Suatu ketika disodorkan kertas hasil pemeriksaan elektrofisiologi (EKG) Holter pasien seperti berikut. Pasien itu perempuan paruh baya mengeluh sering berdebar-debar. Tidak ada pembesaran kelenjar gondok, baik hasil pemeriksaan tiroid maupun elektrolit darah dalam batas normal. Kemudian ditanya kembali, kelas obat anti aritmia apa yang cocok pada pasien itu? Sebelum membahas ke kelas obat anti aritmia, terlebih dahulu kita uraikan elektrofisiologi jantung.
Daftar Isi
Potensial Aksi Otot Jantung
Untuk memahami kerja obat anti aritmia, kita harus mengetahui mengenai potensial aksi dari jantung. Potensial aksi dari otot jantung memiliki empat fase yaitu sebagai berikut:
Fase | Keterangan |
---|---|
Fase 4: Fase istirahat | Fase 4: Potensial listrik jantung pada fase istirahat adalah -90 mV. Bernilai negatif dikarenakan ion K yang lebih tinggi di dalam sel serta ion N lebih tinggi di luar sel. Hal ini diperoleh karena kerja kanal ion Na K ATP-ase. Adapun kanal ion Na dan Ca tidak aktif. |
Fase 0: Depolarisasi. | Fase 0: Potensial aksi dipicu oleh jaringan sekitarnya menyebabkan potensial transmembrane naik di atas -90 mV. Hal ini menyebabkan kanal Na+ tipe cepat terbuka satu demi satu sehingga ion Na masuk ke dalam sel. Influks ion ini akan menyebabkan potensial transmembrane semakin naik dan menyebabkan kanal ion Na yang terbuka semakin banyak. Aliran masuk ion Na yang banyak ini menyebabkan overshoot di mana potensial transmembrane dapat menjadi positif untuk waktu yang singkat. Seketika kanal ion Na ini akan menutup, menyisakan kanal ion kaslium tipe L (long opening) yang terbuka saat potensial transmembrane mencapai -40 mV. Hal ini akan menambah jumlah kation yang masuk ke dalam sel. |
Fase 1: Awal repoalrisasi | Fase 1: Saat potensial aksi mencapai sedikit di atas 0, maka sebagian kanal kalium akan terbuka sehingga ion tersebut akan keluar ke sel menyebabkan sedikit penurunan kembali tegangan potensial mebran sel jantung. Dikarenakan masih sedikitnya kanal ion kalium yang terbuka serta terbukanya kanal ion kalsium, repolariasi tidak dapat berlangsung seketika. |
Fase 2: Fase plateau | Fse 2: Fase ini terjadi karena jumlah muatan yang keluar dan masuk seimbang. Yang berperan dalam fase ini adalah kanal ion kalium tipe delayed rectifier dan kanal kalsium tipe-L |
Fase 3: Repolarisasi | Fase 3: Kanal ion kalsium secara berangsung mulai tidak aktif sedangkan kanal kalium masih terbuka. Potensial transmembrane kembali ke -90 mV dan kanal-kanal Na+-Ca2+ exchanger, Ca2+-ATPase dan Na+-K+-ATPase mulai kembali bekerja mengembalikan keadaan potensial transmembrane sebelum diaktivasi kembali. |
Pada tabel di atas, diperlihatkan bagaimana elektrofisiologi otot jantung saat terjadinya potensial aksi. Potensial aksi ini biasanya berasal dari sel pacu di atrium kanan kemudian sinyal tersebut akan berpropagasi ke seluruh jantung agar sel otot jantung bias berkontraksi. Hal yang penting untuk dipelajri juga adalah masa refrakter. Masa refrakter adalah waktu di mana oto jantung tidak bisa dirangsang untuk mengalami aksi potensial Pada gambar di bawah, fase 1 dan 2 adalah keadaan di mana kanal ion dalam keadaan terbuka sehingga tidak mungkin diberikan rangsang lagi. Keadaan ini disebut absolute refractory period (ARP). Selain itu, ada pula keadaan di mana walaupun terjadi potensial aksi, namun sangat kecil dan tidak dapat dipropagasi hal ini dinamakan effective refractory period (ERP).
ERP terjadi saat ARP ditambah saat fase 2 berubah menuju fase 3. Kemudian, fase 3 terjadi keadaan di mana otot jantung bisa dieksitasi namun memerlukan rangsangan yang lebih besar. Fase ini dinamakan relative refractory period dan berada di fase 3. Pengetahuan mengenai fase aksi potensial dan masa refraketr ini penting untuk memahami dimana ada kondisi bahaya pasien akan mengalami aritmia yang lebih menajdi apabila diberikan obat anti aritmia yang tidak tepat. Untuk memahami elektrofisiologi jantung ini, dapat lebih membaca ke tautan ini.
Jenis atau Kelas Anti Aritmia
Berikut ini adalah penjelasan singkat mengenai pembagian atau klasifikasi obat anti aritmia beserta mekanisme kerja dan contoh dari masing-masing kelompok tersebut.
Kelas | Karakteristik | Contoh |
---|---|---|
IA: Penghambat kanal natrium | Menghambat kanal ion natrium tipe cepat, menurunkan konduksi ventrikel, dapat menhambat aktivitas ektopi ventrikel untuk mencegah PVC. IA, mengurangi kecepatan depolarisasi, memperpanjang durasi potensial aksi. Memperlambat konduksi jabtung, memperpanjang periode refrakter. IB, mengurangi laju depolarisasi secara selektif pada sel yang iskemia, memperpendek durasi aksi potensial, bisa sedikit memperpendek periode refrakter. IC, secara signifikan mengurangi laju depolarisasi, mengurangi konduksi kardiak secara signifikan, meningkatkan sedikit periode refrakter. | IA: quinidine, procainamide, disopyramide IB: lignocaine, mexiletine IC: flecainide, propafenone |
II: Agen simpatolitik | Antagonis b-adrenoceptor, menekan AV node | Bisoprolol |
III: Penghambat repolarisasi | Menghambat kanal kalium, mengurangi laju efluks kalium. Mencegah aritmia reentran baik atrium maupun ventrikel, lebih baik dalam mempertahankan irama sinus setelah kardioversi dari AF. | Sotalol (memiliki sifat b-blocker), amiodaron, perhexiline, digoxin |
IV: Antagonis kalsium | Menghambat respon ventrikel pada AF dan mencegah aritmia reentran AV nodedapat pula mencegah aritmia akibat early after-depolarizations seeprti torsades d’pointes. | Diltiazem, verapamil |
Perbedaan efek obat-obatan anti aritmia di atas terhadap berbagai macam komponen kanal ion dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Obat | Kanal | Reseptor | Pompa | Efek klinis | ||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Na | Ca | Kr | Ks | |||||||||||
Fast | Med | Slow | Alpha | Beta | M2 | P | Na, K-ATPase | Fungsi LV | Laju sinus | Ekstrakardiak | ||||
Quinidine | ●A | Ꙩ | ○ | ○ | -- | ↑ | Ꙩ | |||||||
Procainamide | ●A | Ꙩ | ↓ | -- | Ꙩ | |||||||||
Disopyramide | ●A | Ꙩ | ○ | ↓ | -- | ● | ||||||||
Ajmaline | ●A | -- | --↓ | ○ | ||||||||||
Lidocaine | ○ | -- | --↓ | ○ | ||||||||||
Mexiletine | ○ | -- | -- | ○ | ||||||||||
Phenytoin | ○ | -- | -- | Ꙩ | ||||||||||
Flecainide | ●A | ○ | ↓ | -- | ○ | |||||||||
Proprafenone | ●A | ○ | Ꙩ | ↓ | ↓ | ○ | ||||||||
Propranolol | ○ | ● | ↓ | ↓ | ○ | |||||||||
Nadolol | ● | ↓ | ↓ | ○ | ||||||||||
Amiodarone | ○ | Ꙩ | ● | Ꙩ | Ꙩ | Ꙩ | -- | ↓ | ● | |||||
Dronedarone | ○ | Ꙩ | ● | Ꙩ | Ꙩ | Ꙩ | -- | ↓ | ○ | |||||
Sotalol | ● | ● | ↓ | ↓ | ○ | |||||||||
Ibutilide | ○ | -- | ↓ | ○ | ||||||||||
Dofetilide | ● | -- | -- | ○ | ||||||||||
Verapamil | ○ | ● | Ꙩ | ↓ | ↓ | ○ | ||||||||
Diltiazem | Ꙩ | ↓ | ↓ | ○ | ||||||||||
Adenosin | □ | -- | ↓ | Ꙩ | ||||||||||
Digoxin | ○ | ● | ↑ | ↓ | Ꙩ | |||||||||
Atropine | ● | -- | ↑ | Ꙩ |
□ = agonis, A = activated state blocker; -- = minimal effect; ↑ = meningkat; ↓ = menurun; Kr = rapid component of delayed rectifier K+ channel; Ks = slow component of delayed rectifier K+ channel; M2 = reseptor muskarinik subtipe 2; P = reseptor A1 purinergik
Adapun dosis obat-obatan anti artimia dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Anti Aritmia Kelas IA
Obat-obatan kelas ini mengurangi V max (laju kenaikan potensial aksi pada fase 0) dan memperpanjang durasi potensial aksi. Termasuk ke dalam obat ini adalah quinidine, procainamide, dan disopyramide.
Quinidine
- Berasal dari kulit kayu cinchona, merupakan alkaloid isomerik dari quinine
- Seperti quinine, memiliki efek anti demam, anti malaria, dan vagolitik
- Quinine tidak memiliki efek terhadap elektrofisiologi jantung
- Memiliki efek mensupresi automatisites dari serat Purkinje namun tidak mempengaruhi automatisitas dari SA node.
- Memberikan efek early afterdepolarization sehingga bisa memicu torsades de pointes.
- Memilki efek antikolinergik kuat dan stimulasi refleks simpatis melalui blok alfa-adrenergik sehingga dapat menyebabkan vasaodilatasi perifer, meningaktkan laju pelepasan SA node, dan memperbaiki konduksi AV node.
- Indikasi utama adalah untuk PAC dan PVC serta sustained takiaritmia.
- Dapat mencegah AVNRT dan tipe lain dari SVT dengan memperpanjang masa refrakter atrium dan ventrikel serta mensupresi konduksi dari sirkuit reentrant.
- Supresi terhadap takikardia berulang juga dapat terjadi melalui supresi fokus atau triger dari takikardia
- Efek samping:
- Pemberian quinidine kronik menyebabkan gangguan saluran cerna seperti mual, muntah, nyeri perut, dan anoreksia.
- Dapat pula menyebabkan tinitus, gangguan pendengaran, gangguan pengliahtan, delirium, dan psikosis.
- Memperlambat konduksi jantung, menyebabkan AV block
- Sinkop akibat unsustained torsades de pointes
- Alergi
Procainamide
- Mekanisme aksi procainamide terhadap automatisitas, konduksi, eksitabilitas, dan resposivitas membran mirip dengan quinidine
- Kerja procainamide terutama menghambat kanal INa+ yang dalam kondisi inaktif. Obat ini juga menghambat IKr dan IK.ATP, memperpanjang ERP lebih lama dari pada APD sehingga mencegah reentry, efek antikolinergik paling kecil dibandingkan obat kelas IA lainnya
- Metabolit procainamide yaitu NAPA memiliki efek elektrofisiologi yang berbeda. NAPA memiliki efek kelas III dan memperpanjang APD. Kadar tinggi NAPA dapat memberi efek early afterdepolarization, mentriger automatisitas, dan torsades de pointes.
- Efek hemodinamik berupa mensupresi kotraktilitas otot jantung pada dosis tinggi, menghambat reseptor alpha adrenergik namun menyebabkan vasodilasi perifer akibat efek antisimpatis pada otak dan medula spinalis.
- Waktu paruh 3-5 jam dengan eliminasi 50-60% di ginjal dan 10-30% di hati. Metabolit NAPA eksklusif dieliminasi di ginjal
- Dosis
- IV 25-50 mg dalam waktu 1 menit, dapat diulang setiap 5 menit sampai aritmia terkontrol, terjadi hipotensi, atau pemanjangan kompleks QRS >50%
- Dosis lain yaitu 10-15 mg/kg dengan kecepatan 50 mg/menit
- Dosis infus konstan yang dapat diberikan adalah 2-6 mg/jam
- Pemberian oral membutuhkan interval pemberian 3-4 jam dengan dosis 2-6 gram per hari. Jika dibutuhkan dosis loading, diberikan dua kali dosis rumatan
- Indikasi:
- Aritmia supraventrikular, ventrikular, konversi AF onset baru
- Beta blocker atau CCB sebelum procainamide mencegah akselerasi dari respon ventrikel pada AF atau flutter setelah pemberian procainamide
- Menghambat jalur asesoris, dapat digunakan untuk WPW dan AF atau flutter dengan preeksitasi
- Memblok His-Purkinje dan digunakan pada elektrofisiologi study untuk menentukan keperluan pacemaker
- Lebih konsisten mengterminasi VT dibandingkan lidocaine
- Efek samping
- Efek non karidak berupa rash, mialgia, vaskulitis jari, dan phenomena Raynaud
- Reaksi hipersensitivitas dapat berupa demam dan agranulositosis
- Efek samping gastrointestinal lebih sedikit dari pada quinidine dan efek samping susunan saraf pusat lebih sedikit dari lidocaine
- SLE-like syndrome berupa atralgia, demam, pleurperikarditis, hepatomegali, dan efusi perikardial hemoragik
- Sekitar 60-70% pada pemberian kronik menimbulkan ANA positif dengan 20-30% diantaranya menimbulkan gejala yang hilang bilang procainamide dihentikan. Aapabila muncul gejala dengan anti-dsDNA positif, maka pemberian procainamide harus dihentikan
Disopyramide
- Digunakan pada kasus aritmia ventrikular dan supraventrikular
- Secara struktur berbeda dengan quinidine dan procainamide, namun efek elektrofisiologisnya sama dengan kedua obat tersebut
- Menyebabkan use-dependent-block INa dan non-use-dependent block IKr. Obat ini juga menhambat IK.ATP namun tidak mempengaruhi potensial aksi yang tergantung dari kalsium kecuali pada konsentrasi obat yang sangat tinggi.
- Memiliki aktivitas antimuskarinik sehingga dapat meningkatkan laju sinus dan memperpendek konduksi dan refraktoritas AV nodal saat dalam pengaruh kolinergik dari saraf vagal.
- Dalam konsentrasi tinggi mendepresi sinus pada penderita disfungsi sinus.
- Pada sistem otonom memiliki efek antikolinergik lebih besar dari quinidine namun tidak mempengaruhi alfa dan beta adrenoreseptor
- Efek hemodinamik
- Supresi fungsi sistolik ventrikel dan memberikan efek vasodilator ringan
- Hindari pemakaian pada pasien dengan gangguan fungsi sitolik ventrikel kiri
- Dosis:
- 100-200 mg tiap 6 jam, dosis harian 400-1200 mg/hari
- Sediaan controlled release 200-300 mg tiap 12 jam
- Indikasi
- Mengurangi frekuensi PVC
- Mencegah rekurensi VT
- Mencegah rekurensi AF setelah kardioversi
- Terminasi flutter, sebelum dipakai berikan dahulu obat-obatan controlled rate
- Efek samping
- Efek parasimpatolitik poten seperti hesitansi atau retensi urin, konstipasi, pandangan kabur, glaukoma, mulut kering
- QT prolongation dan torsade de pointes
- Menurunkan kontraktilitas ventrikel
Anti Aritmia Kelas IB
Obat-obatan kelas ini tidak mengurangi V max dan memperpendek durasi potensial aksi. Masuk ke dalamnya adalah mexiletine, phenytoin, dan lidocaine.
Lidocaine
- Aksi elektrofisiologi
- Memblok kanal INa, terutama pada keadaan terbuka atau mungkin kondisi inaktif.
- Memiliki kinetik onset dan offset yang cepat yang tidak mempengaruhi otomatisitas dari sinus pada dosis biasa namun bisa mendepresi bentuk otomatisitas lain yang normal maupun abnormal termasuk early dan late after depolarization di serat Purkinje
- Depresi sedang terhadap Vmax; namun kecepatan stimulasi yang lebih cepat pada keadaan menurunnya pH, peningkatan K+ ekstrasaeluler, dan menurunnya membran potensial, dimana semua ini bisa disebabkan oleh kondisi iskemia, meningkatkan kemampuan lidocaine untuk memblok INa.
- Lidocaine dapat merubah dari blok unidireksional menjadi bidireksional saat terjadi iskemia sehingga mencegak terjadinya VF dengan mencegaj fragmentasi dari gelombang depan besar yang terorganisasi menjadi gelombang-gelombang kecil yang heterogen.
- Kecuali dalam konsentrasi tinggi, lidocaine tidak mempengaruhi potensial aksi yang bergantung kanal lambat (slow channel-dependent) walaupun obat ini mampu mendepresi secara moderat dari aliran lambat ion yang masuk ke dalam sel.
- Lidocaine memiliki efek kecil terhadap serat atrial dan tidak mempengaruhi konduksi dari jalur asesoris
- Pada pasien dengan adanya disfungsi sinus sebelumnya, konduksi abnormal His-Purkinje, atau irama junctional atau ventricular escape dapat terjadi depresi otmatisitas atau konduksi yang sebagian disebabkan oleh inhibisi terhadap aktivitas saraf simpatis.
- Efek hemodinamis
- Gangguan hemodinamik yang signifikan jarang ditemukan pada konsenterasi biasa kecuali sudah ada gangguan ventrikel kiri yang berat
- Farmakokinetik
- Lidocaine hanya ada sediaan intra vena karena jalur oral tidak mampu melewati firs-pass hepatic metabolism sehingga menyebabkan kadar plasma yang rendah serta terbentuknya zat metabolit yang toksik
- Waktu paruh eliminasinya 1-2 jam di subjek normal dan 4 jam pada pasien yang mengalami infark miokard, serta lebih dari 10 jam pada pasien dengan infark miokard yang mengalami komplikasi gagal jantung, serta lebih lama lagi bila terjadi syok kardiogenik.
- Dosis rumatan harus dikurangi sepertiganya pada keadaan cardiac outout yang rendah.
- 50-80% obat terikat terhadap alpha1-acid glycoprotein.
- Dosis dan pemberian
- IM: 4-5 mg/kg (250-350 mg), konsentrasi efektif pada 15 menit dan bertahan sampai 90 menit
- IV: bolus 1-2 mg/kg dengan kecepatan 20-50 mg/menit dengan injeksi kedua setengah dosis inisial 20-40 menit kemudian
- Pasien yang menerima bolus kemudian dilanjutkan dosis rumatan akan mengalami penurunan konsentrasi sementara di bawah konsentrasi teurapetik obat 30-120 menit setelah injeksi pertama. Bolus kedua sebanyak 0,5 mg/kg ranpa mengurangi laju obat rumatan dapat menaikan kembali konsentrasi plasma ke kadar terapeutik
- Jika artimia muncul kembali setelah tercapai steady state, bolus yang sama dapat diberikan dan kemudian dilakukan peningkatan dosis rumatan
- Jika bilus inisial tidak efektif, dapat diberikan dua kali bolus tambahan 1 mg/kg dalam interval 5 menit
- Dosis rumatan adalah 1-4 mg/kg/menit pada pasien dengan infark, namun dapat dikurangi pada pasien dengan gagal jantung atau syok kardiogenik akibat berkurangnya aliran darah ke hati
- Indikasi
- Efikasi moderat terhadap aritmia ventrikuler, inefektif terhadap SVT
- Jarang dapat menterminasi VT monomorfik
- Efektif untuk pasien yang menjalani revaskularisasi dan pada pasien yang diresusitasi di luar rumah sakit
- Efek samping
- Yang paling umum adalah toksisita susunan saraf puat seperti pusing, parestesia, bingung, delirium, koma, stupor, dan kejang
- Dilaporkan depresi sinus dan blok His-Purkinje
- Jarang, namun dapat menimbulkan hipertermia
- Baik lidocaine maupun procainamide dapat meningkatkan treshold dari defibrilasi.
Anti Aritmia Kelas IC
Obat pada kelas ini dapat mengurangi V max terutama dengan memperlambat kecepatan konduksi dan memperpanjang masa refrakter seacara minimal. Jenis obat-obatan kelas ini adalah flecainide dan propafenone.
Flecainide
- Flecainide dipakai baik untuk aritmia ventrikuler maupun supraventrikuler.
- Obat ini menghambat kanal natrium tipe cepat, mengurangi Vmax, memiliki kinetika onset dan offset yang lambat
- Disosiasi obat dengan kanal natrium lambat dengan waktu konstan 10-30 detik (4-8 detik pada quinidine dan kurang dari 1 detik pada lidocaine) sehingga efek obat ini dapat terasa bahkan pada laju jantung yang normal.
- Flecainide mengurangi aksi potensial dari serat Purkinje namun memperpanjang masa aksi potensial di serat otot ventrikel
- Obat ini memperlambat konduksi di semua bagian jantung dan dalam konsenterasi tinggi dapat menghambat kanal Ca2+.
- Waktu refrakter dan interval QT sedikit berubah di atrium dan ventrikel
- Waktu refrakter pada jalur asesoris anterograde maupun retrograde dapat bertambah secara signifikan tergantung cara pemakaian.
- Flecainide dapat memfasilitasi atau menghambat reentri dan mungkin dapat merubah atrial fibrilasi menjadi fluter
- Obat ini mengurangi performa jantung terutama pada pasien dengan gangguan fungsi sistolik sehingga harus digunakan secara hati-hati atau tidak digunakan pada pasien dengan disfungsi sistolik ventrikel sedang atau berat.
- Dosis inisiasi adalah 100 mg tiap 12 jam dan ditingkatkan dengan besaran 50 mg dua kali sehari setiap 3-4 hari sampai efek efikasi tercapai atau adanya efek samping atau tercapai dosis maksimum 400 mg/hari.
- Indikasi flecainide adalah untuk VT, SVT, atau AF paroksismal yang mengancam nyawa.
- Flecainide dapat memperlambat masa konduksi sehingga dapat memperberat kondisi AV-blok
- Dapat memperberat atau munculnya VT baru terutama pada pasien dengan riwayat VT sebelumnya, dekompensasi jantung, atau dengan dosis flecainide yang tinggi
Propafenone
- Obat ini menghambat ion kanal natrium tipe cepat di serat Purkinje dan dalam derajat yang lebih rendah di otot ventrikel.
- Efek obat lebih besar pada bagian jantung yang mengalami iskemia atau pada kondisi dimana potensial membran lebih rendah.
- Obat ini mengurangi eksitabilitas dan mensupresi automatiasasi spontan maupun yang terpicu.
- Propafenone secara lemah dapat menghambat IKr dan reseptor beta adrenergik
- Walaupun masa refrakter ventrikel meningkat, namun efek utama dari propafenone adalah melambatnya waktu konduksi
- Propafenone memiliki efek inotropik negatif pada dosis tinggi
- Efek inotropik ini paling terasa pada pasien dengan fraksi ejeksi <40% dan gagal jantung
- Mayoritas pasien berespon pada dosis oral 150-300 mg tiap 8 jam dan tidak melewati 1200 mg/hari
- Sediaan sustained release dapat diberikan dengan dosis 225-450 mg dua kali sehari.
- Indikasi propafenone adalah untuk paroksismal SVT, AF, dan VT yang mengancam nyawa serta dapat mensupresi PVC spontan dan VT sustained maupun non sustained.
- Terminasi dari AF akut dapat terjadi pada 76% kasus dengen dosis pemberian 600 mg dosis tunggal
Anti Artimia Kelas II
Kelas obat ini adalah jenis beta-adrenergic blocker. Termasuk kedalamnya yang sering dipakai adalah metoprolol, carvedilol, atenolol, propranolol, dan esmolol. Kelompok beta blocker ini dapat tergolong ke dalam yang spesifik terutama mempengaruhi jantung (selektif reseptor β1) dan yang tidak spesifik yaitu dapat mempengaruhi jantun dan pembuluh darah serta bronkhus (reseptor β1 dan reseptor β2).
Pada dosis rendah, beta bloker selektif reseptor β1 lebih dominan mempengaruhi jantung. Namun, pada dosis yang tinggi, obat-obatan ini juga dapat mengaktivasi reseptor β2. Carvedilol juga memiliki aktivitas menghambat reseptor α-adrenergik.
Obat-obatan kelompok beta blocker ini memberi efek dengan menghambat katekolamin berikatan dengan reseptornya. Hal ini akan merupakan mekanisme utama dari efek antiaritmia kelompok beta blocker. Untuk kondisi hemodinamik, beta blocker menyebabkan efek inotropik negatif dan bisa memperburuk kondisi gagal jantung.
Anti Aritmia Kelas III
Obat-obatan kelas ini terutama memblok kanal kalium (seperti IKr) dan memperpanjang repolarisasi. Obat-obatan yang masuk ke dalam kelas ini adalah sotalol, amiodarone, dan bretylium.
Amiodarone
Obat ini merupakan derivat benzofuran yang digunakan untuk pengobatan takiaritmia supraventrikular yang mengancam nyawa apabila obat lain tidak tersedia atau tidak efektif. Selain itu, amiodarone juga memiliki derivat senyawa lain yaitu dronedarone.
Efek amiodarone yang diberikan secara kronik adalah memperpanjang waktu potensial aksi di semua jalur listrik jantung tanpa mempengaruhi potensial istirahat membran dari jantung. Ketika diberikan secara akut, amiodarone dan metabilitnya desethylamiodarone akan memperpanjang potensial aksi dari serat otot ventrikel namun memperpendek waktu potensial aksi dari serat Purkinje.
Ketika amiodarone diinjeksikan ke sinus jantung dari arteri yang memperdarahi AV-nodal, obat ini mengurangi laju sinyal sinus dan junctional serta memperpanjang waktu konduksi dari AV-nodal. Amiodarone juga mengurangi Vmaks dari otot ventrikel dengan memblok kanal ion natrium yang teraktivasi. Efek terhadap otot ventrikel ini diperkuat oleh depolarisasi dan dilemhkan jika otot jantung mengalami hiperpolarisasi potensial membran.
Desethylamiodarone memiliki efek yang lebih besar terhadap jaringan dengan kanal ion cepat dan memberikan efek yang signifikan terhadap efikasi antiaritmia. Hal ini cukup menjelaskan bagaimana kerja amiodarone cukup lambat karena menunggu terakumulasinya metabolit yaitu desethylamiodarone.
Amidoarone juga memiliki efek antagonis non kompetitid terhadap reseptor adrenergik alpa dan beta dengan menghambat konversi tiroksin (T4) menjadi triiodotironin (T3). Pada pemberian secara kronik, amiodarone memberi efek menurunkan laju sinus dan memperpanjang interval QT.
Periode refrakter efektif untuk semua jaringan jantung akan diperpanjang dengan amiodaron. Konduksi His-Purkinje akan melambat dan durasi QRS memanjang terutama pada tempat dengan laju yang tinggi. Melihat efek ini, amiodarone memiliki aktivitas seperti kelas I (memblok INa), kelas II (antiadrenergik), dan kelas IV (memblok ICa.L).
Amidoarone mempengaruhi hemodinamik karena dapat memvasodilatasi koroner dan pembuluh darah perifer. Saat pemberian akut, amiodarone akan mengurangi laju jantung, resistensi vaskuler, kekuatan kontraktilitas otot jantung, dan dP/dt dari ventrikel.
Onset aksi dari amidoarone pemberian intravena adalah 1-2 jam. Pada pemberian oral membutuhkan waktu 2-3 hari dan bahkan 1-3 minggu atau lebih. Waktu paruh eliminasi setelah dosis terakhir diberikan adalah 3-10 hari diikuti dengan waktu terminal 26-107 hari (rata-rata 53 hari). Tanpa pemberian loading dose, diperlukan 265 hari untuk mencapai keadaan steady state. Untuk dosis pemberian dapat dilihat pada table di atas.
Indikasi pemberian amiodarone adalah berbagai macam jenis takiaritmia SVT maupun VT baik untuk janin, bayi, maupun dewasa termasuk takikardia junctional AV nodal dan AV entri, atrial flutter, AF, dan VF.
Efek samping utama dari amiodarone adalah keluhan saluran cerna dan saluran napas. Toksisitas terhadap paru berupa inflamasi merupakan salah satu efek samping yang serius. Mekanismenya belum jelas namun diperkirakan akibat reaksi hipersensitivitas, fosfolipodosis, atau keduanya. Efek samping lain adalah peningkatan enzim transaminase, gangguan neurologis, diskolorasi kulit, dan hipertiroidisme.
Hal yang perlu diperhatikan adalah dapat muncul neuritis optik serta obat ini bisa menyebabkan bradiakrdia simtomatis, perburukan takiaritmia ventrikel dan perburukan gagal jantung.
Dronedarone
Seperti amiodarone, obat ini mempengaruhi aktivitas berbagai jenis kanal ion. Dibandingkan amiodarone, dronedarone lebih poten memblok arus natrium cepat dan sebanding dalam hal efek terhadap kanal kalsium tipe-L. Selain itu, efek antiadrenergik drinaderone juga lebih poten dibandingkan dengan amiodarone.
Pada kondisi hemodinamik, dronedarone memberi sedikit efek terhadap performa jantung. Namun, obat ini mempengaruhi signifikan pasien dengan kondisi penurunan fungsi sistolik sehingga tidak boleh digunakan pada pasien dengan tanda klinis gagal jantung.
Dronedarone memiliki waktu paruh eliminasi 13-19 jam dengan 85% obat diekskresikan di feses sedangkan sisanya di urin. Hal ini berbeda dengan amiodarone yang memiliki waktu paruh eliminasi yang sangat panjang. Dosis dari dronedarone adalah 400 mg setiap 12 jam.
Indikasi dronedarone adalah untuk memfasilitasi kardioversi pada atrial flutter dan atrial fibrilasi (AF) serta untuk mempertahankan irama sinus. Untuk indikasi ini, sedikit kurang efektif dibandingkan dengan amiodarone.
Dronedarone tidak boleh digunakan pada pasien dengan tanda klinis gagal jantung karena pada penelitian klinis ANDROMEDA, obat ini menyebabkan kematian dua kali lipat dibandingkan dengan plasebo (8,1% versus 3,8%).
Efek samping dari dronedarone diantaranta adalah pemanjangan QT walaupun kondisi proaritmia yang ditimbulkan termasuk jarang. Gejala yang dapat meningkat saat pemakaian obat ini adalah rash, fotosensitivitas, mual, diare, dan sthenia. Dronedarone tidak mengandung ion iodin sehingga kecil prevalensi terjadinya toksisitas tiroid maupun paru dibandingkan dengan amiodarone.
Sotalol
Obat ini merupakan beta adernoreseptor bloker non spesifik tanpa aktivitas simpatomimetik yang memperpanjang repolarisasi. Sotalol digunakan untuk kasus takiaritmia ventrikel dan atrial fibrilasi.
Sotalol memiliki isomer d dan l. Kedua isomer tersebut memberi efek memperpanjang repolarisasi sedangkan hanya isomer l bertanggung jawab untuk efek bloking beta adrenergik.
Sotalol tidak memblok reseptor alfa adrenergik dan tidak pula memblok kanal natrium (tidak memiliki efek stabilisasi membran). Namun, obat ini memperpanjang repolarisasi atrium dan ventrikel dengan mengurangi IKr sehingga memperlama masa plateau dari aksi potensial. Pemanjangan aksi potensial ini lebih besar pada saat laju jantung yang lebih lambat. Potensial istirahat, amplitudo potensial aksi, dan Vmax tidak dipengaruhi oleh sotalol.
Efek inotropik negatif dari sotalol sepenuhnya disebabkan olek aksi bloking terhadap reseptor beta adrenergik. Obat ini dapat memperkuat kontraksi dengan memperpanjang repolarisasi. Pada pasien dengan fungsi jantung terganggu, sotalol dapat memicu terjadinya gagal jantung.
Dosis umum untuk sotalol adalah 80-160 mg tiap 12 jam dan selama 2-3 hari dimonitor pola EKG untuk melihat aritmia dan pemanjangan QT. Dosis melebihi 320 mg per hari dapat digunakan dalam kondisi hanya jika diperkirakan keuntungan yang akan diperoleh melebihi potensi risiko proaritmia dari sotalol.
Proaritmia adalah efek yang paling serius dari sotalol. Kejadian aritmia baru atau perburukan aritmia terjadi pada 4% pasien dan 2,5% diantaranya berupa torsades de pointes.
Ibutilide
Ibutilide digunakan untuk terminasi episode akut dari atrial fibrilasi dan flutter. Seperti antiarimia kelas III lainnya, obat ini memperlama repolarisasi dengan menghambat aliran keluar dari kalium (misalnya kanal IKr). Keunikan dari ibutilide adalah obat ini dapat pula mengaktivasi aliran lambat ke dalam dari ion natrium. Jika diberikan secara intra vena, oba tini memperlama laju sinus dan memberi efek minimal pada konduksi AV atau durasi QRS dan interval QT memanjang seperti signifikan. Ibutilide tidak memiliki pengaruh terhadap hemodinamik.
Ibutilide diberikan secara infus intravena 1 mg selama 10 menit. Obat ini tidak boleh digunakan dalam keadaan QTc lebih dari 440 milidetik atau bersamaan obat lain yang memperpanjang durasi QT atau dalam keadaan hipokalemia yang tidak terkoreksi serta adanya bradiakrdia.
Dosis 1 mg yang kedua dapat diberikan jika aritmia tidak teratasi. Monitoring EKG dilakukan saat periode pemberian sampai 6-8 jam setelahnya karena risiko aritmia ventrikel. Pemberian magnesium sebelum ibutilide dapat mengurangi risiko terjadinya aritmia.
Seperti disebutkan tadi, ibutilide digunakan untuk menterminasi AF atau flutter akut. Obat ini tidak diberikan untuk mencegah terulangnya AF dan jangan digunakan pada kasus dimana terjadi AF berulang. Efek samping utama dari ibutilide adalah pemanjangan QT dan terjadinya torsades de pointes.
Dofetilide
Obat ini dipakai untuk konversi AF akut dan juga sebagai supresi kronik untuk AF rekuren atau berulang. Secara sisi elektrofisiologi, efek satu-satunya dari dofetilide adalah menghambat komponen cepat dari penyearah lambat aliran kalium IKr yang penting dalam proses repolarisasi. Efek ini lebih terlihat di atrium dibandingkan dengan ventrikel.
Efek antiaritmia dari obat ini dicapai terutama diperankan oleh efek obat ini pada IKr yang memperlama masa refrakter tanpa mempelama konduksi. Dofetilide juga memperpanjang interval QT.
Dofetilide hanya tersedia dalam bentuk sediaan oral. Dosis inisial adalah 0,125-0,5 mg dua kali sehari dan pada masa inisiasi harus dilakukan di rumah sakit untuk memonitor EKG dan mendeteksi pemanjangan QT dan torsades des pointes.
Indikasi dofetilide adalah untuk mencegah episode takiaritmia supraventrikular terutama AF dan flutter. Seperti obat golongan kelas III lainnya, efek samping utama adalah pemanjangan QT dan torsades des pointes. Risiko efek samping semakin besar terutama pada pasien dengan pemanjangan QT sebelumnya, konsumsi bersamaan dengan obat lain yang memperpanjang QT, setelah konversi AF ke irama sinus, dan pada kondisi hipokalemia.
Anti Artimia Kelas IV
Obat-obatan ini terutama menghambat dan memperlambat kanal kalsium (ICa.L) seperti verapamil, dilitiazem, nifedipine, dan ICa.T seperti felodipine.
Verapamil dan Diltiazem
Verapamil merupakan derivat dari papaverin dan merupakan prototip dari kelas kelompok kalsium antagonis yang menghambat kanal kalsium dan mengurangi ICa.L di otot jantung. Diltiazem memiliki efek elektrofisiologi yang sama dengan verapamil sedangkan nifedipin dan agen dihidropiridin lain memberikan efek elektrofisiologi yang minimal.
Dengan memblok ICa.L di semua serat jantung, verapamil mengurangi ketinggan plateau dari potensial aksi, sedikit mengurangi potensial aksi otot jantung, dan memperpanjang potensial aksi serat Purkinje. Obat ini tidak mempengaruhi amplitudo potensial aksi Vmax dari fase 0, atau voltase istirahat dari membran sel yang memiliki karakteristik respon cepat yang berkaitan dengan INa (misalnya atrum dan otot ventrikel, sistem Purkinje).
Verapamil menekan respon lambat yang disebabkan berbagai sebab seperti sustained triggered activity dan early- serta late afterdepolarizations. Verapamil dan diltiazem menekan aktivitas elektrikal pada sinus normal dan nodus AV. Verapamil mendepresi kemiringan depolarisasi diastolik pada sel sinus node, Vmax dari fase 0, dan potensial diastolik maksimal serta waktu konduksi dan refrakter dari AV nodal. Hambatan terhadap AV nodal ini lebih tampak terlihat pada laju jantung yang cepat dan pada serat yang mengalami depolarisasi.
Untuk hemodinamik, obat ini menghambat kontraksi otot polos sehingga menyebabkan vasodilatasi koroner . Efek penekanan miokardial dari verapamil lebih tampak pada kondisi pemberian dengan dosis besar. Pada dosis kecil, efek inotropik dari verapamil dapat teratasi oleh refleks simpatis.
Untuk terminasi akut dari SVT atau kontrol cepat laju ventrikel pada keadaan AF dosis yang umum dipakai adalah infus 10 mg selama 1-2 menit. Injeksi kedua dengan dosis sama dapat diberikan 30 menit kemudian. Efek dari dosis inisial ini dapat dipertahankan dengan memberikan infus dengan dosis 0,005 mg/kg/menit. Adapun dosis oral adalah 240 mg – 480 mg dosis terbagi.
Diltiazem diberikan secara intravena dengan dosis 0,25 mg/kg sebagai bolus selama 2 menit dengan dosis kedua diberikan setelah 15 menit bila diperlukan. Secara jangka panjang, diltiazem lebih nyaman dipakai dari pada verapamil. Dosis oral diltiazem adalah 120-360 mg per hari.
Indikasi dari obat ini adalah untuk terminasi sustained AV node reentry
atau orthodromic AV reciprocating tachycardia yang berhubungan dengan jalur asesoris apabila manuver vagal gagal.
Kedua obat ini tidak boleh dipakai bila terdapat gangguan hemodinamik. Hipotensi, bradikardia, AV-block, dan asistol dapat terjadi apabila diberikan pada pasien yang sebelumnya sudah mengonsumsi beta blocker.
Anti Aritmia Lainnya
Terdapat pula obat anti aritmia yang tidak termasuk ke dalam salah satu kelas anti aritmia yang telah dijelaskan di atas. Beberapa obat diantaranya adalah digoksin dan adenosine.
Adenosine
Seperti namanya, adanosine merupakan nukleosida, molekul pembentuk DNA. Obat ini terutama dipakai dalam kasus SVT. Obat ini mempengaruhi reseptor A1 yang berada di permukaan ekstraseluler dari otot jantung. Hal ini kemudian lebih lanjut akan mengaktivasi kanal K+ (IK.Ach, IK.Ade) dengan mekanisme yang sama dengan asetilkolin.
Efek yang terlihat adalah perlambatan laju sinus yang diimbangi munculnya refleks simpatis dalam menaikan laju sinus. Di regio N pada AV node adenosine menekan konduksi dan menurunkan amplitudi, Vmax, dan durasi dari potensial aksi. Hasilnya adalah perlamaan sementara interval A-H dan sering disertai AV blok sementara derajat 1, 2, bahkan derajat 3. Perlambatan AV nodal ini tergantung laju konduksi. Sementara itu, konduksi His-Purkinje tidak terpengaruh secara langsung.
Adenosine tidak mempengaruhi konduski pada jalur asesoris normal namun dapat memblok jalur asesori yang memiliki waktu konduksi panjang. Jantung hasil transplan lebih sensitif terhadap adenosine dan obat ini dapat memdiasi fenomena ischemic preconditioning.
Keberadaan dalam plasma obat ini sangat singkat. Adenosine dihilangkan dari ruang ekstraseluler baik dengan washout, degradasi enzimatik menjadi inosine, fosforilisasi menjadi adenosin monofosfat, atau di reuptake ke dalam sel melalui sistem transport nukleosida. Baik endotel maupun komponen sel darah mampu dalam proses intake adenosine ini sehingga waktu paru eliminasi dari adenosine dalam darah hanya 1 – 6 detik.
Beberapa obat lain mempengaruhi kerja dari adenosine. Methylxanthine merupakan antagonis kompetitif dan teofilin dapat memblok secara total efek eksogen dari adenosine. Dipyridamole merupakan pemblok transport nukleosida sehingga menghambat uptake dari adenosine ke sel. Pada pasien yang mengonsumsi obat ini, pemberian adenosine harus diberikan dengan dosis yang lebih kecil.
Untuk menterminasi takikardia, diberikan bolus adenosine yang diberikan secara cepat dengan dosis 6-12 mg IV flush. Dosis anak adalah 0,1-0,3 mg/kg berat badan. Pada pasien dengan jantung transplantasi atau mengonsumsi dipyridamole dosis adenosine adalah 3 mg. Pemberian dosis lebih 18 mg kemungkinan kecil tidak akan lagi mengonversi takikardia sehingga pemberian melebihi dosis tersebut tidak diperbolehkan.
Efek samping singkat dari adenosine adalah merasa panas di tangan, sesak, dan rasa penekanan di dada. Terkadang dapat muncul AF karena adenosine memperpendek masa refrakter atrium. Munculnya AF pada takikardia dengan sindrom WPW atau konduksi AV cepat melalui jalur asesori dapat memberikan masalah serius.
Digoksin
Efek terhadap jantung dari glikosida digitalis telah lama dikenal selama berabad-abad. Obat ini diperoleh dari ekstrak tanaman digitalis. Digoksin dipakai untuk mengontrol aritmia supraventrikular terutama kontrol laju ventrikel (rate control) pada atrial fibrilasi. Penggunaan obat ini telah lama berkurang karena adanya obat lain yang lebih poten dengan rentang konsenterasi teurapetik yang lebih lebar. Digoksin terkenal dengan rentang konsenterasi teurapetik yang sempit sehingga rentan terjadi efek toksik.
Pengaruh digoksin terhadap elektrofisiologi jantung terutama melalui sistem saraf otonom baik menambah efek tonus vagal perifer maupun sentral. Efek ini sebagian besar terbatas pada menurunkan laju sinus node, memperpendek masa refrakter atrium, dan memperpanjang masa refrakter AV nodal. Efek tersebut tampak minimal pada sistem His-Purkinje maupun otot ventrikel kecuali pada konsenterasi toksik.
Obat ini apabila dipakai secara intravena memberikan efek dalam hitungan menit dengan puncak setelah 1,5-3 jam. Pada dosis oral, efek puncak muncul setelah 4-6 jam.
Pada keadaan akut, dosis loading yang diberikan adalah 0,5 – 1 mg. Dosis oral harian harus disesuaikan dengan indikasi klinis dan fungsi ginjal. Mayoritas pasien memerlukan 0,125-0,25 mg sebagai dosis tunggal. Di kondisi pasien dengan dialisis, dapat diberikan 0,125 mg selang sehari sedangkan pada dewasa muda kadang diperlukan 0,5 mg per hari.
Indikasi digoksin adalah memperlambat laju ventrikel pada AF dan dapat dahulu dipakai untuk konversi SVT namun onset aksinya lebuh lambat dan keberhasilannya lebih kecil dibandingkan adenosine, verapamil, atau beta blocker.
Dengan digoksin, pada kasus AF kronik, 40-60% dapat terkontrol dengan digoksin. Namun efek digoksin akan hilang ketika pasien beraktivitas. Hal ini tampak sebagai peningkatan laju ventrikel yang signifikan bahkan saat pasien beraktivitas fisik ringan. Hal ini menyebabkan obat ini jarang dipakai sebagai obat tunggal untuk mengontrol AF.
Gejala keracunan digoksin adalah nyeri kepala, mual, muntah, hilangnya persepsi warna, adanya penglihatan halo, dan lemas. Yang lebih berat adalah aritmia termasuk bradikardia karena peningkatan tonus vagal dan takikardia. Hal yang bisa meningkatkan toksisitas dari digoksin adalah penurunan fungsi ginjal, usia lanjut, hipokalemia, penyakit paru kronik, hipotiroidisme, dan amiloidosis.
Apabila terjadi bradikardia akibat digoksin, dapat diberikan atropin atau pace maker temporer. Pada takiaritmia, dapat diberikan fenitoin dan lidokain pada takikatdia infranodal. Adapun untuk mengurangi kadar digoksin, diberikan fragmen antibodi spesifik anti digoksin.
Efek Anti Aritmia dari Obat Non-Anti Aritmia
Beberapa obat seperti ACE inhibitor, ARB, antagonis aldosetron, statin, dan asam lemak omega-3 dapat berefek sebagai anti aritmia. Obat lain seperti CCB non dihidropiridin dan ranolazine (anti angina) juga tampak memberi efek anti aritmia. Namun, mekanisme kerja anti aritmia pada obat-obatan tersebut tidak jelas sehingga jangan dipakai sebagai obat anti artimia.
Potensi Efek Merugikan Obat Anti Aritmia
Walaupun merupakan obat anti aritmia, pemberian obat tersebut dapat memberikan efek yang membahayakan atau tidak diinginkan. Efek tersebut berdasarkan mekanisme pengaruh obat-obatan terhadap fase potensial aksi dari sel otot jantung. Di bawah ini adalah efek antiaritmia terhadap berbagai macam fase polarisasi serta kemungkinan efek negatif yang dihasilkan:
Torsades des Pointes
Salah satu efek samping dari anti aritmia adalah torsades des pointes. Torsades adalah suatu artimia yang sangat membahayakan. Keadaan ini berhubungan dengan pemanjangan gelombang QT yang bias dipicu oleh beberapa obat. Ironisnya, beberapa obat antiartimia bisa menyebabkan pemanjangan QT sehingga memicu aritmia. Beberapa obat antiaritmia yang bersifat proaritmia terutama kelas I dan kelas III.
Amiodarone adalah obat anti aritmia yang terkenal dapat memperlama gelombang QT dan memicu torsades yang bias fatal. Amiodarone dipakai secara luas karena efek antiaritmia yang luas, mempengaruhi hampir semua fase aksi potensial dan beraktivitas baik pada aritmia atrium maupun ventrikel. Walaupun demikian, pengkajian kondisi jantung dari EKG penting dilakukan sebelum menentukan pemberian terapi yang tepat.
Tatalaksana Kasus
Apabila melihat EKG pasien diatas, gangguan irama yang terjadi adalah adanya premature ventricular contraction (PVC) dan terdapat unsustain atrial tachycardia. Pada kasus tersebut sebenarnya dapat diberikan kelompok I khsusunya IC seperti flecainide. Adapun bisoprolol atau CCB juga bias diberikan. Namun, tentu lebih baik bila dilakukan EP (electrophysiology study) dan bila didapatkan fokus, dilakukan radiofrequency ablation.
Kesimpulan
Mengenal jenis-jenis anti aritmia membantu kita dalam menentukan terapi terhadap kasus-kasus aritmia. Selain itu, dengan memahami hal tersebut, dapat membantu kita menghindari efek samping yang merugikan terutama torsades de pointes.
Sumber
- Behr ER, Roden D. Drug-induced arrhythmia: Pharmacogenomic prescribing? Eur Heart J. 2013;34(2):89–95.
- Campbell TJ, Williams KM. Therapeutic drug monitoring: antiarrhythmic drugs. Br J Clin Pharmacol. 2001;52 Suppl 1(1):21S–34S.
- Chay TR. Why are some antiarrhythmic drugs proarrhythmic? Cardiac arrhythmia study by bifurcation analysis. J Electrocardiol. 1995;28:191–7.
- Miller JM, Zipes DP. Therapy for cardiac arrhytmias. In: Bonow RO, Mann DL, Zipes DP, Libby P, editors. Braunwald’s heart’s disease: A textbook of cardiovascular medicine. 9th ed. Philadelphia: Elsevier; 2012. p. 710–44.
Seorang dokter, saat ini sedang menjalani pendidikan dokter spesialis penyakit dalam FKUI. Peminat berbagai topik sejarah dan astronomi.