Asupan nutrisi pasien kritis penting dalam manajemen pasien-pasien yang dirawat di unit intensif. Pasien dengan kondisi kritis rentan untuk mengalami malnutrisi selama perawatan. Hal ini dikarenakan kebutuhan nutrisi yang meningkat akibat kondisi sakitnya namun kemampuan pasien untuk memperoleh nutrisi secara mandiri terganggu. Hal ini tentu akan berpengaruh pada proses kesembuhan dan pemulihan pasien. Oleh sebab itu, perhatian terhadap asupan nutrisi untuk pasien kritis sangatlah penting. Jika tidak diperhatikan dengan baik, sangatlah mungkin pasien ini akan jatuh ke dalam kondisi malnutrisi. (Image by rawpixel from Pixabay)
Daftar Isi
Pentingnya Nutrisi untuk Pasien yang Dirawat di Rumah Sakit
Apabila selama dirawat pasien kritis asupan nutrisi ini tidak dipenuhi dengan baik, maka dapat terjadi malnutrisi. Malnutrisi selama perawatan akan berakibat buruk pada pasien. Malnutrisi dapat menyebabkan meningkatnya mortalitas, morbiditas, biaya perawatan, length of stay (LOS) atau lama rawat, serta tingkat readmisi yang tinggi. Hal tersebut disebabkan beberapa faktor seperti lambatnya proses penutupan luka atau peningkatan kejadian infeksi, terutama infeksi nosokomial.
Walaupun penting untuk dicegah, ternyata prevalensi malnutrisi di rumah sakit cukup besar. Di negara-negara maju, angka malnutrisi di rumah sakit adalah sebesar 11-45%. Di negara berkembang, angka prevalensi malnutrisi di rumah sakit mencapai 30-50%. Sementara pada negara berkembang di Asia angka kejadian malnutrisi rumah sakit dapat mencapai 40%.10 Adapun di Indonesia, data malnutrisi rumah sakit belum banyak diketahui namun tidak jauh berbeda dengan negara berkembang lainnya di Asia. Di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo sendiri, data terakhir menunjukan angka malnutrisi di rumah sakit mencapai 60-70% dari pasien-pasien rawat inap non bedah.
Terapi dan Dukungan Nutrisi Pasien Kritis
Selain sebagai sumber suportif atau dukungan untuk penyembuhan sakit, nutrisi juga dapat ditujukan sebagai terapi. Agar tujuannya sebagai bagian dari terapi dapat tercapai, maka perencanaan pemberian nutrisi khususnya pada pasien kritis harus direncanakan dengan cermat. Terdapat beberapa aspek yang harus diperhatikan. Berikut pembahasan langkah-langkahnya.
1) Penilaian Status Nutrisi
Langkah pertama dalam penatalaksanaan nutrisi rumah sakit adalah mengidentifikasi adanya malnutrisi. Semua organisasi profesi di bidang nutrisi baik The American Society for Parenteral and Enteral Nutrition (ASPEN) maupun ESPEN merekomendasikan uji skrining malnutrisi atas semua pasien yang dirawat di rumah sakit. Tahapan awal ini bertujuan untuk mengidentifiaksi pasien dengan malnutrisi dan pasien dengan risiko malnutrisi, terutama untuk pasien dengan sakit kritis. Setiap pasien yang dirawat di rumah sakit memerlukan penilaian penapisan nutrisi dalam 48 jam perawatan dan penilaian status nutrisi lengkap pada pasien dengan penyakit kritis. Adapun alur penilaian ini dapat dilihat pada bagan algoritma di bawah ini:
2) Cara Penilaian Status Gizi
Untuk menilai status gizi sendiri terdapat beberapa metode. Malnutrition Screening Tool (MST) MST merupakan cara sederhana untuk mendeteksi malnutrisi di rumah sakit. MST terdiri dari tiga pertanyaan yang menilai berat badan terakhir serta ada tidaknya penurunan nafsu makan. MST didesain dapat digunakan oleh staf terlatih yang mempergunakan sistem skor untuk menilai apakah pasien memerlukan penilai adanya risiko tinggi malnutrisi sehingga dapat memperoleh intervensi lebih lanjut. MST ini ada dua tahap, tahap pertama adalah tahap penapisan sedangkan tahap kedua menilai risiko malnutrisi. Untuk pertanyaan MST ini dapat dilihat pada di bawah ini. MST adalah metode penilaian gizi yang dipakai di RSCM.
Bagian 1: Penapisan | ||
---|---|---|
Apakah ada penurunan berat badan tanpa disengaja? | ||
Tidak ada | Skor : 0 | |
Turun 1–5 kg | Skor : 1 | |
Turun 6–10 kg | Skor : 2 | |
Turun 11–15 kg | Skor : 3 | |
Turun > 15 kg | Skor : 4 | |
Ragu-ragu | Skor : 2 | |
Apakah ada penurunan nafsu makan atau sulit makan? | ||
Tidak | Skor : 0 | |
Ada | Skor : 1 | |
Bagian 2: Penentuan Risiko | ||
Skor MST 0 atau 1, tidak ada risiko malnutrisi: Bila lama rawat lebih dari 7 hari, penapisan ulang dan dapat diulang tiap minggu | ||
Skor MST 2 atau lebih, risiko malnutrisi: Lakukan intervensi nutrisi, konsultasi gizi dalam 24–72 jam |
Metode lain adalah dengan Subjective Global Assessment (SGA). Penilaian status nutrisi dengan SGA meliputi pengisian kuesioner mengenai data perubahan berat badan, perubahan asupan diet, gejala gastrointestinal, perubahan kapasitas fungsional yang bergubungan dengan malnutrisi. Selain itu, dinilai juga simpanan lemak dan otot serta ada tidaknya edema dan asites. Selain diagnosis malnutrisi, SGA juga membagi pasien menjadi tiga golongan yaitu golongan A, status gizi baik; golongan B status gizi malnutrisi ringan/sedang; serta SGA C, malnutrisi berat.
Adapun penilaian SGA ini terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama merupakan komponen dari anamnesis sedangkan bagian dua adalah pemeriksaan fisik .Di bawah ini adalah penilaian SGA bagian pertama dan kedua:
Penilaian SGA lebih lengkap dibandingkan dengan MST dan sering pula dipakai sebagai instrumen penilaian status nutrisi pada penelitian. Namun, melihat banyaknya hal yang dinilai, SGA lebih sulit untuk dipakai. Hal yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa penilaian status nutrisi untuk pasien tidak cukup hanya dari parameter antropometri sewaktu seperti berat badan atau indeks massa tubuh semata saja.
3) Perhitungan Jumlah Kebutuhan Kalori
Untuk pemberian nutrisi suportif, pertama kali diperlukan penghitungan kebutuhan kalori dari pasien. American Society for Parenteral and Enteral Nutrition (ASPEN) merekomendasikan cara indirect calorimetry untuk menentukan besaran kebutuhan kalori pasien. Adapun menghitung kebutuhan kalori juga dapat dilakukan melalui persamaan yang telah divalidasi, seperti diperoleh dari jumlah kebutuhan energi basal atau basal energy expenditure (BEE) yang kemudian disesuaikan dengan kondisi pasien. BEE dalam hal ini dihitung dengan menggunakan persamaan Harris-Benedict. Untuk praktisnya, BEE dikalikan faktor pengali yaitu faktor aktivitas (FA) dan faktor stress (FS).
Kebutuhan kalori = BEE x FA x FS |
Faktor pengali aktivitas (FA) adalah 1,2 untuk aktivitas rendah, 1,3 sedang, dan 1,5 untuk tinggi. Sedangkan faktor pengali untuk stress (FS) adalah 1–1,1 untuk stres ringan, 1,2–1,4 untuk stres sedang, dan 1,5–2 untuk stres berat. Adapun persamaan Harris-Benedict adalah sebagai berikut:
BEE untuk laki-laki = 66 +13,7 (berat dalam kg) + 5 (tinggi dalam cm) – 6,3 (usia dalam tahun) |
BEE untuk wanita = 655 +9,6 (berat dalam kg) + 1,7 (tinggi dalam cm) – 4,7(usia dalam tahun) |
Di bawah ini kalkulator untuk menghitung kebutuhan kalori berdasarkan persamaan di atas:
Untuk praktisnya, kebutuhan kalori untuk pasien biasanya berkisar antara 25–35 kkal /kg/hari. Persamaan ini dianjurkan untuk menghitung kalori apabila tidak dapat dilakukan indirect calorimetry. Kebutuhan protein adalah 0,8–1,5 g (0,13–0,24 g nitrogen)/kg/hari. Sebagian, yaitu 20–35% kebutuhan kalori diberikan dalam bentuk lemak yang harus mencakup lemak esensial berupa asam linoleat (4% total kalori) dan asam linolenat (0,2–0,4% total kalori). Pemberian air biasanya 30-35 mL/kg/hari dengan tambahan lain adalah mineral, elektrolit, dan mikronutrien lain serta serat.
4) Cara Pemberian Nutrisi
Adapun cara pemberian nutrisi sendiri sangat disarankan pemberian nutrisi enteral dibandingkan parenteral. Pemberian secara enteral dapat berupa oral maupun artifisial. Artifisial dapat berupa parenteral atau pemasangan selang atau tubing. Kontraindikasi pemberian enteral adalah keadaan tidak stabil meliputi gangguan hemodinamik, obstruksi usus, perdarahan saluran cerna yang masif, iskemia intestinal, malabsorpsi berat, serta inflamasi berat saluran cerna. Adapun pemberian nutrisi parenteral juga tidak diindikasikan untuk pasien keganasan yang bersifat terminal atau sudah ditentukan end of life care. Selama tidak ada kontraindikasi, lebih diutamakan pemberian nutrisi lewat jalur enteral.
Ada beberapa keuntungan pemberian nutrisi enteral pada pasien kritis diantaranya mendukung fungsi mukosa saluran cerna serta dapat menurunkan mortalitas dan morbiditas pasien yang dirawat di ruang intensif. Fungsi nutrisi enteral pada saluran cerna sangat penting karena mukosa saluran cerna menerima kebutuhan gizi langsung dari saluran cerna. Puasa yang berkepanjangan dapat menyebabkan atrofi mukosa saluran cerna. Hal ini dapat menurunkan fungsi saluran cerna terutama sebagai sawar dari bakteri-bakteri di saluran cerna. Apabila ada gangguan fungsi sawar ini, dapat meningkatkan risiko translokasi bakteri sehingga menimbulkan infeksi dan bahkan sepsis.
Pasien dengan penyakit kritis tanpa risiko malnutrisi namun ada kontraindikasi pemakaian nutrisi enteral maka pemberian nutrisi parenteral secara eksklusif ditunda dalam 7 hari pertama onset akut. Pemberian nutrisi parenteral secara dini dapat meningkatkan infeksi dan mortalitas. Akan tetapi, apabila pasien malnutrisi atau risiko tinggi malnutrisi dan tidak dapat menerima nutrisi enteral, maka nutrisi parenteral menjadi pilihan utama. Pemberian nutrisi parenteral ini dapat diinisiasi seawal mungkin. Pemberian nutrisi parenteral juga dapat dimulai apabila setelah 7–10 hari jumlah kalori yang dapat diberikan dari jalur enteral < 60% kebutuhan kalori total.
5) Inisiasi Nutrisi pada Pasien Malnutrisi
Pada saat inisiasi pemberian nutrisi parenteral pada pasien malnutrisi, pemberian awal diberikan secara hipokalorik berupa jumlah energi < 20 kkal/kg/hari atau < 80% jumlah total kebutuhan kalori perhari. Pemberian ini harus disertai pemberian protein yang adekuat yaitu ≥1,2 g/kg/hari. Pemberian sediaan soy-based IV fat emulsion (IVFE) harus dibatasi pada satu minggu pertama apabila tidak ada kekhawatiran defisiensi asam lemak esensial. Pembatasan ini dilakukan sampai maksimal 100 g/minggu.
Pemberian nutrisi parenteral dikurangi apabila terdapat perbaikan toleransi nutrisi enteral serta dihentikan apabila jumlah kalori yang diberikan secara enteral > 60% jumlah total kalori yang dibutuhkan. Untuk lebih jelasnya, pemilihan rute pemberian nutrisi ini dapat dilihat pada bagan di bawah ini:
6) Cara Memenuhi Target Besar Nutrisi
Terdapat beberapa hal khusus yang digunakan sebagai dukungan nutrisi bagi pasien kondisi kritis. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Intervensi nutrisi | Rasional | Keterangan |
---|---|---|
Nutrisi enteral | Mencegah kehilangan massa otot dan mencegah infeksi untuk mempercepat pemulihan | Cukup jelas |
Meningkatkan nutrisi enteral pada satu minggu pertama perawatan | Pencegahan awal defisit kalori untuk mempercepat pemulihan | Tidak ada manfaat yang jelas pada pasien dengan status gizi baik |
Agen prokinetik atau nutrisi post-pyloric | Pencegahan awal defisit kalori untuk mempercepat pemulihan | Bukti inkonklusif |
Pemberian nutrisi parenteral suplemental pada 1 minggu pertama perawatan | Pencegahan awal defisit kalori untuk mempercepat pemulihan | Tidak ada manfaat yang jelas dan berpotensi berbahaya dalam pemberian besar bersamaan dengan nutrisi enteral; inkonklusif pada pasien yang memiliki kontraindikasi pemberian nutrisi enteral |
Peningkatan jumlah protein (> 0,8 g /kg/hari) | Mempertahankan massa protein tubuh, mempercepat pemulihan | Cukup jelas |
Pemberian glutamin | Memenuhi kebutuhan defisiensi kondisional untuk menurunkan mortalitas | Inkonklusif dan berpotensi bahaya dalam dosis besar |
Pemberian antioksidan | Mencegah gagal organ | Tidak ada keuntungan yang jelas pada pemberian selenium, efek dapat bergantung dosis dan adanya defisiensi yang telah ada sebelum perawatan |
Pemberian lipid antiinflamasi | Mencegah gagal organ | Inkonklusif |
Pemberian nutrisi enteral pada pasien kritis dapat diberikan dalam 24-48 jam setelah onset keadaan kritis atau setelah masuk ruang rawat intensif. Langkah awal adalah pemberian jumlah makanan hipokalori atau berupa nutrisi enteral inisial untuk mukosa usus yakni pemberian sebanyak 10-20 kkal/kg/hari atau sampai 500 mL /hari. Jumlah tersebut kemudian ditingkatkan secara bertahap dalam waktu satu minggu dengan memperhatikan toleransi pasien terhadap nutrisi oral serta evaluasi risiko terjadinya aspirasi. Sejumlah protokol khusus untuk pemberian nutrisi oral ini dapat diambil dan diterapkan sesuai kondisi setempat.
Apabila keadaan hemodinamik tidak stabil, maka pemberian nutrisi suportif harus ditunda. Inisiasi nutrisi juga harus dilakukan secara hati-hati pada pasien yang sedang dilakukan titrasi turun dosis vasopresor. Risiko iskemia saluran cerna pada pasien-pasien tersebut besar sehingga gejala-gejala intoleransi harus dipantau. Gejala intoleransi tersebut seperti distensi abdominal, peningkatan produksi selang nasogastrik (NGT), penurunan frekuensi buang air besar, penurunan flatus, atau munculnya asidosis metabolik.
Untuk memonitor pemberian nutrisi suportif berupa tanda vital, berat badan, keseimbangan cairan, elektrolit, glukosa darah, BUN/kreatinin, kalsium, fosfat, magnesium, 24 jam urea urin, perkiraan jumlah asupan total, serta fungsi hati. Kadar glukosa yang disarankan untuk pasien secara umum adalah 140 mg/dL atau diantara 150-180 mg/dL.
7) Refeeding Syndrome
Walaupun nutrisi pada keadaan pasien kritis sangat penting, namun, apabila diberikan terlalu cepat, dapat meningkatkan angka kematian dengan kondisi hiperglikemia dan refeeding syndrome. Apabila diberikan terlambat juga akan memperberat keadaan malnutrisi yang juga berkorelasi dengan penambahan lama rawat dan rehabilitasi. Agar didapatkan waktu yang baik, umumnya direkomendasikan agar pasien dengan keadaan awal yang baik masih diperbolehkan mendapatkan nutrisi hipokalorik sampai pada 7 hari pertama perawatan. Untuk manajemen refeeding syndrome ini dapat dibaca lebih lanjut di artikel ini: Kematian Akibat Refeeding Syndrome.
Kondisi Khusus
Terdapat kondisi tertentu yang memerlukan perhatian khusus. Berikut penjelasannya:
1) Gagal Napas Akut
Sebelumnya diyakini bahwa pemberian formula rendah karbohidrat tinggi lemak dapat memanipulasi jumlah produksi CO2 yang diharapkan dapat meningkatkan proses pemulihan pasien. Namun, temuan serupa tidak didapatkan pada penelitian yang lebih besar dan formulasi khusus ini memang betul dapat mempengaruhi jumlah CO2 hanya pada pasien yang menerima kelebihan makanan. Hal ini dikarenakan produksi CO2 akan bertambah secara signifikan dalam keadaan lipogenesis. Karena itu, tidak direkomendasikan penggunakan formulasi khusus rendah karbohidrat tinggi lemak pada pasien gagal napas dan harus fokus pada penghindaran pemberian jumlah kalori yang melebihi kebutuhan. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah jumlah air yang dibatasi khususnya dalam keadaan overload cairan.
2) Gagal Ginjal
Dalam keadaan gagal ginjal yang mengalami kondisi kritis, jumlah pemberian kalori tetap seperti pasien kritis lainnya. Jumlah protein yang diberikan tetap yaitu 1,2-2 g/kg/hari atau jika pasien menerima dialisis yang sering atau continuous renal replacement therapy (CRRT), pemberian protein dapat ditingkatkan sampai maksimal 2,5 g/kg/hari. Jika terdapat abnormalitas elektrolit yang signifikan, dapat dipertimbangkan untuk pemberian nutrisi formulasi khusus untuk gagal ginjal.
3) Gagal Hati
Pada penderita sirosis atau gagal hati, umunya disertai dengan edema dan asites. Dalam keadaan ini, perhitungan kalori menggunakan berat kering. Adapun untuk jumlah protein, tidak dilakukan restriksi, namun tetap seperti pasien penyakit kritis yang lain. Memang ada kekhawatiran jika penambahan protein akan menyebabkan ensefalopati. Namun, pengurangan jumlah protein dapat menurunkan status nutrisi, mengurangi massa otot sehingga dapat meningkatkan jumlah amonia dalam tubuh. Selain itu, penambahan asam amino rantai cabang pada formula diet eneteral pada pasien dengan sirosis atau penyakit hati kronis dianggap tidak memberi keuntungan selama telah diberikan antibiotik dan laktulosa. Memang pemberian asam amino rantai cabang dalam jangka panjang dapat menurunkan progresi penyakit, tetapi dalam keadaan koma atau sakit kritis, tidak terlalu memberikan banyak manfaat.
4) Pankreatitis Akut
Dalam memutuskan pemberian nutrisi enteral pada keadaan pankreatitis akut, harus dimonitor mengenai derajat keparahan penyakit tersebut. Pankreatitis akut memiliki tiga derajat keparahan yaitu ringan, sedang-berat, dan derajat berat. Pankreatitis akut ringan dinyatakan dengan pankreatitis tanpa disertai dengan gagal organ atau komplikasi lokal. Pankreatitis sedang-berat disertai gagal organ sementara < 48 jam disertai komplikasi lokal. Adapun pankreatitis akut berat dinyatakan dengan adanya gagal organ yang berlangsung > 48 jam. Yang dimaksud dengan gagal organ adalah renjatan (tekanan sistolik < 90 mmHg), insufisiensi paru (PaO2/FiO2 <300), atau gagal ginjal (kreatinin serum >1,9mg/dL). Komplikasi lokal yang dapat terdeteksi dengan CT-scan yaitu pseudokista, abses, atau nekrosis. Penilaian evaluasi ini harus diulang karena dapat berubah dengan cepat.
Pada keadaan pankreatitis akut yang ringan, tidak memerlukan terapi nutrisi khusus. Pasien dapat diberikan nutrisi enteral sesegera mungkin bila pasien dapat menoleransi makanan. Apabila kemudian muncul komplikasi atau gagal mencapai target jumlah kalori dalam tujuh hari, maka dapat dipertimbangkan penggunaan formula nutrisi yang khusus.
Apabila pasien mengalami pankreatitis sedang-berat atau berat, maka dilakukan pemasangan NGT dan nutrisi enteral yang dimulai dari nutrisi trofik, dilakukan segera setelah resusuitasi cairan selesai, yaitu ditargetkan 24-48 jam setelah pasien dirawat. Pada keadaan pankreatitis berat pun, dianjurkan nutrisi enteral dibandingkan parenteral. Pemberian nutrisi enteral pada pankreatitis akut berat dapat diberikan melalui NGT atau NJFT. Pada pasien pankreatitis akut berat yang menerima inisiasi awal nutrisi enteral, dapat dipertimbangkan untuk pemberian probiotik. Adapun pemberian nutrisi parenteral dapat diberikan apabila pasien tidak mungkin menerima nutrisi enteral dan dimulai setelah satu minggu terhitung dari onset episode pankreatitis.
5) Sepsis
Pasien dalam keadaan sepsis berat dan renjatan sepsis umumnya memiliki penurunan fungsi gastrointestinal. Pada keadaan seperti ini, pemberian nutrisi enteral diberikan dalam 24-48 jam setelah diagnosis sepsis ditegakan dan setelah hemodinamik stabil. Hemodinamik stabil diartikan tekanan perfusi yang adekuat (mean arterial pressure ≥65 mmHg), dosis vasoaktif yang telah stabil, dan kadar laktat yang stabil atau menurun.
Dalam keadaan sepsis, terutama pada fase akut, tidak diberikan nutrisi parenteral secara penuh atau secara bersamaan dengan nutrisi enteral. Hal ini berlaku pada pasien dengan atau tanpa manlnutrisi.
Untuk pemberian nutrisi enteral inisiasi, dapat diberikan nutrisi trofik seperti disebutkan di atas yaitu 10-20 kkal/kg/hari atau sampai volume 500 kkal per hari yang dinaikan secara perlahan dengan target 80% jumlah total kalori dalam satu minggu pertama. Adapun protein yang diberikan adalah 1,2–2 g/kg/hari.
6) Kondisi End of Life
Seringkali kita berhadapan dengan pasien yang dalam keadaan penyakit terminal dan dalam fase end of life. Dalam keadaan ini, tidak merupakan suatu keharusan diberikan nutrisi artifisial dan rehidrasi. Dehidrasi dan asupan oral buruk dapat ditoleransi dengan baik dan memberiksan gejala yang tidak menonjol pada mayoritas pasien dengan penyakit terminal. Tetapi, penurunan asupan makanan seringkali menjadi sumber kecemasan pada keluarga. Sebetulnya, pemberian nutrisi artifisial atau dehidrasi tidak memperbaiki luaran pada pasien dengan penyakit terminal dan sebaliknya dapat berpotensi meningkatkan distres pada pasien. Pada penelitian, pemberian hidrasi intravena 1 L per hari tidak meningkatkan kualitas hidup, perbaikan gejala, maupun kesintasan.
Kesimpulan
Permasalahan malnutrisi di rumah sakit masih merupakan masalah yang besar. Hal terpenting yang harus dilakukan adalah deteksi dini dan pemberian dukungan nutrisi yang adekuat. Belum ada standar baku emas untuk penilaian malnutrisi, namun berbagai macam perangkat penilaian telah dibuat untuk deteksi malnutrisi di rumah sakit.
Nutrisi pasien kritis dalam bentuk enteral lebih utama dibandingkan dengan nutrisi parenteral. Pemberian dukungan nutrisi dapat diberikan 24-48 jam setelah pasien masuk dan ditingkatkan untuk mencapai target dalam tujuh hari perwatan. Diperlukan pemantauan ketat dan perhatian sesuai kondisi klinis pasien. Perlu perhatian dalam pemberian nutrisi untuk menghindari adanya refeeding syndrome. Untuk menghitung kebutuhan gizi harian, dapat dibaca di artikel: Cara Menyusun Diet dan Menu Makanan
Sumber
- A´lvarez-Herna´ndez J, Planas Vila M, Leo´n-Sanz M, Garc´ıa de Lorenzo A, Celaya-P´erez S, Garc´ıa-Lorda P, et al. Prevalence and costs of malnutrition in hospitalized patients; the PREDyCES Study. Nutr Hosp. 2012;27(4):1049–59.
- Beghetto MG, Koglin G, de Mello ED. Influence of the assessment method on the prevalence of hospital malnutrition: a comparison between two periods. Nutr Hosp. 2010;25(5):774–80.
- Casaer MP, Van den Berghe G. Nutrition in the acute phase of critical illness. N Engl J Med. 2014;370(13):1227–1236.
- Correia MITD, Waitzberg DL. The impact of malnutrition on morbidity, mortality, length of hospital stay and costs evaluated through a multivariate model analysis. Clin Nutr. 2003;22(3):235–9.
- Gunarsa RG, Gani RA, Syam AF. Nutrition management on acute pancreatitis. Indones J Gastroenterol Hepatol. 2007;8(1):16–19.
- Lee HK, Choi HS, Son EJ, Lyu ES. Analysis of the prevalence and risk factors of malnutrition among hospitalized patients in Busan. Prev Nutr Food Sci. 2013;18(2):117–23.
- McClave SA, Taylor BE, Martindale RG, Warren MM, Johnson DR, Braunschweig C, et al. Guidelines for the provision and assessment of nutrition support therapy in the adult critically ill patient: Society of Critical Care Medicine (SCCM) and American Society for Parenteral and Enteral Nutrition (A.S.P.E.N.). J Parenter Enter Nutr. 2016;40(2):159–211.
- Mueller C, Compher C, Ellen DM, American Society for Parenteral and Enteral Nutrition (A S P E N ) Board of Directors. A.S.P.E.N. clinical guidelines: Nutrition screening, assessment, and intervention in adults. J Parenter Enter Nutr. 2011;35(1):16–24.
- Syam AF, Makmun D, Abdullah M, Fauzi A, Sobur CS. The changes of nutritional status among non-surgery patients in Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta. J Gastroenterol Hepatol. 2014;29:51–313.
- Tenner S, Baillie J, DeWitt J, Vege SS, American College of G. American College of Gastroenterology guideline: management of acute pancreatitis. Am J Gastroenterol. 2013;108(9):1400–15; 1416.
- Walmsley RS. Refeeding syndrome: Screening, incidence, and treatment during parenteralnutrition. J Gastroenterol Hepatol. 2013;28(S4):113–117.
Seorang dokter, saat ini sedang menjalani pendidikan dokter spesialis penyakit dalam FKUI. Peminat berbagai topik sejarah dan astronomi.