Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH), Penyakit dengan Harga Obat Selangit

Cecep Suryani SoburHematologi - Onkologi Medik, Kedokteran Leave a Comment

Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria (PNH) adalah penyakit kelainan klonal di sumsum tulang yang ditandai dengan pecahnya sel darah merah (hemolisis) secara spontan di dalam pembuluh darah. Sel darah merah yang pecah kemudian akan mengeluarkan hemoglobin ke dalam plasma. Hemoglobin ini kemudian dikeluarkan oleh ginjal dan menyebabkan warna air kencing atau urin yang gelap. Urin yang gelap ini sering kali tampak jelas saat waktu berkemih pagi hari. Dari kejadian itulah nama penyakit ini berasal yaitu nocturna yang artinya malam hari, hemoglobinuria berarti hemoglobin dalam urin, dan paroxysmal yang artinya spontan atau muncul mendadak.

Di bawah ini adalah contoh warna urin pada penderita PNH. Tampak bahwa warna urin pada pagi hari berwarna lebih gelap. Warna gelap tersebut berasal dari hemoglobin yang ada dalam urin. Hemoglobin tersebut berasal dari eritrosit yang pecah akibat PNH.

Patogenesis PNH

PNH adalah penyakit yang jarang ditemukan. Penyebab penyakit ini adalah defek sel punca pluripoten yang menyebabkan gangguan pada eritrosit atau sel darah merah, leukosit, trombosit, dan endotel. Insiden dari PNH tidak diketahui namun diperkirakan terjadi 0,1-0,2/100.000 penduduk per tahun.

Gangguan yang terjadi adalah mutasi somatik pada gen yang berada di kromosom X. Gen tersebut bertanggung jawab dalam pembentukan anchor atau tambatan dari glycosyl phosphatidylinositol (GPI). Tambatan ini berfungsi untuk tempat menempelnya protein tertentu di permukaan membran sel.

Berkurangnya tambatan GPI ini menyebabkan turunnya ekspresi berbagai macam protein pada permukaan sel hematopoietik. Melalui mekanisme tersebut, terdapat dua protein permukaan penting yang yang hilang dari permukaan membran sel. Kedua protein tersebut yaitu decay-accelerating factor (DAF) atau disebut juga CD55 dan membrane inhibitor reactive lysis (MIRL) atau CD59. Eritrosit yang kekurangan dua protein ini rentan terhadap serangan atau aktivasi komplemen dan akhirnya menyebab hemolisis atau pecah.

Proses pecahnya eritrosit dan perbandingannya dengan kondisi yang normal dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Patogenesis PNH
Patogenesis PNH. A mekanisme perlindungan pada orang normal. B. mekanisme hilangnya DAF dan MIRL menyebabkan lisis eritrosit pada PNH

Hemoglobin bebas yang berasal dari lisis eritrosit dapat berbahaya dan bersifat racun. Hemoglobin bebas dapat menyebabkan scavanging dari NO. Berkurangnya NO di pembuluh darah menyebabkan berbagai gejala yang dialami oleh penderita PNH. Gejala tersebut berupa nyeri perut akibat distonia sel otot polos, disfungsi ereksi, berkurangnya aliran darah ke ginjal, hipertensi arteri, dan hipertensi pulmoner.

Mutasi Sel Punca Hematopoietik pada PNH

Klon dari sel punca yang bermutasi pada PNH adalah klonal jinak. Mekanisme evolusi sel klonal pada PNH terjadi melalui hipotesis dua tahap, yaitu:

  1. Tahap pertama adalah munculnya mutasi PIG-A. Pada tahapan ini belum muncul gejala dan penderita secara umum tampak sehat.
  2. Tahap selanjutnya adalah adanya cedera pada sel punca yang menyebabkan aktivasi sel T dan sel NK.

Sel punca yang tidak memiliki mutasi PIG-A akan mengalami kematian karena diserang sel imun. Adapun sel yang memiliki mutasi PIG-A akan bertahan karena sel kekurangan tambatan GPI menyebabkan sel imun tidak bisa bereaksi sel tersebut. Melalui proses ini, terjadi kegagalan sumsum tulang dan ekspansi klonal dari sel dengan mutasi PIG-A. Proses tersebut dapat kita lihat pada gambar di bawah ini:

Mutasi PIG-A sebagai penyebab terjadinya PNH
GPI: glycosyl phosphatidylinositol

Diagnosis PNH

Pada zaman dahulu, pemeriksaan PNH dilakukan melalui tes aktivasi komplemen in vitro baik dengan asam (tes Ham) atau osmolaritas (tes sukrosa/sugar test). Saat ini untuk diagnosis PNH dilakukan dengan teknik flowcitometry (FCM). Pada tes ini, pada eritrosit ditambahkan antibodi anti CD55 dan CD59. Apabila pada FCM kemudian terdeteksi defisiensi kedua protein tersebut, maka diagnosis PNH dapat ditegakan. Pemeriksaan ini tidak dapat dilakukan hanya satu protein saja karena ada kelainan kongenital lain selain PNG dimana ekspresi CD55 atau CD59 menjadi berkurang atau hilang. Selain itu, pemeriksaan juga sebaiknya dilakukan pada dua galur sel yang berbeda. Keadaan hemolisis yang atau transfusi yang baru terjadi menyebabkan tes ini dapat memberi hasil negatif palsu.

Pada pasien PNH, terdapat mosaisisme karena terdapat tiga populasi sel. Populasi pertama adalah sel tipe I yang mengekspresikan protein penambat GPI secara normal, tipe II dimana terdapat defisiensi parsial, dan tipe III dimana ekspresi protein GPI tidak ada sama sekali. Melalui FCM, ketiga populasi sel ini dapat teridentifikasi.

Terdapat reagen lain yaitu FLAER (fluorescent aerolysin). Aerolysin adala faktor virulen dari bakteri Aeromonas hydrophylia. Protein ini berikatan secara kuat dengan tambat GPI. Melalui reagen ini, diagnosis PNH dapat dilakukan secara lebih akurat. Sel klonal PNH dapat terdeteksi dalam fraksi kurang dari 1%.

Selain adanya hemolisis, trombosis dapat menjadi petunjuk adanya PNH. Oleh karena itu, dianjurkan melakukan FCM untuk mencari kemungkinan PNH jika ada satu dari empat kriteria, yaitu

  1. Usia muda (<50 tahun)
  2. Trombosis di tempat yang tidak biasa (vena intraabdomen, vena otak, vena dermal)
  3. Hemolisis
  4. Sitopenoa

Selain FCM, pemeriksaan lain yang dilakukan apabila ada kecurigaan ke arah PNH adalah pemeriksaan darah perifer lengkap, hitung jenis, hitung retikulosit, LDH, bilirubin, haptoglobin, hemosiderin, evaluasi simpanan besi, BMP, biopsi, dan sitogenetik

Manifestasi Klinis PNH

Terdapat tiga bentuk manifestasi dari PNH, tipe klasik, PNH berasosiasi dengan anemia aplastik, dan PNH subklinis.

  • PNH tipe klasik
    • Biasanya terjadi pada kelompok usia muda
    • Terjadi anemia hemolitik intravaskuler akibat aktivasi komplemen secara terus-menerus
    • Dapat terjadi episode hemolitik yang besar, biasanya disebabkan adanya infeksi, tindakan bedah, aktivitas fisik berat, dan alkohol.
    • Tanda dan gejala yang ada adalah anemia, hemoglobinuria (biasanya pada pagi, akibat suhu rendah dan perubahan pH), kuning, dan gejala lemas dan lelah
    • Tidak ada tanda kegagalan sumsum tulang (neutrofil >1500 /μL, trombosit >120.000 /μL)
    • Dapat terjadi disfagia, nyeri perut, dan disfungsi ereksi (35%)
    • Peristiwa trombotik biasanya sering terjadi
    • Gagal jantung adalah komplikasi yang berat, dapat terjadi akibat deplesi NO akibat konstriksi arteri, hemosiderosis kronik, dan trombosis mikrovaskuler
    • Risiko MDS dan AML adalah sebesar 5% dan 2,5%
  • Anemia aplastik berasosiasi dengan PNH
    • Pada kondisi ini, klon PNH biasanya <10%
    • Selain ada anemia hemolisis, terjadi sitopenia komponen darah yang lain
    • Manifestasi klinis yang umum terlihat adalah gagal sumsum tulang
  • PNH subklinis
    • Biasanya terjadi jika jumlah klon <1% dan tanpa hemolisis
    • Pada anemia aplastik sekitar 60% terdapat klon PNH dan 20% pada MDS berisiko rendah
    • Jika PNH berasosiasi dengan AA, biasanya berespon baik dengan imunosupresi
    • Jika PNH berasosiasi dengan MDS berisiko rendah (anemia refrakter), biasanya terdapat abnormalitas morfologi yang lebih rendah, trombositopenia yang lebih berat, abnormalitas kariotipe (monosomi 7 dan trisomi 8) yang lebih rendah, insidens HLA-DR15 yang lebih tinggi, laju progresi ke AML yang lebih rendah, dan kemungkinan berespon terhadap cyclosporine yang lebih tinggi.
    • PNH yang berkaitan dengan MDS atau anemia aplastik ini diperkirakan berkaitan dengan proses autoimun
    • Proses autoimun tersebut menghambat sel punca normal namun tidak banyak berpengaruh terhadap klon PNH sehingga klon PNH bisa berkembang
    • Klon PNH ini biasanya akan tersupresi jika sel punca normal kembali normal setelah terapi imunosupresi

Trombosis pada PNH

Trombosis menjadi penyebab utama pada penderita PNH dan terjadi pada 40% pasien. Sekitar 40-67% pasien PNH meninggal akibat komplikasi trombosis. Trombosis yang terjadi 85% adalah trombosis pada vena dan 15% sisanya adalah trombosis arteri. Tempat terjadinya trombosis dapat pada pembuluh darah yang umum seperti vena dalam, emboli paru, infark miokardial, dan arteri susunan saraf pusat. Tempat yang biasanya jarang terjadi trombosis justru lebih sering terjadi pada pasien PNH seperti vena heaptika (sindrom Budd-Chiari), sinus cavernosus, vena susunan saraf pusat, vena mesenterika, atau vena dermis.

Trombisis pada PNH saat kehamilan ternyata juga sering terjadi dan meningkatkan mortalitas dan morbiditas. Pada pasaien PNH, banyak ahli tidak merekomendasikan untuk hamil akibat tingginya risiko trombosis.

Mekanisme peningkatan trombosis pada PNH sebenarnya tidak diketahui secara pasti dan bersifat multifaktorial. Mikrovesikel dipercaya berperan penting dalam proses trombosis tersebut.

Terapi PNH Subklinis dan PNH yang Berasosiasi dengan Anemia Aplastik

Pada PNH subklinis, karena tidak bergejala, tidak diperlukan terapi khusus. Monitor setiap 6-12 bulan untuk melihat adanya ekspansi klon PNH dan perkembangan menjadi PNH tipe klasik.

Terapi PNH yang berasosiasi dengan anemia aplastik berdasarkan mekanisme yang melatarbelakangi. Imunosupresan dapat diberikan atau dilakukan transplantasi sumsum tulang. Namun, jika terdapat manifestasi PNH klasik, pemberian imusupresan dapat menjadi probleamtik. Supresi sel T dapat menyebabkan ekspansi klon dan perburukan hemolisis dan trombosis. Pemberian rituximab dapat menjadi pilihan yang menarik karena tidak adanya protein berkaitan dengan GPI dapat menyebabkan klon PNH sesnsitif terhadap sitotoksisitas yang dimediasi oleh rituximab.

Terapi PNH Tipe Klasik

Terapi PNH menjadi berkembang setelah ditemukannya obat eculizumab (Soliris® by Alexion Pharmaceuticals, Cheshire, Connecticut, USA). Obat ini menghalangi kativasi komplemen terminal C5 dan mencegah pembentukan kompleks C5a dan C5b-C9 sehingga mencegah hemolisis. Proses pencegahan tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Fungsi eculizumab untuk mencegah lisis eritrosit dari serangan komplemen
Fungsi eculizumab untuk mencegah lisis eritrosit dari serangan komplemen

Eculizumab diberikan secara infus selama 25-45 menit. Dosis induksi adalah 600 mg diberikan dalam 7 hari sebesar 4 dosis, kemudian 900 mg 7 hari kemudian, dan diikuti dengan terapi ruamatan 900 mg setiap 14 hari.

Pemebrian eculizumab dapat memungkinkan penderita PNH seperti populasi normal. Eculizumab juga dapat mencegah kejadian trombosis sampai 87-94%. Tetapi, eculizumab tidak memepngaruhi ekspansi klonal yang merupakan sumber dari eritrosit yang mengalami defek. Perlu diingat dikarenakan eculizumab mempengaruhi kerja komplemen, maka pemberian obat ini dapat meningaktkan risiko infeksi terutama Neisseria meningitidis.

Terjadinya Lisis Setelah Terapi Eculizumab

Beberapa pasien memberikan respon yang suboptimal dengan eculizumab. Penjelasan ini adalah peningaktan hemolisis ekstravaskuler. Hemolisis intravaskuler terhambat oleh eculizumab sehingga jumlah eritrosit PNH menjadi bertambah. Eritrosit ini biasanya banyak diselimuti oleh komplemen C3 yang bersifat opsonin. Eritrosit ini jika melewati sistem retikoendotelial seperti limpa dapat menyebabkan opsonisasi dan terjadilah hemolisis ekstravaskuler. Penjelasan tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Lisis eritrosit pada PNH yang sudah diterapi dengan eculizumab
Lisis eritrosit pada PNH yang sudah diterapi dengan eculizumab

Terapi Kuratif PNH

Eculizumab bukan merupakan terapi kruatif. Satu-satunya terapi kuratif untuk pasien PNH adalah tranplantasi sel punca allogenik (ASCT = allogeneic stem cell transplantation). Regimen mioablatif sebelum dilakukan ASCT biasanya tidak perlu dan eradikasi klon PNH terjadi melalui proses graft vs PNH. Namun, prosedur ini hanya dapat dilakukan secara terbatas. Kurangnya jumlah donor yang cocok dan tingginya tingkat kematian dan kecacatan akibat terapi ASCT menjadi penghalang terbesar. ASCT hanya direkomendasikan pada PNH dengan sitopenia yang mengancam nyawa atau hemolisis serta trombosis yang tidak dapat terkontrol eculizumab.

Pencegahan Trombosis pada PNH

Pemberian antikoagulan terkadang terhambat dengan keadaan trombositopenia pada pasien PNH. Pemberian antagonis vitamin K seperti warfarin dapat menurunkan angka trombosis namn meningkatkan risiko perdarahan. Adapun antiplatelet seperti aspirin atau LMWH serta DOAC (rivaroxaban, dabigatran etexilate, apixaban) untuk pencegahan trombosis primer masih belum jelas. Sampai saat ini, eculizumab merupakan satu-satunya pencegahan trombosis yang terbaik.

FAQs Tentang PNH

Apa itu PNH?

PNH adalah penyakit kelainan klonal di sumsum tulang yang ditandai dengan pecahnya sel darah merah (hemolisis) secara spontan di dalam pembuluh darah

Apa penyebab PNH?

Mutasi gen PIG-A pada sel punca di sumsum tulang

Tes apa yang digunakan untuk deteksi PNH?

Pada zaman dahulu, pemeriksaan PNH dilakukan melalui tes aktivasi komplemen in vitro baik dengan asam (tes Ham) atau osmolaritas (tes sukrosa/sugar test). Saat ini untuk diagnosis PNH dilakukan dengan teknik flowcitometry (FCM).

Apa akibat dari PNH?

Seperti namanya, penyakit ini menyebabkan lisis atau hancurnya sel darah merah sehingga biasanya pasien menderita anemia atau kekurangan sel darah merah secara terus-menerus. Selain itu, PNH juga menimbulkan darah mudah menggumpal sehingga bisa timbul gejala sumbatan pembuluh darah seperti stroke atau serangan jantung

Bagaimana PNH diobati?

Transplantasi sumsum tulang adalah cara penyembuhan PNH. Namun, cara ini berisiko tinggi. Saat ini terdapat obat eculizumab yang cukup baik dalam menjaga agar darah tidak lisis pada penderita PNH. Terapi lain berupa transfusi darah bila terjadi anemia, pemberian antikoagulan/antiplatelet untuk mencegah pembekuan darah, dan splenektomi apabila ukuran limpa terlalu besar.

Apakah eculizumab ada di Indonesia?

Obat ini tidak ada atau belum tersedia di Indonesia. Harga obat ini pun sangat mahal, sekitar $432.000 sampai $542.000 tiap pasien per tahun.

Kesimpulan

PNH merupakan salah satu penyakit yang sangat jarang di Indonesia. Sampai saat ini penulis mungkin baru menemui pasien PNH 2-3 pasien saja. Diagnosis di Indonesia berupa tes Ham atau sukrosa masih menjadi andalan walaupun pada beberapa rumah sakit besar, dapat dilakukan FCM.

Adapun untuk terapi, eculizumab sepengatahuan penulis masih belum tersedia di Indonesia. Harga obat ini sangatlah mahal dan harus diberikan seumur hidup. Begitu pula dengan ASCT, di Indonesia masih terbatas. Penderita biasanya bergantung dengan transfusi dan tidak ada pemberian khusus lainnya. Untuk masalah biaya terapi eculizumab dapat dibaca pada artikel dengan tautan ini.

Sumber

  1. Devalet B, Mullier F, Chatelain B, Dogné J-M, Chatelain C. Pathophysiology, diagnosis, and treatment of paroxysmal nocturnal hemoglobinuria: a review. Eur J Haematol. 2015;95(3):190–8.
  2. Luzzatto L. Recent advances in the pathogenesis and treatment of paroxysmal nocturnal hemoglobinuria. F1000Research. 2016 Feb 23;5(0):209.

Tinggalkan Balasan