Infeksi Jamur Invasif pada Penderita Penyakit Kritis

Cecep Suryani Sobur Kedokteran, Tropik-Infeksi Leave a Comment

Salah satu penyebab dari kematian pasien kritis adalah infeksi nosokomial, salah satunya akibat infeksi jamur invasif. Selain angka mortalitas yang signifikan, beban biaya dan lama perawatan menjadi masalah yang semakin besar. Infeksi jamur invasif pada penderita penyakit kritis menyebabkan angka mortalitas dan morbiditas yang cukup besar. Dari waktu ke waktu, angka kejadian infeksi jamur ini pun juga semakin meningkat.

Penyebab meningkatnya infeksi jamur ini karena peningkatan populasi pasien yang memiliki gangguan imunitas. Berkembangnya kemoterapi serta bertambahnya pasien-pasien usia lanjut, autoimun, maupun penerima transplantasi organ turut andil dalam penambahan populasi pasien yang berisiko terkena infeksi jamur.

Walaupun ditengah semakin meningkatnya pengetahuan kita akan infeksi jamur ini, penatalaksanaan infeksi jamur tersebut tidaklah mudah. Terdapat permasalahan mulai dari diagnosis, pemilihan pengobatan, sampai resistensi jamur terhadap agen antijamur. Kali ini mencoba akan dikupas seputar permasalahan dan penatalaksanaan infeksi jamur khususnya pada pasien-pasien penyakit kritis non neutropenia.

Epidemiologi Infeksi Jamur Invasif

Penyebab infeksi jamur invasif yang cukup banyak adalah Aspergillus spp., Pneumocystis jiroveci, Cryptococcus spp, dan Candida spp. Candida dan Aspergillus merupakan penyebab terbanyak dari infeksi jamur invasif. Candidiasis menjadi penyebab yang terbanyak dan mewakili sekitar 10% infeksi nosokomial pada pasien di ruang rawat intensif.

Candidiasis menyebabkan peningkatan mortalitas dan beban finansial karena perpanjangan lama rawat. Aspergilosis juga menyebabkan angka kematian tinggi sampai 63%. Selama beberapa tahun ini, kejadian Aspergilosis meningkat dibandingkan dengan Candidiasis.

Trend penyebab infeksi jamur invasif
Trend penyebab infeksi jamur invasif

Faktor Risiko Infeksi Jamur Invasif

Peningkatan jumlah infeksi jamur invasif akhir-akhir ini disebabkan karena meningkatnya jumlah pasien yang jatuh dalam kondisi immonocomprmised. Salah satu yang masuk kelompok ini adalah pasien dengan keganasan disertai berbagai macam pilihan kemoterapi serta pasien transplantasi organ. Kedua kondisi ini turut andil dalam peningkatan pasien-pasien dengan imunitas menurun. Di sisi lain, kemajuan dalam penanganan pasien-pasien kritis, meningkatnya angka harapan hidup, serta pemakaian antibiotika yang luas juga turut andil dalam peningkatan angka kejadian infeksi jamur invasif. Adapun patofisiologi peningkatan infeksi jamur pada kelompok-kelompok tersebut diantaranya neutropenia, disfungsi sel limfosit T, imunodefisiensi humoral, splenektomi, dan adanya alat invasif (kateter vaskuler). Adapun untuk faktor risiko untuk setiap jenis jamur dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

PatogenFaktor risiko
Aspergillus sppNeutropenia, allogenic HSCT, steroid jangka panjang, imunosupresi sel T, rawat ICU, SOT, penyakit liver berat, COPD, aspergillosis kronik dan subkronik, riwayat tuberkulosis, infeksi mycobacterium atipikal, bronkiektasis, sarkoidosis, kanker paru.
Pneumocystis jiroveciInfeksi HIV dengan CD4+ < 200/μL defisiensi imun primer, imunosupresan untuk penyakit jaringan ikat, vaskulitis, SOT, limfoma
Cryptococcus sppHIV, steroid dosis tinggi (> 20 mg/hari setara prednison), limfoma, leukemia kronik, penyakit jaringan ikat, diabetes, SOT, sirosis liver, sarkoidosis, penggunaan antagonis TNF
Candida sppRawat inap lama, kolonisasi Candida, ulserasi, luka bakar, SOT, HSCT, tumor solid, kortikosteroid, antibiotika spektrum luas, bedah saluran cerna, central intravascular access devices
Keterangan: COPD, chronic obstructive pulmonary disease; HSCT, hematopoietic stem cell transplantation; ICU, intensive care unit; SOT, solid-organ transplantation; TNF, tumor necrosis factor

Faktor Pertahanan Tubuh Terhadap Jamur

Seperti dijelaskan di atas, faktor inang atau host sangat berpengaruh terhadap kerentanan terhadap infeksi jamur. Dalam keadaan normal, pertahanan terhadap jamur dijalankan terutama oleh sel limfosit T. Sel limfosit ini mengatur pertahanan baik merangsang makrofag untuk fagositosis maupun dengan produksi antobodi maupun intergritas dari mukosa. Gambar di bawah ini memperlihatkan fungsi sel limfosit T dalam mengatur pertahanan terhadap infeksi jamur.

Sistem pertahanan terhadap infeksi Candida
Sistem pertahanan terhadap infeksi Candida

Adapun pada mukosa, tubuh kita membentuk pertahanan berjenjang. Pada permukaan mukosa dilepaskan berbagai zat anti jamur beruoa beta- defensin. Selain itu, sel endotel dapat melakukan endositosis terjadap jamur yang kemudian diberikan ke makrofag untuk dihancurkan. Apabila jamur berhasil melewati endotel, di sana menanti berbagai macam serangan mulai dari neutrofil, makrofag, sampai limfosit. Di dalam darah sendiri hifa akan dikerumuni oleh platelet untuk kemudian dibersihkan melalui sistem retikuloendotelial. Di bawah ini adalah bagan mengenai mekanisme pertahanan tubuh yang berlapis terhadap invasi jamur khususnya Candida.

Sistem pertahanan tubuh terhadap Candida
Sistem pertahanan tubuh terhadap Candida

Perubahan Sifat Komensal Jamur Menjadi Patogen

Hal yang spesial dari jamur adalah memiliki dua bentuk atau fase. Fase pertama adalah bentuk spora atau ragi. Fase ini biasanya terjadi saat lingkungan kurang mendukung bagi kehidupan jamur. Metabolisme jamur menjadi menurun dan jamur biasanya berada pada fase non patogen.

Fase yang kedua adalah fase kapang atau mold. Kapang ini muncul saat jamur berada dalam kondisi yang mendukung pertumbuhan jamur. Tubuh manusia kaya akan makanan sehingga apabila jamur berpindah ke area steril milieu interna tubuh manusia, maka akan berubah menjadi bentuk kapang. Bentuk ini aktif secara metabolisme dan virulensi jamur menjadi aktif.

Keseimbangan antara faktor inang manusia yang mencegah jamur masuk ke milieu interna dan kemampuan jamur sendiri dalam menginavsi tubuh manusia menjadi penting. Dalam keadaan dimana tubuh melemah akibat berbagai keadaan, hal ini menjadi peluang bagi jamu untuk menginvasi tubuh manusia.

Faktor jamur sendiri menjadi penting. Pada Candidia, jamur ini tidak memiliki faktor invasi. Candidia tidak mampu melewati sawar mukosa sehingga diperlukan disrupsi mukosa agar Candida dapat menginvasi tubuh manusia. Oleh karena itu, infeksi Candida biasanya difasilitasi oleh kerusakan sawar kulit atau mukosa seperti kanul infus, operasi, kateter vena sentral, dan sebagainya. Gambar di bawah ini adalah ilustrasi mengenai keseimbangan antara faktor inang dengan virulensi jamur.

Faktor yang menyebabkan terjadinya infeksi jamur invasif khususnya Candida

Diagnosis Infeksi Jamur Invasif

Diagnosis infeksi jamur ini cukup sulit dikarenakan klinis yang tidak spesifik serta rendahnya sensitivitas metode mikroskopis dan biakan. Secara klinis, diagnosis infeksi jamur meliputi proven, probable, dan possible untuk infeksi jamur invasif dan proven serta probable untuk infeksi mikosis endemis. Di bawah ini adalah tabel mengenai kriteria proven infection untuk infeksi jamur invasif:

Spesimen dan analisaKapangaRagia
Analisa mikroskopis material sterilHistopatologis, sitopatologis, atau pemeriksaan sediaan langsung spesimen dari aspirasi jarum atau biopsia dimana terlihat hifa atau terdapat melanized yeast-like forms dengan bukti kerusakan jaringanHistopatologis, sitopatologis, atau pemeriksaan sediaan langsung spesimen dari aspirasi jarum atau biopsib dari tempat yang steril pada keadaan normal (selain membran mukosa) memperlihatkan sel ragic
Biakan material sterilDidapatkan kapang atau ragi hitam dari biakan spesimen yang didapat dari prosedur steril dari tempat yang dalam keadaan normal steril dan secara klinis dan radiologis tampak abnormal, konsisten dengan proses infeksi, kecuali lapase cairan bronkoalveolar, spesimen sinus kranial, dan urin.Didapatkan ragi dari biakan dari sampel yang didapat dari prosedur steril (termasuk drain yang baru terpasang <24 jam) dari tempat steril yang konsisten abnormal secara klinis dan radiologis
DarahDidapatkan kapang,d sesuai dengan gambaran klinisDidapatkan ragi atau yeast-like fungi
Analisa serologi: CSFNAAntigen Cryptococcal di CSF mengindikasikan criptococcosis diseminata
a Bila ada hasil biakan, penentuan genus dan spesies dilakukan dari hasil biakan
b Jaringan atau sel dari pemeriksaan histopatologis atau sitopatologis harus diwarnai pewarnaan Grocott-Gomorri methenamine perak atau dengan asam Schiff periodat, untuk memfasilitasi inspeksi dan struktur jamur. Jika memungkinkan, sediaan spesimen basah dari fokus infeksi diperiksa dengan pewarnaan fluoresensi (calcofluor atau blankophor)
c Spesies Candida, Trichosporon, dan yeast-like Geotrichum dan Blastoschizomyces capitatus dapat membentuk psudohifa atau hifa sejati
d Spesies Aspergillus dari biakan darah dapat juga menandakan adanya kontaminasi

Pada diagnosis probable infeksi jamur invasif, harus memenuhi adanya faktor inang, klinis, dan mikologis. Kasus dimana ada kemungkinan klinis dan faktor inang namun tanpa adanya dukungan bukti mikologis disebaut kasus possible. Faktor inang tidak sinonim denga faktor
risiko dan dicirikan dengan individu yang berpredisposisi terkenan penyakit jamur invasif yang dapat terdeteksi. Temuan hasil pemeriksaan harus sesuai dengan kondisi klinis pasien dan harus dicari kemungkinan lain penyebab gejala klinis pada pasien. Pemeriksaan PCR untuk melihat adanya DNA belum masuk dalam kriteria diagnosis karena belum terstandarisasi. Adapun untuk kriteria probable infection, dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Kriteria penyakit jamur invasif probable infection
Faktor host
Riwayat neutropenia (< 500 per mm3 setidaknya 10 hari) dan berhubungan dengan onset penyakit jamur
Resipien transplantasi sel stem alogenik
Kortikosteroid jangka lama (kecuali pasien dengan aspergillosis bronkopulmoner alergi) pada dosis minimal 0,3 mg/kg/hari setara prednison, setidaknya untuk > 3 minggu
Pemberian imunosupresan untuk sel T siklosporin, anti TNF-a, antibodi monoklonal spesifik (contoh alemtuzumab), atau analog nukleosida dalam jangka waktu 90 hari terakhir
Imunodefisiensi turunan berat (seperti penyakit granulomatosa berat atau imunodefisiensi kombinasi berat)
Kriteria klinis
Penyakit infeksi jamur saluran napas bawah, adanya 1 dari 3 tanda dari CT:
- Lesi padat berbatas tegas dengan atau tanpa tanda halo
- Air-crescent sign
- Kavitas
Trachebronchitis
Ulkus tracheobronchial, nodul, pseudomembran, plak, atau eschar pada bronkoskopi
Infeksi sinonasal, dari pemeriksaan dan radiologis didapatkan sinusitis dengan 1 dari 3:
- Nyeri akut terlokalisasi, termasuk menyebar ke mata
- Ulkus hidung dengan eschar hitam
- Ekstensi dari sinus melewati batas tulang, termasuk ke orbita
Infeksi saraf pusat, satu dari 2 tanda:
- Lesi fokal pada pencitraan
- Meningeal enhancement pada MRI atau CT
Diseminata, setidaknya 1 dari 2 entitas kejadian setelah episode candidemia dalam waktu 2 minggu:
- Lesi kecil, target-like (bull’s eye lesions) pada hati atau limpa
- Eksudat retina progresif pada pemeriksaan funduskopi
Kriteria mikologis
Tes langsung (sitologi, mikroskopis langsung, atau biakan)
Kapang pada sputum, BAL, sikatan bronkhial, atau aspirasi sinus, dengan satu dari:
- Adanya elemen jamur yang mengindikasikan kapang
- Kapang pada biakan (Aspergillus, Fusarium, Zygomycetes, atau Scedosporium spp))
Tes tidak langsung (deteksi komponen dinding jamur)
Aspergillosis: Galaktomannan pada plasma, serum, BAL, CSF
Penyakit jamur invasif selain cryptococcosis dan zygomycosis: beta-D-glucan pada serum

Sementara itu, untuk kriteria possible infection, sama dengan keriteria probable infection namun tidak didukung oleh data mikologis. Adapun mikosis endemis meliputi histoplasmosis, blastomycosis, coccidioidomycosis, paracoccidioidomycosis, sporotrichosis, dan infeksi yang disebabkan Penicillium marneffei. Onset penyakit yang terjadi dalam tiga bulan menandakan infeksi paru primer. Adapun untuk kriteria diagnosis infeksi jamur endemis adalah sebagai berikut:

Kriteria diagnosis infeksi mikosis endemis
Proven infectionSatu diantara
(i)Didapatkan biakan dari bagian tubuh yang terlibat atau dari darah
(ii)Pemeriksaan langsung atau histopatologis menunjukan morfologis yang jelas dari jamur dimorfik seperti spherule pada Coccoidiodes, tunas ragi berdinding tebal pada Blastomyces dermatitidis, sel ragi bertunas jamak pada Paracoccidiodes brasiliensis, dan pada kasus histoplasmosis, adanya ciri bentuk ragi intraseluler pada sel fagosit yang didapat pada makrofag jaringan atau sediaan darah perifer.
(iii)Untuk Coccidioidomycosis, ditemukan antibodi coccidiodal pada CSF, atau peningkatan 2 kali pengenceran titer pada dua kali pengambilan sampel darah saat terjadi progesivitas penyakit.
(iv)Pada paracoccidioidomycosis, ditemukan pita precipitin pada paracoccidioidin yang didapatkan pada dua sampel serum berturut-turut yang bersamaan dengan adanya proses penyakit.
Probable infectionAdanya satu faktor inang, ditambah satu gambaran klinis yang konsisten dengan mikosis endemik dan bukti mikologis seperti tes antigen Hisptoplasma pada urin, darah, atau CSF.

Gambaran Klinis Aspergillosis

Aspergillosis invasif merupakan infeksi mematikan dengan tingkat kematian mencapai 30-90%. Aspergillosis berat biasanya terjadi pada pasien dengan gangguan imunitas menurun sedangkan aspergillosis paru kronik biasanya terjadi pada pasien yang telah ada kelainan paru sebelumnya seperti tuberkulosis. Secara umum gambaran klinis aspergillosis ada tiga yaitu :

  1. Aspergillosis akut
  2. Aspergillosis paru kronik
  3. Aspergillosis bronkopulmoner alergi

Aspergillosis fumigatus menyebabkan sampai 90% kasus aspergillosis. Spesies lain yang lebih jarang adalah A. niger, A flavus, dan A. terreus. Conidia Aspergillus banyak terdapat di sekitar lingkungan dan mudah untuk dihirup. Pada pasien dengan gangguan imunitas menurun, penurunan aktivitas makrofag berhubungan dengan adanya konidia yang persisten di alveoli. Selain itu, neutropenia yang berkepanjangan dan defisit limfosit T menyebabkan menurunnya respon imun terhadap diseminasi hifa dan menyebabkan infeksi yang persisten.

Bentuk kapang Aspergillus
Bentuk kapang Aspergillus

Pada aspergillosis akut, perjalanan penyakit berlangsung cepat. Pada pasien dengan neutropenia, terdapat gambaran invasi pembuluh darah sehingga menyebabkan tingginya diseminasi ke organ-organ seperti kulit, otak, atau mata. Gambaran klinis biasanya tidak spesifik dengan munculnya demam yang sering dan bisa bersamaan dengan batuk, nyeri dada, dan hemoptisis. Pada pemeriksaan radiologis, dapat ditemukan tanda ”halo”, ground glass opacity di sekitar nodul, lesi kavitas dengan massa intrakavitas, tanda ”air cresent”, dan munculnya cincin udara di sekitar lesi bila kondisi neutropenia perbaikan.

Dari data yang ada, dari berbagai organ, paru adalah organ yang paling sering menjadi tempar infeksi dari Aspergillus, seperti bagain di bawah ini:

Tempat atau lokasi infeksi Aspergillus
Manifestasi Aspergillosis

Diagnosis Aspergilosis Invasif

Diagnosis definitif dari aspergillosis adalah ditemukan adanya hyfa pada sampel jaringan. Diagnosis aspergillosis cukup sulit dikarenakan hasil biakan darah yang hampir selalu negatif dan biakan dari bronchoalveolar lavage (BAL) yang tidak terlalu sensitif. Biasanya Aspergillus spp bersifat infiltratif dan sebarannya di saluran napas cukup rendah sehingga jarang dijumpai di dalam darah maupun BAL. Oleh sebab itu, pemeriksaan non-invasif menjadi andalan dalam mendiagnosis adanya aspergillosis.

Pemeriksaan PCR untuk aspergillosis masih belum terstandarisasi. Adapun pemeriksaan lain yang dapat djadikan patokan adalah pemeriksaan galaktomannan yang merupakan komponen dari dinding sel yang disekresikan oleh hifa Aspergillus spp. Pemeriksaan ini dapat dilakukan baik pada darah maupun BAL. Sensitivistas dan spesivisitas pemeriksaan galaktomannan dari BAL dapat mencapai 90 dan 94%. Pemeriksaan marker yang lain adalah (1-3)β-D-glucan (BDG). BDG adalah pemeriksaan untuk banyak jamur yang juga dapat digunakan untuk mendiagnosis candidiasis invasif maupun pneumonia akibat Pneumocystis jiroveci (PCP). BDG merupakan marker yang tidak spesifik untuk aspergillosis dan baik galaktomannan maupun BDG berpotensi memberikan hasil positif palsu bila pada pasien diberikan antibiotik beta laktam, albumin, imunoglobulin, atau pemakaian kassa.

Pengobatan untuk aspergillosis yang terpilih adalah voriconazole. Belum ada patokan mengenai lamanya pemberian antijamur pada aspergillosis namun disebutkan dapat dihentikan saat perbaikan klinis atau pulihnya status imunitas.

Jenis manifestasi klinisi infeksi Aspergillus spp
Jenis manifestasi klinisi infeksi Aspergillus spp

Pneumocystis jiroveci

Awalnya dikenal sebagai protozoa, saat ini Pneumocystis jiroveci dikelompokan ke dalam jamur. Jamur ini sangat umum terjadi sehingga banyak hasil positif pemeriksaan serologis didapatkan pada orang sehat. Infeksi primer jamur ini tidak menimbulkan gejala namun pada reaktivasi pada penderita gangguan imunitas, dapat memberikan gambaran klinis, khususnya penumonia (PJP) yang berat.

Gambaran bilasan bronkhus menunjukan PCP
Pneumocystis jiroveci dari sediaan bilasan BAL

Faktor risiko untuk PJP adalh bisa hitung CD4+ <200 sel per mm3. Faktor risiko lain adalah keganasan hematologis, transplantasi organ solid, dan pemberian imunosupresan seperti kortikosteroid. Gambaran klinis adalahd emam, batuk, dan sesak yang bersifat progresif ke arah hipoksia berat dan gagal napas. Gambaran radiologis adalah infiltrat interstitial yang dapat menyatu dan memberikan gambaran ground-glass appearance. Pemeriksaan mikrobiologis untuk PJP adalah ditemukannya bentuk matur yaitu kista di paru atau BAL. Akan tetapi, pemeriksaan ini memberikan sensitivitas yang amat rendah pada pasien non-HIV. Sebagai alternatif adalah pemeriksaan BDG.

Tingkat kematian pada PJP berkisar antara 4-50% dengan faktor risiko mortalitas berupa usia lanjut, hiperbilirubinemia, hipoalbuminemia, gradien oksigen alveolar-arterial >50 mmHg, dan terlambatnya pemberian terapi. Obat terpilih untuk PJP adalah trimethoprim–sulfamethoxazole (TMP-SMX). Adapun antijamur, kecuali echinocandin, tidak efektif karena P. jiroveci mengandung sangat sedikit ergosterol pada dinding selnya.

Gambaran foto toraks PCP
Gambaran radiologis PJP

Pemberian kortikosteroid dapat dipertimbangkan pada keadaan hipoksemia berat (PaO2 dengan udara ruangan < 70 mmHg) karena kejadian gagal napas dan kematian lebih rendah pada pasien yang menerima kortikosteroid. Walaupun dengan berkembangnya terapi, pencegahan merupakan hal yang utama pada pasien dengan PJP. Pencegahan dengan kotrimoksazol diberikan pada pasien HIV dengan CD4 < 200 sel per mm3 atau pada pasien yang menerima pengobatan imunosupresan seperti steroid dosis > 20 mg prednison selama > 8 minggu atau penerima transplantasi organ padat atau stem sel hematopoiesis. Untuk kasus PCP pada penderita HIV/AIDS dapat disimak di artikel ini.

Faktor risiko dan pengobatan PCP pada pasien non-HIV
Faktor risiko dan pengobatan PCP pada pasien non-HIV

Cryptococcosis

Criptococcus neoformans adalah infeksi jamur yang dapat menyebabkan penyakit pada saluran napas ataupun penyakit diseminata yang menyebar ke sistem saraf pusat, tulang, atau kulit. Pertahanan terpenting terhadap jamur ini adalah makrofag dan sel CD4. Variasi keterlibatan paru sangat beragam mulai dari kolonisasi asimtomatik sampai ARDS.

Criptococcus dengan gambaran halo.
Criptococcus dengan gambaran halo.

Gejala yang umum adalah batuk, sesak, demam, dan nyeri pleuritik. Gambaran radiologis dari cryptococcosis paru bervariasi dan sering kali menggambarkan adanya nodul berkavitas.

Penegakan diagnosis cryptococcosis dilakukan bila terdapat Cryptococcus pada CSF. Tetapi, temuan jamur ini di saluran napas dapat menunjukan adanya kolonisasi. Selain biakan, pemeriksaan antigen Cryptococcus juga dapat dilakukan untuk diagnosis. Mortalitas penyakit infeksi jamur ini tergantung dari gejala klinis, dapat rendah pada kasus penyakit paru terlokalisasi dan dapat tinggi bila bersifat diseminata. Akan tetapi, bila tidak diterapi hampir selalu fatal.

Penatalaksanaan infeksi Cryptococcus tergantung dari tempat infeksi. Pada infeksi paru terlokalisir, pemberian terapi utama adalah fluconazole dengan durasi terapi sampai 6 bulan. Pada kasus diseminata, pneumonia berat, atau meningoensefalitis, maka terapi utama adalah formulasi lipid dari amfoterisin B selama 6 minggu diikuti terapi fluconazole jangka panjang. Kortikosteroid dapat diberikan pada kondisi ARDS.

Candidiasis

Spesies Candida sangat banyak, namun hanya sedikit yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Spesies yang paling banyak menyerang manusia adalah Candida albicans, Candida glabrata, Candida tropicalis, Candida parapsilosis, dan Candida krusei. Jamur ini merupakan jamur komensal yang berada di mulut, saluran cerna, dan mukosa vagina. Fasilitasi terjadinya virulensi pada Candida adalah penurunan status imunitas, gangguan flora normal, dan adanya kerusakan sawar mukokutan. Walaupun jamur ini merupakan patogen oportunistik, faktor risiko terbesar untuk candidiasis dominan bersifat iatrogenik.

Prevalensi spesies Candida sebagai penyebab infeksi jamur invasif
Candida albicans menempati porsi paling banyak tetapi semakin waktu, porsi Candida lain semakin bertambah

Pada pasien dengan gangguan imunitas, mayoritas merupakan kasus candidemia. Adapun pada pasien dengan penyakit kritis dan candidiasis abdominal, dapat menunjukan gambaran penyakit candidiasis non sistemik. Walaupun pada 80% pasien dengan risiko tinggi memiliki kolonisasi Candida, hanya 5-30% yang kemudian menjadi infeksi invasif. Candida spp dapat menyebar ke pembuluh darah dan menyerang mata, saraf pusat, dan jantung. Terdapat gambaran klinis yang jarang yaitu candidiasis diseminata kronis atau lebih dikenal dengan candidiasis hepatosplenik. Kondisi ini terjadi pada pasien keganasan setelah periode neutropenia.

Jadi, secara garis besar manifestasi dari candidiasis dapat berupa candidemia atau candidiasis pada organ dalam. Ada kesulitan di sini karena tidak semua candidemia pada organ dalam tidak menimbulkan candidemia sehingga pemeriksaan pada biakan menjadi negatif.

Jenis atau tipe infeksi Candidiasis invasif
Jenis atau tipe infeksi Candidiasis invasif

Pada pasien dengan penyakit kritis, kematian akibat Candida sangat tinggi yaitu dapat mencapai 60%. Faktor risiko terjadinya candidiasis pada pasien ini adalah pemaiakan antibiotika jangka lama, kateter intravaskular, nutrisi parenteral, dan nilai APACHE II yang tinggi.

Dikarenakan meningkatknya penggunaan profilaksis fluconazole, terjadi pergeseran epidemiologi dari Candida albicans (CA) ke spesies non albicans (NAC). NAC berpotensi menjadi permasalahan karena tingkat resistensi yang tinggi terhadap fluconazole. Keterlambatan diagnosis
dan terapi pada infeksi jamur berhubungan dengan peningkatan mortalitas. Selain itu, Candida spp juga menjadi penyebab renjatan tersering septik pada infeksi jamur dengan kematian yang tinggi.

Diagnosis Candidiasis dapat dibantu dengan pemeriksaan BDG. Akan tetapi, terdapat beberapa kondisi dimana dimungkinkan hasil positif palsu. Keadaan-keadaan tersebut seperti tampak pada gambar di bawah ini:

Kemungkinan hasil diagnosis infeksi jamur invasif dengan BDG
Alur profilaksis untuk Candidiasis invasif
Alur profilaksis untuk Candidiasis invasif

Dasar Terapi Antijamur

Beberapa strategi pada penanganan candidiasis adalah terapi profilaksis, empirik, preemtif, dan terapi berdasarkan biakan. Terapi profilaksis berisiko meningkatkan angka resistensi karena paparan terlalu sering dengan antijamur. Terapi preemtif tidak mengandalkan faktor risiko melainkan juga memanfaatkan hasil dari pemeriksaan tidak langsung seperti BDG. Biakan darah biasanya memiliki sensitivitas rendah dan memberikan hasil yang lama (> 72 jam).

Tahap diagnosis infeksi jamur invasif

Pada candidiasis yang stabil, fluconazole menjadi pilhan utama baik sebagai terapi maupun terapi preemtif pasien dengan gangguan hematologi. Disarankan pemberian antijamur sampai 14 hasil biakan dinyatakan negatif ditambah dengan pemeriksaan funduskopi, pencabutan kateter vena sentral, dan transesofageal echocardiography untuk menyingkirkan adanya diseminasi Candida. Berikut ini adalah pilihan antijamur untuk amsing-masing spesies:

PatogenLini pertamaAlternatif
Aspergillus spp.Voriconazol 6 mg/kg bid pada hari pertama dilanjutkan 4 mg/kg bid setidaknya selama 7 hari dengan pilihan ganti PO 200 mg bid, isavuconazolL-AmB atau ABLC, posaconazol (salvage), caspofungin (salvage)
Pneumocystis jiroveciTrimethoprim/ sulfamethoxyzoleAtovaquone, clindamycin + primaquin
Cryptococcus spp.Penyakit paru terlokalisir: Fluconazole 6 mg/kg sampai klinis stabil (biasanya 4 bulan) dilanjutkan rumatan 200 mg per hari selama 6-12 bulan.Voriconazole, posaconazole 200 mg qid PO di awal diikuti 400 mg bid sampai stabilisasi
Disemanata (CNS + pneumonia) atau ARDS: L-AmB atau ABLC + flusitosin
Candida sppRawat non kritis: fluconazole awal 12 mg/kg dilanjutkan 6 mg/kg per hari.L-AmB dengan dosis 3-5 mg/kg per hari, voriconazole
Pasien kritis: Caspofungin (70 mg hari 1 dilanjutkan 50 mg per hari) atau micafungin (100 mg per hari) atau anidulafungin (200 mg hari 1 dilanjtukan 100 mg per hari)

Jenis Antijamur

  • Polyene
    • Amphotericine B, modifikasi berupa liposomal AmpB
  • Azole
    • Fluconazole banyak resistensi
    • Voriconazole
  • Echinocandin
    • Casfopungin
    • Micafungin
    • Anidulafungin
Sejarah penemuan antijamur
Sejarah penemuan antijamur
Mekanisme kerja antijamur
Mekanisme kerja antijamur

Efek Samping Antijamur

Efek samping antijamur
Efek samping antijamur

Kesimpulan

Infeksi jamur invasif merupakan masalah yang cukup sering dihadapi dalam penatalaksanaan pasien kritis. Peningkatan populasi pasien dengan gangguan imunitas serta berbagai macam prosedur diagnostik invasif memberi ruang pada peningkatan infeksi jamur. Pengenalan dan pemahaman mengenai infkesi jamur ini diperlukan agar dapat memberikan pelayanan yang lebih baik dan mencegah adanya keterlambatan penanganan. Hal ini diharapkan dapat menurunkan angka kematian dan sekaligus lama perawatan.

Sumber

  1. Bassetti M, Righi E. Overview of fungal infections–the Italian experience. Semin Respir Crit Care Med. 2015 Oct;36(5):796–805.
  2. Calandra T, Roberts JA, Antonelli M, Bassetti M, Vincent J. Diagnosis and management of invasive candidiasis in the ICU: an updated approach to an old enemy. Crit Care. 2016 Dec;20(1):125.
  3. Clancy CJ, Nguyen MH. Finding the missing 50% of invasive candidiasis: How nonculture diagnostics will improve understanding of disease spectrum and transform patient care. Clin Infect Dis. 2013;56(9):1284–1292.
  4. Cortegiani A, Russotto V, Maggiore A, Attanasio M, Naro AR, Raineri SM, et al. Antifungal agents for preventing fungal infections in non-neutropenic critically ill patients. Cochrane Syst Rev. 2016;(1):CD004920.
  5. De Pauw B, Walsh TJ, Donnelly JP, Stevens Da, Edwards JE, Calandra T, et al. Revised definitions of invasive fungal disease from the European Organization for Research and Treatment of Cancer/Invasive Fungal Infections Cooperative Group and the National Institute of Allergy and Infectious Diseases Mycoses Study Group (EORTC/MSG) C. Clin Infect Dis. 2008 Jun;46(12):1813–21.
  6. Gonçalves SS, Souza ACR, Chowdhary A, Meis JF, Colombo AL. Epidemiology and molecular mechanisms of antifungal resistance in Candida and Aspergillus. Mycoses. 2016;59(4):198–219.

Tinggalkan Balasan