Kali ini kita akan membahas mengenai ANCA associated vasculitis (AAV). Penyakit ini termasuk jarang, namun dapat ditemukan di Indonesia. Seperti namanya, vaskulitis artinya peradangan pembuluh darah. Secara garis besar, vaskulitis terbagi menjadi vaskulitis pembuluh darah besar, sedang, dan kecil. Vaskulitis ANCA ini termasuk ke dalam kelompok vasakulitis pembuluh darah kecil. Vaskulitis pembuluh darah kecil lainnya juga terjadi pada kondisi penyakit lupus atau SLE.
Daftar Isi
Definisi ANCA Associated Vasculitis
AAV merupakan kelompok penyakit heterogen yang bercirikan peradangan yang predominan pembuluh darah kecil disertai nekrosis di sekitarnya. Peradangan pembuluh darah ini tidak disertai atau hanya sedikit ditemukan adanya deposit imun. Jika ada, deposit imun ini berkaitan dengan MPO-ANCA atau PR3-ANCA. Tetapi, ternyata tidak semua pasien AAV memiliki ANCA sehingga muncul istilah AAV dengan ANCA negatif. Vaskulitis ANCA ini terdiri atas tiga kelompok yaitu
- Gralunomatosis dengan poliangitis (GPA), sebelumnya dikenal dengan nama granulomatosis Wagener. Yaitu inflamasi granulomatosa yang biasanya mengenai saluran napas atas dan bawah dan vaskulitis nekrotikans menyerang pembuluh darah sedang-kecil. Sering disertai dengan glomerulonefritis nekrotikans.
- Eosinophilic granulomatosis dengan polyangiitis (EGPA), sebelumnya dikenal dengan nama sindrom Churg-Strauss. Yaitu inflamasi granulomatosa nekrotikan yang kaya akan eosinofil, sering melibatkan saluran napasm serta berasosiasi dengan asma dan eosinofilia. ANCA lebih banyak positif bila disertai dengan glomerulonefritis
- Microscopic polyangiitis (MPA). Yaitu vaskulitis nekrotikan tanpa atau hanya sedikit deposit imun yang secara predominan menyerang pembuluh darah kecil. Arteritis nekrotikan dapat pula melibatkan arteri kecil dan sedang. Glomerulonefritis nekrotikan sangat sering terjadi. dapat pula terjadi kapileritis paru. Bedanya dengan dua di atas, pada MPA tidak dijumpai granuloma.
Patogenesis dan Patofisiologi AAV
Terdapat dua ANCA yang terlibat, MPO dan PR3. ANCA akan mengaktivasi neutrofil dan monosit yang kemudian melakukan reaksi inflamasi yang merusak pembuluh darah. Adapun proses terjadinya reaksi terhadap MPO dan PR3 serta konsekuensinya pada proses vaskulitis, dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Manifestasi Klinis AAV
Spektrum klinis dari AAV cukup lebar oleh sebab itu gejala dapat beragam mulai dari hanya kemerahan atau rash dikulit saja sampai kondisi fulminan yang melibatkan berbagai macam sistem organ. Gejala yang umum daru GPA adalah krusta di hidung, hidung tersumbat, epistaksis, uveitis, keterlibatan saluran napas atas, dan sedimen di urin.
Pasien dengan MPA biasanya usia lebih tua dengan gangguan ginjal yang lebih berat dari GPA. Pasien EGPA biasanya muncul dengan penyakit multiorgan dengan latar belakang, asma, poliposis hidung, dan eosinofilia di darah tepi.
Investigasi Klinis Kasus dengan Kecurigaan AAV
Dikarenakan kasus jarang serta presentasi klinis yang tidak spesifik, terdapat kesulitan dalam mendiagnosis AAV. Bahkan, diperkirakan sepertiga pasien terlambat dalam diagnosis sampai 6 bulan. Petunjuk yang sering kali muncul adalah keterlibatan berbagai macam sistem organ. Oleh sebab itu, anamnesis secara seksama menjadi penting.
Adapun pemeriksaan penunjang yang dilakukan meliputi petanda inflamasi, fungsi ginjal (ureum, kreatinin, dan selalu urinalisa), tes serologis ANCA, ANA, antibodi anti-GBM (SLE maupun sindrom Goodpasture dapat mirip AAV). Kemungkinan infeksi termasuk endokarditis infektif juga harus disingkirkan.
Pemeriksaan radiologis berupa foto toraks, CT-scan dada, otak, orbita, atau struktur ENT bila perlu. Kemudian biopsi harus dipertimbangkan untuk mengkonfirmasi diagnosis dan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Tetapi, pemberian terapi tidak perlu menunggu hasil biopsi.
Tatalaksana AAV: Induksi Remisi
Tujuan remisi adalah tidak adanya aktivitas penyakit yang dinilai dengan Birmingham Vasculitis Activity Score (BVAS). Pemberian kortikosteroid harian dan cyclophosphamide sangat membantu memperbaiki kondisi penyakit (mortalitas >80% pada tahun pertama jika tidak diterapi). Cara induksi remisi biasanya adalah dengan cyclophosphamide (atau rituximab) pada semua pasien dengan onset penyakit yang baru.
Cara induksi lain yaitu methotrexate atau mycophenolate mofetil hanya bisa digunakan pada kondisi tidak ada bukti penyakit yang mengancam nyawa. Algoritme pengobatan untuk pasien AAV onset baru adalah sebagai berikut:
Obat-obatan yang Digunakan pada Terapi AAV
Cyclophosphamide
Pemberian cyclophosphamide 2 mg/kg/hari ditambah dengan gkukokortikoid selama 3-6 bulan dapat memberikan remisi pada lebih dari 90% pasien. Dosis pulse IV 10-15 mg/kg juga effektif memberikan remisi dengan dosis akumulatif dan efek samping yang lebih kecil. Namun, pada follow up jangka panjang, pasien yang diberikan dosis pulse memiliki angka relaps yang lebih tinggi walaupun angka survival dan fungsi ginjal tidak berbeda bermakna.
Rituximab
Pemebrian rituximab pada AAV diberikan pada dua penelitian RCT: RAVE dan RITUXVAS. Di dua penelitian tersebut, pasien diberikan glukokortikoid dosis tinggi yang kemudian dilakukan penurunan dosis perlahan (tapering off). Dosis rituximab yang diberikan adalah 375 mg/m2 luas permukaan tubuh, sekali seminggu sebanyak 4 siklus. Di kedua RCT tersebut, rituximab memberikan hasil non-inferior dibandingkan cyclophosphamide dan sedikit lebih baik pada kasus relaps pada penelitian RAVE. Pemilihan antara kedua obat tersebu, rituximab dipakai:
- Untuk pasien baru, dalam mencapai remisi hindari pemakaian cyclophosphamide terutama jika ada kontraindikasi relatif seperti riwayat keganasan uroepitelial, wanita pre menopause yang belum punya keturunan, riwayat cyclophosphamide sebelumnya, alergi atau intoleransi cyclophosphamide
- Pemakaian rituximab jika pemberian cyclophosphamide sebelumnya tidak efektif
- Episode relaps yang pertama
- Untuk mempertahankan remisi jika pada fase induksi menggunakan rituximab atau alternatif lain (azathioprine, methotrexate, atau mycophenolate mofetil) tidak efektif
Terapi Rumatan Remisi pada AAV
Setelah tercapai remisi pada fase induksi, maka pengobatan dilanjutkan dengan azathioprine atau methotrexate. Tetapi, data mengenai jangka lama rumatan tidak cukup banyak dan didasarkan oleh pendapat para ahli. Secara umum rumatan dilakukan selama 18-24 bulan sebelum dilakukan tapering off. Penurunan dosis kortikosteorid dilakukan sebelum dilakukan tapering off dari imunosupresan.
Rituximab untuk rumatan dapat diberikan 500 mg pada hari 0, 14, dan pada bulan ke-6, 12, dan 18. Dikarenakan masa rumatan yang panjang, maka harus dilakukan penilaian menyeluruh. Setiap apsien harus dievaluasi kondisi kardiovaskuler, pemberian pencegahan osteoporosis, imunisasi terhadap pneumococcus dan influenza.
Prognosis AAV
Pasien AAV menghadapi risiko komplikasi penyakit maupun akibat dari terapi. Mortalitas pada tahun eprtama terutama akibat vaskulitis dan infeksi, sedangkan setelahnya didominasi oleh infeksi, kardiovaskuler, dan keganasan. Survival 5 tahun mencapai 75%.
Kesimpulan
AAV merupakan kondisi yang jarang didapat dan memberikan tantangan diagnosis yang besar. Pemberian terapi terutama rituximab telah banyak membantu dan saat ini AAV harus dipandang sebagai penyakit kronik. Oleh sebab itu, memerlukan evaluasi dan penatalaksanaan yang tidak hanya fokus terhadap AAV namun terhadap sistem lain seperti masalah kardiovaskuler.
Sumber
- Al-Hussain T, Hussein MH, Conca W, Al Mana H, Akhtar M. Pathophysiology of ANCA-associated Vasculitis. 2017;00(00):1–9.
- Hutton HL, Holdsworth SR, Kitching AR. ANCA-Associated Vasculitis: Pathogenesis, Models, and Preclinical Testing. Semin Nephrol. 2017;37(5):418–35.
- Irfan Warraich AK. ANCA Associated Glomerulonephritis- An In-Depth Review. J Nephrol Ther. 2014;04(01):147.
- Yates M, Watts R. ANCA-associated vasculitis. Clin Med (Northfield Il). 2017 Feb 1;17(1):60–4.
Seorang dokter, saat ini sedang menjalani pendidikan dokter spesialis penyakit dalam FKUI. Peminat berbagai topik sejarah dan astronomi.