faktor presipitasi di masa yang akan datang, dan dilakukan psikoterapi suportif.
- Gejala sedang, sama dengan di atas dengan intervensi psikoterapi ditambah farmakoterapi.
- Gejala berat, kombinasi farmakoterapi dan psikoterapi namun penekanan bahwa pada kondisi ini harus dilakukan oleh terapis yang spesialistis.
Dampak Depresi pada Penderita Kanker
Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa penderita kanker rentan untuk depresi sehingga diperlukan deteksi depresi pada penderita kanker. Namun, penapisan secara umum pasien kanker untuk depresi harus dievaluasi. Pada penelitian tidak menunjukan dampak yang berarti pada optimalisasi pelayanan dan perbaikan gejala depresi dibandingkan layanan biasa. Terlepas dari masalah tersebut, depresi memang akan berdampak pada perjalanan penyakit seorang penderita kanker.
Depresi pada penderita kanker akan berdampak pada fungsi kesehatan penderita dan juga meningkatkan risiko mortalitas. Hubungan peningkatan mortalitas penderita kanker dengan depresi ini cukup konsisten ditemukan pada beberapa penelitian. Efeknya setara antara depresi yang muncul sebelum atau sesudah muncul penyakit kanker. Hal yang mengaitkan depresi dengan mortalitas adalah menurunnya kepatuhan berobat, berkurangnya pemahaman pasien akan penyakitnya, dan meningkatnya potensi bunuh diri.
Kesimpulan
Penderita kanker rentan terhadap depresi dan telah diperlihatkan oleh berbagai studi. Hubungan tersebut tidak hanya dikarenakan kanker merupakan stresor, namun terdapat hubungan biologis yang berkaitan. Oleh sebab itu, penting menjadi perhatian untuk mengenali dan menggali gejala depresi pada penderita kanker.
Sudah banyak tulisan atau penelitian mengenai depresi pada penderita kanker, namun penanganan depresi pada penderita kanker masih kurang. Padahal, dengan mengenali dan mendiagnosis dini depresi pada penderita kanker, terapi yang diberikan dapat membantu mengurangi gejala depresi terebut. Dalam pemberian terapi depresi tersebut, memerlukan pengetahuan yang cukup mengenai agen farmakologis serta simtomatologi dari penyakit kanker yang diderita pasien.
Saat ini telah ada panduan untuk penanganan depresi pada penderita kanker, namun masih banyak aspek yang harus digali. Salah satunya adalah belum adanya bukti yang kuat mengenai pendekatan terbaik terapi untuk mengatasi depresi pada penderita kanker. Selain itu, banyak aspek menarik dari sisi nonfarmakologis yang juga dapat dikembangkan dan dimasukan ke dalam skema depresi
Sumber
- Barrera I, Spiegel D. Review of psychotherapeutic interventions on depression in cancer patients and their impact on disease progression. Int Rev Psychiatry. 2014;26(1):3-{43.
- Hong JS, Tian J. Prevalence of anxiety and depression and their risk factors in Chinese cancer patients. Support Care Cancer. 2014;22(2):453-459.
- Irwin MR. Depression and insomnia in cancer: prevalence, risk factors, and eects on cancer outcomes. Psychiatry Rep. 2013 nov;15(11):404.
- Krebber AMH, Buart LM, Kleijn G, Riepma IC, De Bree R, Leemans CR, et al. Prevalence of depression in cancer patients: A meta-analysis of diagnostic interviews and self-report instruments. Psychooncology. 2014;23(2):121-130.
- Laoutidis ZG, Mathiak K. Antidepressants in the treatment of depression / depressive symptoms in cancer patients : a systematic review and meta-analysis. BMC Psychiatry. 2013;13(1):1.
- Li M, Fitzgerald P, Rodin G. Evidence-based treatment of depression in patients with cancer. J Clin Oncol. 2012;30(11):1187-1196.
- Mausbach BT, Schwab RB, Irwin SA. Depression as a predictor of adherence to adjuvant endocrine therapy (AET) in women with breast cancer: a systematic review and meta-analysis. Breast Cancer Res Treat. 2015 jul;152(2):239-46.
- Meijer A, Roseman M, Milette K, Coyne JC, Stefanek ME, Ziegelstein RC, et al. Depression screening and patient outcomes in cancer: a systematic review. PLoS One. 2011;6(11):e27181.
- Ostuzzi G, Matcham F, Dauchy S, Barbui C, Hotopf M. Antidepressants for the treatment of depression in people with cancer. The Cochrane Database Syst Rev. 2015 jun;(6):CD011006.
- Shabbir F, Patel A, Mattison C, Bose S, Krishnamohan R, Sweeney E, et al. Eect of diet on serotonergic neurotransmission in depression. Neurochem Int. 2013 feb;62(3):324-9.
- Sotelo JL, Musselman D, Nemero C. The biology of depression in cancer and the relationship between depression and cancer progression. Int Rev Psychiatry. 2014;26(1):16-30.
- Torre LA, Bray F, Siegel RL, Ferlay J, Lortet-tieulent J, Jemal A. Global Cancer Statistics, 2012. CA Cancer J Clin. 2015;65(2):87-108.
- Torta RGV, Ieraci V. Pharmacological management of depression in patients with cancer: practical considerations. Drugs. 2013 jul;73(11):1131-45.
Seorang dokter, saat ini sedang menjalani pendidikan dokter spesialis penyakit dalam FKUI. Peminat berbagai topik sejarah dan astronomi.