Pada artikel terdahulu, kita ketahui bahwa tatalaksana penyakit lupus meliputi penghentian proses inflamasi, pemutusan siklus lingkaran setan, dan pencegahan flare. Selain itu, dari penjelasan sebelumnya pula kita ketahui bahwa SLE atau penyakit lupus dapat berupa penyakit yang melibatkan berbagai macam sistem organ atau dapat pula terbatas pada satu organ atau sistem organ saja. Oleh sebab itu, pada pengobatan dan tataksana SLE harus memperhatikan apa saja organ yang terlibat. Kali ini kita akan membahas mengenai bagaimana tatalaksana penyakit lupus atau SLE secara umum.
Daftar Isi
Diagnosis dan Work Up Penyakit Lupus/SLE
Karena SLE dapat menyerang berbagai macam organ, maka tanda dan gejala SLE dapat beragam. Akan tetapi, semuanya memiliki persamaan yaitu disertai dengan proses peradangan atau inflamasi yang berjalan lama atau kronik. Ternyata ada perbedaan pola tanda dan gejala antara penderita penyakit lupus dengan orang dewasa. Pada remaja dan anak, tanda dan gejala lupus yang banyak ditemukan adalah sebagai berikut:
- Malar rash atau kemerahan kulit di pipi
- Keterlibatan mukokutan seperti ulkus/tukak
- Kejang
- Trombositopenia
- Anemia hemolitik (AIHA)
- Demam
- Limfadenopati
Pada dewasa, khususnya pada wanita muda usia subur, presentasi klinis penyakit lupus berupa trias demam, nyeri sendi, dan rash. Jika dijumpai trias ini maka harus segera dilakukan work up diagnosis agar dapat dilakukan tatalaksana penyakit lupus sesegera mungkin. Adapun gejala lain yang mungkin dapat terjadi pada penderita lupus dewasa adalah sebagai berikut:
- Gejala konstitusional
- Muskuloskeletal
- Dermatologis
- GInjal
- Neuropsikiatri
- Keterlibatan paru
- Gastrointestinal atau saluran cerna
- Jantung
- Hematologi atau kelainan darah
Gejala dan tanda tadi harus diperhatikan untuk dapat menegakan diagnosis penyakit lupus. Saat ini, seorang penderita dapat dikatakan mengalami penyakit lupus apabila memenuhi keriteria teretntu yaitu kriteria SLICC. Untuk gambaran lebih lanjut gejala dan tanda penyakit lupus serta kriteria diagnosis lupus/SLE menurut SLICC dapat disimak di tautan ini.
Tujuan Utama Tatalaksana Penyakit Lupus/SLE
Untuk memperbaiki kondisi pasien secara jangka panjang, maka pemberian terapi ditujukan agar dapat dicapai remisi penyakit, pencegahan kerusakan organ, dan meminimalisasi efek samping obat agar kualitas hidup pasien dapat meningkat. Remisi komplit adalah hilangnya aktivitas penyakit secara klinis tanpa penggunakan steroid dan imunosupresan namun jarang pasien dapat mencapai remisi komplit ini. Adapun sebagai alternatifnya adalah tercapainya aktivitas penyakit yang rendah. Seorang pasien dapat dikatakan memiliki aktivitas penyakit yang rendah apabila:
- Skor SLEDAI ≤3 dengan pengobatan antimalaria, atau
- Skor SLEDAI ≤4, PGA ≤1 dengan glukokortikoid dosis ≤7,5 mg setara prednison dan imunosupresan dengan dosis yang dapat diterima dengan baik oleh pasien.
Tercapainya aktivitas penyakit SLE yang rendah ini memiliki komparasi yang sama dengan remisi komplit karena juga dalam kondisi tersebut mampu menhentikan proses kerusakan akrual dan mencegah terjadinya flare. Oleh sebab itu, apabila remisi komplit tidak tercapai, maka setidaknya pasien dapat mencapai kondisi aktivitas penyakit yang rendah (low disease activity).
Pada nefritis lupus, terapi diupayakan agar tercapainya minimal remisi parsial yaitu reduksi proteinuria ≥50% atau mencapai level subnefrotik dan kreatini serum dalam rentang 10% dari nilai kreatinin baseline dalam jangka waktu 6-12 bulan. Adapun remisi komplit pada nefritis lupus adalah tercapainya proteinuria <500 mg per hari dengan kreatinin dalam 10% baseline. Tetapi, terkadang untuk mencapai remisi komplit ini memerlukan durasi pengobatan yang lebih panjang dan kadang memerlukan waktu terapi 12-24 bulan.
Dalam monitoring respon ginjal, berkurangnya proteinuria menjadi <0,8 g/hari lebih penting dari pada menilai adanya hematuria residual. Pasien yang mempunyai proteinuria yang lebih berat atau durasi penyakit yang lebih lama memiliki kemungkinan lebih kecil untuk berespon atau memiliki kecenderungan lamban untuk bereaksi terhadap pengobatan.
Selain pemberian terapi, dilakukan upaya mencegah terjadinya flare. Yang dimaksud dengan flare adalah peningkatan aktivitas penyakit yang menyebabkan diperlukannya perubahan terapi. Faktor risiko terjadinya flare adalah usia muda, tidak memakai obat antimalaria, aktivitas penyakit yang menyeluruh secara persisten, dan aktivitas serologi (anti-dsDNA, rendahnya komplemen).
Monitoring SLE dengan Skor SLEDAI, PGA, dan BILAG
Monitoring aktivitas penyakit penting sebagai evaluasi berkala dalam tatalaksana penyakit lupus. Untuk membantu dalam menilai aktivitas penyakit, maka dibuat sistem skoring yang telah diteliti dan divalidasi. Saat ini aktivitas penyakit lupus dinilai dengan berbagai sistem. Berikut adalah beberapa sistem penilaian yang paling banyak dipakai.
SLEDAI-PGA
Systemic lupus erythematosus disease activity index (SLEDAI) adalah indeks aktivitas penyakit global yang dikembangkan dan diperkenalkan tahun 1985. SLEDAI ini telah banyak mengalami perubahan dan versi. Versi yang dipakai di Indonesia adalah SELENA-2K. Versi lain adalah SELENA-SLEDAI memasukan faktor penilaian flare. Di dalam SELENA-SLEDAI juga dimasukan physician’s global assessment (PGA) yang merupakan penilaian subjektif dokter terhadap kondisi penyakit pasien yang dibuat penilaiannya dengan visual analogue scale. Di bawah ini adalah tabel contoh penilaian dari SLEDAI-2K dan SELENA-SLEDAI:
Untuk memudahkan, saat ini ada kalkulator yang dapat membantu dalam menilai SLEDAI-2K. Terdapat pula aplikasi RheumaHelper yang dapat digunakan dalam praktek sehari-hari dalam mengevaluasi pasien SLE.
BILAG
Indeks lainnya adalah British-Isle lupus assessment group (BILAG) yang dibangun oleh peneliti dari Inggris dan diperkenalkan tahun 1988. Saat ini, versi yang dipakai adalah indeks BILAG-2004 yang menilai 97 item atau karakteristik. Setiap kelompok item (konstitusional, mukokutan, dst) dinilai dengan skoring A-E. Di bawah ini adalah 97 item yang dinilai dalam indeks BILAG-2004:
Untuk contoh formulir dan penilaian aktivitas penyakit berdasarkan BIILAG-2004 dapat diunduh file formulir berikut.
Terapi pada SLE
Pada bagian ini akan dijelaskan secara singkat masing-masing obat yang digunakan dalam terapi atau tatalaksana penyakit lupus.
Hidroksikloroquin (HCQ)
HCQ direkomendasikan untuk semua pasien dengan SLE. Dari penelitian diketahui ada bukti mengenai berbagai keuntungan pemberian HCQ pada SLE. Efek samping utama dari HCQ adalah retinopati dan dapat terjadi pada hampir 10% pengguna setelah 20 tahun penggunaan secara terus menerus. Risiko ini sangat rendah apabila diberikan di bawah dosis 5 mg/kg berat badan aktual sehingga dosis harian jangan melebihi batas tersebut. Bentuk lain obat antimalaria yaitu quinacrine dapat terutama pada pasien dengan manifestasi kutaneus dan mengalami retinopati akibat HCQ.
Glukokortikoid (GK)
GK dapat memberikan perbaikan gejala yang cepat namun dalam jangka waktu menengah dan panjang harus diupayakan agar dosisnya diminimalkan yaitu ≤7,5 mg/hari setara prednison atau jika bisa dihentikan sama sekali. Penggunaan jangka lama GK diketahui berhubungan dengan banyak kerusakan organ. Adapun pemberikan GK ini dilakukan dengan dua pendekatan:
- Penggunaan pulse dose dari GK secara IV metilprednisolon dengan memanfaatkan efek non enomik dari GK sehingga memungkinkan pemberian dosis awal GK yang lebih rendah dan tapering off yang cepat.
- Inisiasi lebih awal dari imunosupresan untuk memfasilitasi tapering dan jika memungkinkan penghentian GK oral
Pada keadaan akut dan manifestasi organ yang mengancam nyawa, dapat diberikan GK dosis tinggi (biasanya 250-1000 mg/hari selama 3 hari) setelah menilai bahwa tidak ada infeksi yang menyertai. Setelah pemberian dosis tinggi ini kemudian diikuti dosis 1 mg/kg BB setara prednison yang diikuti dengan tapering off atau penurunan dosis perlahan dengan target ≤7,5 mg/hari setara prednison sambil evaluasi perbaikan kondisi klinis pasien.
Apabila dosis awal GK setara prednisone lebih dari 40 mg perhari, maka penurunan dosis dapat dilakukan 5-10 mg setiap 1-2 minggu. Apabila mencapai dosis setara prednison 20-40 mg per hari maka penurunan dosis 5 mg setiap 1-2 minggu. Jika sudah <20 mg setara prednison per hari, maka selanjutnya penurunan dosis 1-2,5 mg setiap 2-3 minggu sampai dosis paling kecil yang bisa diberikan yang bisa menenangkan kondisi SLE dari pasien (target ≤7,5 mg/hari setara prednison
Imunosupresan (IS)
IS penting dalam tatalaksana penyakit lupus. Pemberian IS dapat memfasilitasi tapering off GK yang lebih cepat. Pemilihan agen IS tergantung dari manifestasi organ dari SLE, usia pasien, status kesuburan, keamanan, dan biaya. Methotrexate (MTX) dan azathioprine (AZA) harus dipertimbangkan untuk diberikan pada kondisi kontrol gejala yang buruk setelah diberikan GK dan HCQ.
Bukti klinis MTX lebih baik dibandingkan AZA namun AZA lebih kompatibel apabila pasien menghendaki kehamilan. Mycophenolate mofetil (MMF) merupakan IS yang poten dengan efikasi pada manifestasi klinis SLE ginjal dan non-ginjal (walaupun tidak pada NPSLE).
MMF lebih baik dibandingkan dengan AZA untuk tercapainya remisi namun pemberian MMF harus dihentikan selama setidaknya 6 minggu apabila pasien berencana untuk hamil. Selain itu, biaya pengobatan dengan MMF juga lebih tinggi dibandingkan dengan MTX atau AZA.
Calcineurin inhibitor (CNI) seperti cyclosporine dan tacrolimus menekan sistem imuni dengan mencegah produksi interleukin-2 (IL-2) oleh sel T. CNI digunakan pada lupus kutaneus dan lini kedua untuk terapi nefritis lupus.
Cyclophosphamide (CYC) dapat diberikan pada kondisi yang mengancam nyawa terutama manifestasi ginjal, karidiopulmoner, dan neuropsikiatri dan hanya dipilih pada kondisi SLE tanpa manifestasi organ mayor apabila refrakter. Hal ini disebabkan efek gonadotoksik sehingga harus digunakan dengan sangat hati-hati pada usia subur. Risiko lain yang dikaitkan dengan CYC adalah meningkatnya risiko keganasan dan infeksi.
Agen Biologis
Saat ini penggunaan agen biologis semakin mendapat tempat dalam tatalaksana penyakit lupus. Terdapat hasil penelitian yang menunjukan bahwa ada keuntungan apabila diberikan terapi yang menargetkan sel B. Belimumab adalah antibodi dengan target B lymphocyte stimulator (BLyS).
Belimumab dipertimbangkan untuk diberikan pada SLE yang tidak terkontrol dengan pengobatan lini pertama. Adapun rituximab, yang merupakan antibodi anti CD-20 digunakan secara off label untuk SLE dengan gejala renal dan nonrenal (terutama hematologi) yang berat dan refrakter terhadap pengobatan lainnya.
Tatalaksana Penyakit Lupus untuk Manifestasi Organ Spesifik
Secara umum, untuk tatalaksana penyakit lupus yang selain manifestasi ginjal mengikuti alur di bawah ini:
Adapun yang dimaksud dengan aktivitas penyakit ringan, sedang, dan berat adalah sebagai berikut:
Ringan
- Gejala konstitusional
- Artritis ringan
- Rash ≤9% BSA (body surface area)
- Trombosit 50-100.000 /mm3
- SLEDAI ≤6
- BILAG C atau ≤1 manifestasi BILAG B
Sedang
- RA-like arthritis
- Rash 9-18% BSA
- Vaskulitis kutaneus ≤18% BSA
- Trombosit 20-50.000 /mm3
- Serositis
- SLEDAI 7-12
- ≥2 manifestasi BILAG B
Berat
- Manifestasi organ mayor yang mengancam nyawa:
- Nefritis
- Cerebritis
- Myelitis
- Pneumonitis
- Vaskulitis mesenterika
- Trobositopenia <20.000 /mm3
- TTP-like disease atau acute hemophagocytic syndrome
- SLEDAI >12
- ≥1 manifestasi BILAG A
Tatalaksana Penyakit Lupus dengan Manifestasi Kulit
Salah satu hal yang penting dalam penanganan manifestasi kulit adalah perlindungan terhadap sinar ultraviolet. Pada keadaan atipikal atau refrakter, kadang diperlukan biopsi kulit untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab lainnya. Lini pertama untuk pengobatan manifestasi kulit SLE adalah agen topikal (GK atau CNI) dan HCQ dengan atau tanpa GK sistemik atau oral.
Sekitar 40% kasus tidak berespon baik dengan pengobatan lini pertama tersebut. Pada kasus ini, dapat ditambahkan MTX. Agen lain yang dapat dimanfaatkan adalah retinoid, dapsone, dan MMF. Thalidomide bermanfaat juga pada manifestasi kulit SLE tetapi karena bersifat teratogenik, risiko polineuropati irreversible, dan relaps yang sering maka penggunaan obat ini hanya diperuntukan untuk kasus yang relaps dan gagal dengan pengobatan lain.
Tatalaksana Penyakit Lupus dengan Manifestasi Neuropsikiatri (NPSLE)
Diagnosis NPSLE memerlukan pemeriksaan yang teliti guna kemiripan gejala dengan penyakit lain teruatma serebrovaskular. Adapun pengobatan pada NPSLE bergantung dari mekanisme penyebab dari gejala tersebut yaitu apakah iskemia atau inflamasi.
Apabila diperkirakan karena inflamasi, maka obat yang diberikan adalah GK dan/atau IS. Sedankan apabila iskemia, maka yang diberikan terutama antitrombotik dan antikoagulan terutama apabila terdapat antibodi antifosfolipid (aPL) yang positif. Membedakan kedua proses ini tidaklah mudah dan bahkan seringkali keduanya muncul pada pasien yang sama.
Tatalaksana Penyakit Lupus dengan Manifestasi Hematologis
Manifestasi hematologi yang sering memerlukan pemberian GK dan IS adalah trombositopenia dan AIHA. Terapi lini pertama untuk trombositopenia sedang (<30.000 /mm3) adalah GK dosis sedang-tinggi ditambah dengan IS (AZA, MMF, atau CYC). Pemberian terapi inisial dengan pulse dose (1-3 hari) lebih disarankan untuk memfasilitasi tappering off yang cepat. Dalam keadaan fase akut dimana respon terhadap dosis tinggi GK tidak adekuat atau adanya infeksi dapat diberikan intravenous immunoglobulin (IGIV).
Terapi pada kasus trombositopenia sering kali lama dan banyak episode relaps saat tapering dari GK. Jika tidak respon terhadap GK, dimana trombosit gagal naik >50.000 /mm3 atau mengalami relaps, maka dapat dipertimbangkan pemberian RTX atau CYC.
AIHA lebih sedikit jumlahnya dibandingkan trombositopenia. Prinsip pengobatan dalam pemakaian GK, IS, ataupun RTX mengikuti atau sama dengan pada kasus trombositopenia di atas. Adapun leukpenia autoimun jarang memerlukan pemebrian terapi yang khusus.
Tatalaksana Penyakit Lupus dengan Manifestasi Ginjal/Nefritis Lupus
Pada pasien yang berisiko tinggi mendapatkan manifestasi ginjal SLE yaitu usia muda/juvenil, laki-laki, aktif secara serologi termasuk positif antibodi anti-C1q harus dilakukan monitoring ketat kemungkinan adanya nefritis lupus minimal pada 3 bulan pertama. Apabila diagnosis ditegakan, maka diikuti dengan biopsi ginjal dan terapi nefritis lupus diberikan jangka panjang termasuk fase inisial berupa induksi diikuti fase rumatan yang panjang.
MMF dan CYC merupakan agen IS yang terpilih untuk terapi induksi nefritis lupus. CYC dosis rendah lebih dipilih dibandingkan CYC dosis tinggi karena efikasi sama dan gondadotoksisitas yang lebih rendah. Pada nefritis lupus yang berat yang berisiko berporgresi ke gagal ginjal terminal (berkurangnya GFR, secara histologis terdapat gamabran kresentik fibrosa atau nekrosis fibrinoid, atau fibrosis interstitial/atrofi tubular) maka lebih dipilih MMF dan CYC dosis tinggi.
Prediktor terapi yang menggambarkan respon baik adalah turunnya proteinuria signifikan yaitu ≤1 g/hari dalam 6 bulan atau <0,8 g/hari dalam 12 bulan. MMF atau AZA dapat digunakan untuk terapi rumatan namun MMF memberikan efek relaps yang lebih sedikit. Pilihan ini bergantung dari penggunaan terapi induksi dan karakteristik pasien termasuk usia, ras, dan keinginan untuk hamil. Pada kasus refrakter, dapat dipertimbangkan pemberian RTX.
Penggunaan CNI dapat dipertimbangkan sebagai lini kedua pada lupus nefritis membranosa, podositopati, atau proliperatif dengan sindrom nefrotik yang refrakter dengan terapi standar 3-6 bulan. Pada kasus yang refrakter, dapat dipertimbangka kombinasi CNI dengan MMF. Pada penggunaan CNI, diperlukan monitor kadar obat dan kreatinin serum untuk mencegah toksisitas obat.
Tatalaksana Komorbiditas
Dalam tatalaksana penyakit lupus, komorbiditas penting diperhatikan. Hal ini karena baik penyakit maupun pengobatan sering kali berhubungan atau memperberat komorbiditas yang dimiliki oleh pasien. Berikut adalah komorbiditas yang sering ada pada penyakit lupus.
Antibodi Antifosfolipid (aPL) dan Sindrom Antifosfolipid (APS)
Adanya aPL berhubungan dengan komplikasi trombotik dan obstetrik dan meningkatkan risiko kerusakan akrual. Dari meta analisis ditemukan bahwa pemberian aspirin dosis rendah dapat menurunkan risiko trombosis pada pasien yang memiliki aPL. Akan tetapi, apabila dikaitkan dengan risiko bahaya perdarahan akibat aspirin, masih belum jelas apakah pemberian aspirin harus diberikan pada semua penderita lupus dengan aPL atau hanya untuk penderita lupus dengan profil aPL dengan risiko tinggi. Adapun pengertian dari aPL berisiko tinggi misalnya adalah tripel positif aPL, tingginya titer lupus antikoagulan, atau tingginya titer anti kardiolipin. Pasien lupus dengan aPL juga dapat diberikan tambahan antikoagulan seperti LMWH saat periode dengan risiko tinggi trombosis seperti saat kehamilan atau pasca operasi.
Sejauh ini, belum ada penelitian khusus dalam terapi pasien SLE dengan APS. Memang ada petunjuk pengobatan yang ditujukan untuk pasien dengan APS primer (tanpa SLE) sehingga sampai saat ini, penatalaksanaan pasien APS sekunder disamakan dengan APS primer.
Sampai saat ini, penggunaan antikoagulan baru seperti rivaroxaban pada penderita APS dengan tripel aPL tidak dianjurkan karena kejadian tromboemboli yang lebih tinggi dibandingkan pemberian warfarin. Akan tetapi, pemberian antikoagulan baru ini dapat dipertimbangkan pada pasien APS dengan profil risiko rendah dan tanpa riwayat kejadian tromboemboli yang sulit mencapai target INR dengan warfarin.
Infeksi
Penderita SLE rentan mengalami infeksi baik disebabkan oleh lemahnya sistem imunitas karena penyakitnya maupun berhubungan dengan terapi yang diberikan. Pemberian steroid dosis tinggi, cyclophosphamide, MMF, dan rituximab berhubungan dengan peningkatan risiko infeksi. Adapun aktivitas penyakit SLE yang berhubungan dengan infeksi diantaranya aktivitas penyakit yang tinggi, leukopenia berat, dan keterlibatan ginjal yang menyebabkan hipogamaglobulinemia secara independen juga menyebabkan individu penderita SLE rentan terkena infeksi.
Fokus penanganan infeksi terutama menekankan pada pencegahan seperti pemberian vaksinasi dan pengenalan secara dini serta terapi yang tepat dan cepat. Vaksinasi disarankan diberikan saat aktivitas penyakit yang stabil. Sangat dianjurkan untuk pemberian vaksinasi influenza dan pneumokokal baik PCV13 maupun PPSV23. Adapun untuk hepes zooster walaupun saat ini sudah tersedia vaksin untuk populasi umum, namun belum ada penelitian pemberian vaksinasi herpes zooster pada penderita lupus.
Sepsis merupakan kondisi yang harus diwaspadai pada penderita SLE yang mengalami infeksi. Penggunaan SOFA maupun qSOFA dapat dipakai dalam menilai baik diagnosis maupun prognosis penderita SLE yang mengalami sepsis.
Penyakit Kardiovaskular
SLE merupakan faktor risiko independen adanya penyakit kardiovaskuler. Faktor yang berkontribusi baik aktivitas penyakit yang persisten, lupus nefritis, dan adanya aPL serta penggunaan GK. Untuk mendeteksi adanya penyakit kardiovaskulat subklinis pada penderita SLE dapat digunakan metode pemeriksaan plaq karotis dengan USG, tebal intima arteri karotis (cIMT), dan coronary artery calcium.
Pencegahan primer dengan dosis rendah aspirin dapat dipertimbangkan pada penderita SLE namun harus mempertimbangkan risiko pemberian aspirin yaitu perdarahan saluran cerna. Pemberian statin sebagai pencegahan primer gagal terbukti bisa memperbaiki cIMT sehingga pemberian statin hanya untuk penderita SLE dengan kadar lipid yang tinggi dan tidak digunakan secara rutin untuk semua pasien.
Contoh Evaluasi dan Pemberian Terapi
Berikut ini adalah tabel contoh evaluasi dan pemberian terapi pada lupus. Pada tabel pertama ditampilan bagaimana pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan saat pasien dalam tahap awal terapi sampai evaluasi-evaluasi yang dilakukan setelahnya. Tabel yang di bawahnya adalah bagaimana pengobatan yang diberikan pada kebanyakan kasus lupus.
Penilaian awal | Evaluasi saat aktivitas penyakit aktif (dilakukan setidaknya setiap 1-3 bulan) | Evaluasi saat penyakit stabil (dilakukan setidaknya setiap 6-12 bulan) | Kehamilan (saat konseling dan follow up) | ||
---|---|---|---|---|---|
Anamnesis dan pemeriksaan fisis | |||||
Anamnesis detil | X | Anamnesis terfokus | Anamnesis terfokus | Anamnesis obstetrik | |
Pemeriksaan fisis | X | X | X* | X | |
Tanda vital | X | X | X | X | |
Review obat | X | X | X | X | |
Pemeriksaan darah | |||||
DPL lengkap | X | X | X | X | |
Evaluasi untuk anemia | X* | X* | X* | X* | |
- Fungsi ginjal | X | X | X | X | |
- Profil tulang | X | X* | X* | X | |
- Fungsi hati | X | X* | X* | X | |
- Kreatinin kinase | X | X* | X* | X* | |
- CRP | X | X* | X* | X* | |
- Vitamin D3 | X | X* | Tiap tahun | X | |
- Fungsi tiroid | X | X* | X* | X | |
Imunologi | |||||
ANA | X | - | - | X* | |
Anti-dsDNA, level C3/C4 | X | X | X | X | |
aPL (LA, aCL, anti-beta2-glikoprotein) | X | X* | X* | Ulang jika sebelumnya negatif | |
Abti-Ro/La, anti-RNP, dan anti-Sm | X | - | - | Ulang jika sebelumnya negatif | |
Imunoglobulin | X | X* | Tiap tahun | X* | |
Direct Coomb's test | X | X* | X* | X* | |
Urin | |||||
Urinalisa (evaluasi proteinuria, hematuria, leukosituria, dan nitrit untuk eksklusi infeksi) | X | X | X | X | |
Rasio protein: kreatinin urin acak atau urin tampung 24 jam | X* | X* | X* | X* | |
Mikroskopi urin dan biakan | X* | X* | X* | X* | |
Lainnya | |||||
Mikrobiologi | X* | X* | X* | X* | |
Biopsi (kulit, ginjal) | X* | X* | X* | X** | |
Fungsi paru | X* | X* | X* | X* | |
Neurofisiologi | X* | X* | X* | X* | |
EKG | X | X* | X* | X* | |
Imaging | |||||
Toraks foto | X | X* | X* | X** | |
Lainnya (USG, CT, MRI) | X* | X* | X* | X** | |
Faktor risiko kardiovaskular | |||||
Hipertensi | X | X* | Tiap tahun | X | |
Dislipidemia | X | X* | Tiap tahun | X* | |
Diabetes | X | X* | Tiap tahun | X | |
IMT tinggi | X | X* | Tiap tahun | X | |
Rokok | X | X* | Tiap tahun | X | |
Aktivitas penyakit | |||||
BILAG (indeks BILAG 2004) atau | X | X* | Tiap tahun | BILAG2004P*** | |
SLEDAI (SLEDAI 2K atau SELENA SLEDAI) | X | X* | Tiap tahun | SLEPDAI*** | |
SLICC/ACR Dammage Index | X | X* | Tiap tahun | X | |
Kuesioner kualitas hidup | |||||
SF-36 atau LupusQoL | X | X* | Tiap tahun | X* | |
* Saat diindikasikan; ** saat diindikasikan dan benefit > risiko; *** versi kehamilan |
Aktivitas/flare ringan | Aktivitas/flare sedang | Aktivitas/flare berat | |||
---|---|---|---|---|---|
Pemberian inisiasi obat yang umum dilakukan jika tidak ada kontraindikasi | KS: topikal atau prednison oral <20 mg per hari selama 1-2 minggu atau IM atau metilprednisolon intraartikular 80-120 mg | Prednisolon <0,5 mg/kg/hari | Prednisolon <0,5 mg/kg/hari | ||
dan HCQ <6,5 mg/kg/hari | atau metilprednisolon IV <250 mg 1-3 kali | dan/atau metilprednisolon IV 500 mg 1-3 kali | |||
dan/atau MTX 7,5-15 mg/minggu | atau metilprednisolon IM 80-120 mg | atau prednisolon <7,5 mg/kg/hari | |||
dan/atau NSAID (hanya untuk beberapa hari atau minggu) | dan AZA 1,5-2 mg/kg/hari | dan AZA 2-3 mg/kg/hari | |||
atau MTX 10-25 mg/minggu | atau MMF 2-3 mg/kg/hari | ||||
atau MMF 2-3 gram/hari | atau CYC IV atau ciclosporin <2,5 mg/kg/hari | ||||
atau ciclosporin <2 mg/kg/hari | dan HCQ <6,5 mg/kg/hari | ||||
dan HCQ <6,5 mg/kg/hari | |||||
Obat dengan dosis rumatan yang umum digunakan jika tidak ada kontraindikasi | Prednisolon <7,5 mg/hari | Prednisolon <7,5 mg/hari | Prednisolon <7,5 mg/hari | ||
dan HCQ 200 mg/hari | dan AZA 50-100 mg/hari | dan MMF 1-1,5 gram/hari | |||
dan/atau MTX 10 mg/minggu | atau MTX 10 mg/minggu | atau AZA 50-100 mg/hari | |||
atau MMF 1 gram/hari | atau ciclosporin 50-100 mg/hari | ||||
atau ciclosporin 50-100 mg/hari | dan HCQ 200 mg/hari | ||||
dan HCQ 200 mg/hari | |||||
Ditujukan untuk mengurangi dan menyetop obat kecuali HCQ saat remisi stabil | Ditujukan untuk mengurangi dan menyetop obat kecuali HCQ saat remisi stabil | Ditujukan untuk mengurangi dan menyetop obat kecuali HCQ saat remisi stabil |
Kesimpulan
Lupus atau SLE merupakan penyakit kompleks dengan manifestasi klinis yang sangat beragam. Identifikasi manifestasi klinis tersebut penting untuk menentukan terapi awal, khsusunya mendeteksi adanya manifestasi ginjal dan neuropsikiatri. Pemberian terapi harus diikuti evaluasi yang baik dengan menggunakan SLEDAI dan harus diingatkan tujuan terapi tatalaksana penyakit lupus yaitu tercapainya remisi atau aktivitas penyakit yang rendah. Selain berupa artikel, pembahasan tatalaksana lupus juga dapat disimak di video di video ini:
Sumber
- Fanouriakis A, Kostopoulou M, Alunno A, Aringer M, Bajema I, Boletis JN, et al. 2019 Update of the EULAR recommendations for the management of systemic lupus erythematosus. Ann Rheum Dis. 2019;78(6):736–45.
- Gordon C, Amissah-Arthur M-B, Gayed M, Brown S, Bruce IN, D’Cruz D, et al. The British Society for Rheumatology guideline for the management of systemic lupus erythematosus in adults. Rheumatology. 2018 Jan 1;57(1):e1–45.
- Livingston B, Bonner A, Pope J. Differences in clinical manifestations between childhood-onset lupus and adult-onset lupus: A meta-analysis. Lupus. 2011;20(13):1345–55.
- https://musculoskeletalkey.com/clinical-measures-metrics-and-indices/
Seorang dokter, saat ini sedang menjalani pendidikan dokter spesialis penyakit dalam FKUI. Peminat berbagai topik sejarah dan astronomi.