Diagnosis dan Tatalaksana Pneumocystis Pneumonia (PCP)

Cecep Suryani SoburAlergi-Imunologi, Kedokteran, Tropik-Infeksi Leave a Comment

Pneumocystis pneumonia (PCP) disebabkan oleh organisme Pneumocystis jirovecii yang masuk ke dalam golongan jamur. Sebenarnya Pneumocystis jirovecii memiliki sejarah yang unik. Awalnya dianggap protozoa dan sama dengan spesies Pneumocystis carinii yang menginfeksi tikus. Akhirnya, setelah analisa molekuler ditemukan bahwa spesies Pneumocystis pada manusia berbeda. Organisme ini kemudian dinamakan Pneumocystis jirovecii untuk menghormati ilmuwan asal Czecho, Otto Jírovec yang pertama kali menggambarkan infeksi jamur tersebut pada manusia. Selain itu, walaupun masuk golongan jamur, Pneumocystis jirovecii tidak respon dengan terapi antijamur. Antibiotika adalah obat utama untuk melawan infeksi PCP.

PCP menjadi perhatian setelah ditemukan menyebabkan penumonia interstisial pada bayi prematur dan malnutrisi saat perang dunia II. Sebelum tahun 1980-an, di Amerika Serikat hanya dilaporkan 100-an kasus PCP yang biasanya terjadi pada pasien kanker yang menerima kemoterapi atau immunosupresan. Namun, setelah munculnya AIDS, jumlah kejadian PCP menjadi meningkat tajam dan saat ini menjadi infeksi oportunistik yang paling umum terjadi pada penderita infeksi HIV.

Mikrobiologi Pneumocystis jirovecii

P. jirovecii pertama kali dikenal sebagai parasit sampai analisa DNA membuktikan jika organisme tersebut adalah jamur. P. jirovecii adalah Pneumocystis yang menginfeksi manusia sedangkan P. carinii adalah spesies Pneumocystis yang menginfeksi tikus. Jamur ini memiliki siklus hidup yang seluruhnya ada di tubuh inang, seperti digambarkan pada bagan di bawah ini:

Siklus hidup Pneumocystis jirovecii
Siklus hidup Pneumocystis jirovecii

Epidemiologi Pneumocystis Pneumonia (PCP)

Diperkirakan infeksi P. jirovecii priemer terjadi pada masa kecil. Sekitar dua per tiga anak-anak sehat usia 2-4 tahun sudah positif secara serologis mempunyai antibodi terhadap P. jirovecii. Adapun rute infeksi diperkirakan adalah lewat udara.

PCP terjadi akibat reaktivasi dari infeksi laten. Sebelum diperkenalkan profilaksis terhadap PCP serta ARV, kejadian penyakit ini pada pasien AIDS mencapai 70-80%. Walaupun sudah diterapi, angka kematian pada penderita PCP dengan immunodefisiensi berat mencapai 20-40%. Sekitar 90% kasus PCP terjadi pada kelompok individu dengan jumlah CD4 <200 sel/mm3.

Dengan adanya profilaksis dan ARV, jumlah insidens PCP menurun secara signifikan. Di negara barat, saat ini insidensinya <1 per 100 orang per tahun. Kebanyakan kasus tersebut terjadi pada individu yang tidak menyadari terinfeksi HIV dan pada mereka dengan immunisupresi lanjut (CD4 <100 sel/mm3).

Manifestasi Klinis Pneumocystis Pneumonia (PCP)

Gejala yang muncul adalah sesak napas yang semakin lama semakin berat atau progresif dengan onset subakut. Selain itu, terdapat pula demam, batuk tidak berdahak, dan rasa tidak nyaman di dada. Semua gejala tersebut memburuk dalam hitungan hari sampai minggu, karena itu disebut subakut. Pneumonia fulminan pada individu yang tidak terinfeksi HIV jarang ditemui.

Pada kasus yang ringan, pemeriksaan fisis baru biasanya normal saat istirahat. Dengan aktivitas fisik, muncul takikardia, takipnea, dan rhonki kering difus dapat muncul. Oral thrush adalah koinfeksi yang umum. Demam terjadi di sebagian besar kasus dan dapat menjadi gejala utama pada beberapa pasien. Penyakit ekstraparu jarang di dapat dan biasanya terjadi pada individu yang menerima profilaksis pentamidine inhalasi.

Pemeriksaan Penunjang untuk Pneumocystis Pneumonia (PCP)

Hipoksemia adalah ciri abnormalitas utama pada pemeriksaan penunjang yang bisa ringan (pO2 udara ruangan ≥70 mmHg atau gradien O2 alveolar-arterial (A-a)DO2<35 mmHg) sampai sedang ((A-a)DO2≥35 dan <45 mmHg) sampai berat ((A-a)DO2≥45 mmHg). Saturasi oksigen saat aktivitas dapat abnormal namun tidak spesifik. Terjadi pula peningkatan lactate dehydrogenase (LDH) >500 mg/dL namun peningkatan ini pula tidak spesifik. Di bawah ini adalah pembagian secara klinis derajat keparahan dari PCP:

Faktor kinisKlasifikasi penyakit
RinganSedangBerat
Sesak napasSaat aktivitasAktivitas minimalSaat diam/istirahat
Tekanan oksigen (PaO2) saat istirahat>11,0 kPa8,1-11,0 kPa< 8,0 kPa
Saturasi oksigen>96%91-96%<91%
RadiologiNormal/perubahan minimalPerubahan difus interstisialPerubahan ekstensif dengan bayangan alveolar difus
Lain-lainMungkin demamTakipnea, demam, batuk

Pada pemeriksaan radiologis toraks biasanya tampak infiltrat interstitial “ground-glass” yang difus, bilateral, yang berpencar dari hilus membentuk pola seperti kupu-kupu. Bentuk penampakan radiologis yang tidak umum beruoa nodul, bleb, kista, asimetris, lokalisasi lobus superior, adenopati intratorakal, dan pneumotoraks.

Gambaran foto toraks PCP
Gambaran toraks PCP, tampak gambaran klasik pneumonia insterstisial difus bilateral

Pneumotoraks yang spontan pada pasien HIV juga harus mengarahkan kecurigaan terhadap PCP. Kavitasi dan efusi pleura adalah manifestasi yang tidak umum tanpa keadaan lain seperti keganasan atau patogen lain. Oleh karena itu, temuan tersebut menandakan harus dicari adanya kemungkinan penyakit lain yang menyertai. Sekitar 13-18% pasien dengan PCP terdapat penyakit penyerta lain seperti tuberculosis (TB), Kaposi sarkoma, atau penumonia bakterial.

Pemeriksaan CT-scan bermanfaat terutama untuk pasien dengan gejala ringan-sedang atau radiografi toraks yang normal. Pada CT-scan dapat dijumpai atenuasi “ground-glass” yang patchy sedangkan bila temuan CT-scan normal memiliki nilai prediksi negatif yang tinggi.

Gambaran CT-scan dari PCP
Gambaran CT-scan PCP tampak opasitas ground glass sentrilobular difus dengan sparing pada bagian perifer paru.

Cara Diagnosis Pneumocystis Pneumonia (PCP)

Permasalahan klinis pada PCP adalah bahwa baik gejala, pemeriksaan fisis, maupun pemeriksaan penunjang dasar tidak spesifik. Selain itu sampai saat ini belum ada media biakan yang bisa menumbuhkan P. jirovecii. Sebab itu, untuk diagnostik pasti diperlukan pemeriksaan organisme baik secara hitopatologi maupun sitopatologi baik dari jaringan maupun cairan bronchoalveolar lavage (BAL) atau sputum yang diinduksi.

Sputum atau dahak yang keluar secara spontan mempiliki sensitivitas rendah sehingga tidak dapat digunakan untuk diagnosa PCP. Pewarnaan Giemsa, Diff-Quik, dan Wright dapat mendeteksi bentuk kista maupun trophik namun tidak bisa mewarnai dinding kista. Dinding kista dapat diwarnai dengan Grocott-Gomori methenamine silver, Gram-Weigert, cresyl violet, atau toluidine blue. Beberapa pemeriksa lebih menganjurkan immunofluoresensi secara langsung. Hasil sensitivitas dari bahan sputum yang diinduksi bisa <50% sampai 90%, BAL 90-99%, biopsi transbronchial 95-100%, dan biopsi paru terbuka 95-100%.

Pemeriksaan biopsi spesimen paru untuk diagnosis PCP
Pemeriksaan biopsi spesimen paru, pewarnaan Gomori-Grocott methenamine silver (GMS)

Pemeriksaan PCR adalah cara alternatif dengan sensitivits dan spesivisitas yang cukup tinggi. Akan tetapi, PCR tidak bisa membedakan kolonisasi dengan penyakit invasif walaupun tingkat beban organisme yang tinggi dengan Q-PCR bisa mengarahkan ke petanda penyakit invasif. 1,3β-D-Glucan (BDG) merupakan komponen dinding dari P. jirovecii seringkali meningkat pada PCP namun spesivisitasnya cukup rendah karena infeksi jamur lain, pemakaian membran selulosa pada hemodialisa, dan beberapa obat bisa memberikan hasil BDG yang meningkat.

Pencegahan Paparan Pneumocystis Pneumonia (PCP)

Walaupun PCP ditularkan lewat udara, namun sampai saat ini belum ada rekomendasi atau bukti yang kuat yang mendukung perlakukan isolasi sebagai prosedur baku.

Pencegahan atau Profilaksis Primer Pneumocystis Pneumonia (PCP)

Pencegahan berupa kemoprofilaksikan ditujukan pada pasien terinfeksi HIV dewasa maupun remaha, termasuk wanita hamil dan penderita yang mengonsumsi ARV jika CD4<200 sel/mm3. Penderita dengan presentasi CD4 <14% juga dipertimbangkan mendapat profilaksis. Penderita HIV dengan CD4 200-250 sel/mm3 juga dipertimbangkan mendapat profilaksis jika ARV ditunda serta pemeriksaan CD4 tiap 3 bulan tidak bisa dilakukan. Pasien HIV yang menderita TE dan mendapat pyrimethamine-sulfadiazine tidak memerlukan tambahan profilaksis untuk PCP.

Kotrimoksazol adalah obat yang disarankan sebagai kemoprofilaksis. Dosis yang disarankan adalah 1 x 960 mg namun dilaporkan dosis 1 x 480 mg juga efektif dan lebih bisa ditoleransi oleh pasien. Alternatif lain adalah 1 x 960 mg tiga kali seminggu. Jika terdapat efek samping yang tidak mengancam nyawa, penggunaan kotrimosazol tetap dianjurkan untuk dilanjutkan. Penghentian akibat efek samping adalah jika efek samping tersebut mengancam nyawa termasuk kemungkinan atau adanya sinfrom Steven-Johnson atau TEN.

Bagi pasien yang tidak dapat menoelransi kotrimoksazol, alternatifnya adalah dapson, dapson plus pyrimethamine plus leucovorine, pentamidine aerosol, dan atovaquone. Pentamidine aerosol yang direkomendasikan hanya jika dinebulisasi dengan nebulizer Respirgard II.

Penghentian Profilaksis Primer

Penghentian profilaksis dilakukan apabila pemberian ARV berhasil menaikan CD4 dari <200 sel/mm3 menjadi >200 sel/mm3 dalam waktu >3 bulan. Pemberian ulang profilaksis dilakukan apabila CD4 turun <200 sel/mm3. Alternatif lain, penghentian profilaksis PCP juga dapat dilakukan pada CD4 100-200 sel/mm3 dan viral load RNA di bawah level tak terdeteksi selama setidaknya 3-6 bulan.

Terapi PCP

Kotrimoksazol adalah pilihan pertama untuk terapi PCP. Pada keadaan infeksi sedang-berat, yaitu jika (A-a)DO2≥35 mmHg, maka ditambahkan terapi adjungtif kortikosteroid diberikan dalam 72 jam pemberian kotrimoskazol.

Alternatif terapi untuk penyakit ringan sedang adalah dapsone dan trimethoprim (TMP) atau primaquine plus clindamycin, dan atovaquone. Terapi alternatif untuk penyakit sedang berat adalah clindamycin-promaquine atau pentamidine IV. Rekomendasi terapi adalah dalam durasi 21 hari.

  • Terapi penyakit sedang-berat
    • Kotrimosazol, TMP 15-20 mg/kg/hari dan SMX 75-100 mg/kg/hari IV diberikan terbagi q6h atau q8h, dapat diganti ke oral bila ada perbaikan klinis
    • Terapi alernatif
      • Pentamidine IV 4 mg/kg sekali sehari selama 16 menit, dapat dikurangi menajdi 3 mg/kg sekali sehari bila ada toksisitas, atau
      • Promaquine 30 mg (basa) PO sekalis sehari + clindamycin IV 600 mg q6h atau 900 mg q8h atau PO 450 mg q6h atau 600 mg q8h, atau
      • Atovaquone 750 mg PO bid bersamaan dengan makanan
    • Terapi kortikosteroid (setara prednison)
      • hari 1-5: 40 mg PO bid
      • hari 6-10: 40 mg PO sekali sehari
      • Hari 11-21: 20 mg PO sekali sehari
      • Methylprednisolone IV diberikan 75% dosis prednison di atas

Pencegahan Sekunder

  • Indikasi: riwayat sebelumnya
  • Pilihan utama
    • Kotrimosazol 1 x 960 mg, atau
    • Kotrimosazol 1 x 480 mg
  • Alternatif
    • Kotrimosazole 1 x 960 mg tiga kali seminggu
    • Dapsone 100 mg PO atau 2 x 50 mg PO
    • Dapsone 1 x 50 mg + (pyrimetahmine 50 mg + leucovorin 25 mg) PO sekali seminggu
    • (Dapsone 200 mg + pyrimethamine 75 mg + leucovorin 25 mg) semingu sekali PO
    • Pentamidine aerosol 300 mg melalui nebulizer Respigard II sebulan sekali
    • Atovaquone 1500 mg PO per hari
    • (Atovaquone 1500 mg + pyrimethamine 25 mg + leucovorin 10 mg) PO per hari
  • Penghentian profilaksis sekunder
    • Pemberian ARV berhasil menaikan CD4 dari <200 sel/mm3 menjadi >200 sel/mm3 dalam waktu >3 bulan, atau
    • CD4 100-200 sel/mm3 dan viral load RNA di bawah level tak terdeteksi selama setidaknya 3-6 bulan.
    • Untuk pasien yang terkena PCP pada CD4 >200 sel/mm3 penghentian profilaksis sekunder dapat dilakukan bila viral load RNA di bawah level tak terdeteksi selama setidaknya 3-6 bulan.

PCP pada Pasien Non HIV

Selain immunodefisiensi pada HIV, dalam keadaan supresi imun lainnya dapat terkena PCP. Bagan di bawah ini adalah gambaran singkat keadaan serta faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian PCP pada pasien non HIV:

PCP pada pasien non HIV

Untuk kondisi lain seperti keganasan, pemberian terapi dan profilaksis PCP dapat dibaca pada artikel ini: Infeksi Jamur Invasif pada Penderita Penyakit Kritis Non-Neutropenia

Kesimpulan

PCP adalah infeksi oportunistik yang banyak terdapat pada pasien HIV. Pemberian ARV disertai profilaksis kotrimosazol selama CD4<200 sel/mm3 menjadi penting. Dikarenakan tidak ada gejala dan pemeriksaan penunjang yang khas, diperlukan konstruksi klinis yang baik serta kecurigaan pada setiap pasien HIV berisiko PCP yang mengalami gejala pernapasan.

Sumber

  1. Chabé M, Aliouat-Denis CM, Delhaes L, Aliouat EM, Viscogliosi E, Dei-Cas E. Pneumocystis: From a doubtful unique entity to a group of highly diversified fungal species. FEMS Yeast Res. 2011;11(1):2–17.
  2. Huang YS, Yang JJ, Lee NY, Chen GJ, Ko WC, Sun HY, et al. Treatment of Pneumocystis jirovecii pneumonia in HIV-infected patients: a review. Expert Rev Anti Infect Ther. 2017;15(9):873–92.
  3. Panel on Opportunistic Infections in HIV-Infected Adults and Adolescents. Guidelines for the prevention and treatment of opportunistic infections in HIV-infected adults and adolescents: recommendations from the Centers for Disease Control and Prevention, the National Institutes of Health, and the HIV Medicine Association of the [Internet]. CDC; 2013 [cited 2019 Jan 1]. Available from: http://aidsinfo.nih.gov/contentfiles/lvguidelines/adult_oi.pd
  4. Siegel M, Masur H, Kovacs J. Pneumocystis jirovecii Pneumonia in Human Immunodeficiency Virus Infection. Semin Respir Crit Care Med. 2016 Mar 14;37(02):243–56.
  5. Sokulska M, Kicia M, Wesołowska M, Hendrich AB. Pneumocystis jirovecii—from a commensal to pathogen: clinical and diagnostic review. Parasitol Res. 2015;114(10):3577–85.
  6. Son HJ, Sung H, Park SY, Kim T, Lee HJ, Kim SM, et al. Diagnostic performance of the (1–3)-β-D-glucan assay in patients with Pneumocystis jirovecii compared with those with candidiasis, aspergillosis, mucormycosis, and tuberculosis, and healthy volunteers. PLoS One. 2017;12(11):1–11.
  7. White P, Price J, Backx M. Therapy and Management of Pneumocystis jirovecii Infection. J Fungi. 2018 Nov 22;4(4):127.

Tinggalkan Balasan