Saat mendekati bulan Ramadhan, banyak pertanyaan mengenai bagaimana penderita diabetes berpuasa. Puasa adalah salah satu ibadah yang penting bagi umat Islam. Akan tetapi, ibadah ini memberikan tantangan tersendiri, khususnya bagi penderita diabetes. Tantangan yang terbesar adalah berubahnya pola makan serta periode puasa yang panjang tanpa asupan makanan dan minuman. Bagaimana cara yang baik bagi penderita diabetes berpuasa? Berikut paparannya. (Image by john peter from Pixabay)
Daftar Isi
Perubahan Metabolisme Tubuh Selama Puasa
Puasa bulan Ramadhan dipandang dari segi pola makan adalah periode tanpa asupan makan minum dari sejak fajar tiba sampai matahari tenggelam. Kurang lebih sekitar 12-15 jam periode puasa untuk wilayah negara tropis seperti di Indonesia. Di negara lain, bisa lebih bervariasi, tergantung posisi lintang wilayah tersebut. Selama periode tersebut, tubuh kita tidak mendapatkan asupan energi dari makanan. Oleh sebab itu, tubuh kita akan bergantung kepada sumber cadangan makanan.
Untuk memahami bagaimana reaksi tubuh terhadap kondisi puasa, kita akan meninjau beberapa perubahan fisiologis tubuh yang normal dari mulai setelah makan sampai kondisi kelaparan. Adapun tahapannya ada tiga yaitu:
- Postabsorptive phase, 6–24 jam setelah mulainya puasa
- Gluconeogenic phase, 2–10 hari puasa
- Protein conservation phase, di atas 10 hari puasa
The Well-fed, atau Postabsorptive State
Kondisi ini terjadi setelah kita makan. Berlangsung sekitar 6-24 jam setelah mulai berpuasa. Tubuh dalam kondisi kenyang, dan makanan dalam proses dicerna. Pada kondisi ini glukosa, asam amino, dan nutrisi lainnya dipindahkan dari usus ke darah. Respon tubuh pada kondisi ini adalah dikeluarkannya insulin. Insulin ini terutama mengeluarkan sinyal untuk menyimpan makanan dan sintesis protein. Sebagai contoh, rangsang insulin melalui sinyal protein kinase akan merangsang sintesis glikogen baik di otot maupun hati. Selain itu, insulin akan menekan proses glukoneogenesis hati serta meningkatkan glikolisis yang pada akhirnya menyebabkan sintesis asam lemak di hati.
Glukosa di darah pada kondisi setelah makan akan diabsorpsi oleh hati melalui GLUT2. Proses ini akan dipercepat dengan adanya insulin. Tingginya influks glukosa ini akan mensaturasi situs katalitik glukokinase dan mengaktivasi enzim tersebut. Produknya adalah perubahan glukosa diproses menjadi glukosa 6-fosfat. Produksi glukosa 6-fosfat ini kemudian akan dilanjutkan menjadi glikogen.
Tingginya kadar insulin juga akan menyebabkan masuknya glukosa ke otot dan jaringan lemak. Cara insulin merangsang proses pembentukan glikogen di otot sama dengan di hati. Adapun glukosa yang masuk ke jaringan lemak menajdi bahan untuk produksi gliserol 3-fosfat untuk sintesis triasilgliserol.
Untuk proses metabolisme protein, insulin akan merangsang sel otot untuk menangkap asam amino rantai cabang. Asam amino rantai cabang tersebut yaitu valine, leucine, dan isoleucine. Proses ini akan menjadi stimulus dibentuknya protein di otot dan menghambat degradasi cadangan protein.
Early Fasting State/Gluconeogenic Phase
Kadar gula darah akan turun dalam beberapa jam setelah makan sehingga sekresi insulin akan berkurang dan glukagon mulai disekresikan dari sel α dari pankreas. Target utama glukagon adalah hati dengan menstimulasi pemecahan glikogen menjadi glukosa. Mekanismenya adalah dengan mengaktivasi siklik AMP sehingga memfosforilisasi dan mengaktifkan foforilase dan inhibisi glikogen sintase. Glukagon juga menghambat sintesis asam lemak dengan mengurangi produksi piruvat dan menurunkan aktivitas asetil CoA karboksilse dengan mempertahankan kondisi enzim tersebut dalam keadaan tidak terfosforilisasi. Sebagai tambahan, glukagon juga menstimulasi glukoneogenesis di hati dan memblok glikolisis dengan menurunkan kadar fruktosa-2,6-bifosfat.
Semua efek glukagon diperantarai oleh protein kinase yang diaktivasi oleh siklik AMP. Aktivasi kaskade siklik AMP menghasilkan kadar aktivitas fosforilase a yang lebih tinggi dan turunnya aktivitas glikogen sintase a. Efek glukagon pada kaskade ini diperkuat oleh hilangnya ikatan glukosa pada fosforilase a sehingga membuat enzim lebih sedikit rentan terhadap aksi hidrolitik dari fosfatase. Bahkan, fosfatase akan tetap terikat pada fosforilase a sehingga sintase akan tetap dalam kondisi terfosforilisasi sehingga dalam keadaan inaktif.
Glukosa yang dihasilkan dari hidrolisis glukosa 6-fosfat akan dilepaskan ke darah. Adapun glukosa ini hanya akan sedikit masuk ke jaringan otot dan lemak karena sedikitnya kadar insulin. Berkurangnya utilisasi glukosa oleh lemak dan jaringan otot ini menyebabkan kadar glukosa darah akan cenderung terjaga.
Dalam keadaan ini, sumber energi bagi lemak dan jaringan otot adalah asam lemak. Secara umum, terjaganya kadar glukosa pada keadaan tanpa asupan adalah hasil dari 1) mobilisasi glikogen dari hati; 2) pelepasan asam lemak oleh jaringan adiposa, dan 3) perpindahan bahan bakar utama tubuh dari glukosa ke lemak oleh otot dan hati.
Proses Glukoneogenesis
Adapun hasil dari kondisi berkurangnya glikogen di hati adalah dimulainya proses glukoneogenesis. Glukoneogenesis merubah bahan dari laktat dan alanin. Adapun kedua sumber laktat dan alanin ini adalah produk samping dari metabolisme jaringan perfer. Sedangkan glukosa tetap diperlukan karena otak tidak dapat mengubah sumber bahan bakar dari glukosa ke asam lemak. Sumber tambahan lain untuk proses glukoneogenesis adalah gliserol yang dilepas jaringan adiposa dari proses lipolisis sedangkan sumber lain pula adalah pemecahan protein di otot menjadi asam amino yang kemudian dapat diubah menjadi glukosa.
Prolong Fasting/Protein Conservation Phase
Sebagai gambaran, seorang lelaki dengan status gizi cukup dengan berat badan 70 kg mempunyai cadangan energi sekitar 161.000 kkal. Apabila kebutuhan harian sekitar 1600 kkal, maka cadangan tersebut dapat cukup untuk 1-3 bulan. Akan tetapi, cadangan karbohidrat akan habis hanya dalam satu hari. Untuk penderita diabetes yang berpuasa, apabila diabetesnya tidak terkontrol proses ini menyebabkan gejala penurunan berat badan yang cepat.
Walaupun dalam keadaan kelaparan, kadar glukosa darah harus tetap dipertahankan minimal di atas 40 mg/dL. Prioritas utama untuk tetap mendapatkan glukosa adalah agar beberapa jaringan dapat tetap berfungsi seperti otak dan sel darah merah. Kedua sel dan jaringan ini bergantung secara absolut pada glukosa.
Asam lemak sebagai Alternatif Sumber Energi
Jumlah bahan atau prekursor untuk glukosa sangat terbatas. Mayoritas energi disimpan dalam bentuk moietas asam lemak dalam triasilgliserol. Asam lemak ini tidak dapat diubah menjadi glukosa karena asetil CoA tidak dapat diubah menjadi piruvat. Akan tetapi moietas gliserol pada triasilgliserol dapat diubah menajdi glukosa namun dalam jumlah yang terbatas pula. Sumber potensial lainnya hanyalah asam amino yang berasal dari pemecahan protein. Namun, protein tidak disimpan dalam bentuk cadangan sehingga proses pemecahan protein akan menyebabkan hilangnya fungsi organ seperti melemahnya fungsi otot. Oleh sebab itu, pada keadaan kelaparan, tujuan lainnya adalah mencegah pemecahan protein dengan memindahkan sumber energi dari gluksoa ke asam lemak dan badan keton.
Perubahan metabolisme pada hari pertama kelaparan adalah sama saat masa puasa selama kondisi tidur. Metabolisme yang dominan adalah mobilisasi triasilgliserol dari jaringan lemak dan mobilisasi glukoneogenesis di hati. Adapun hati memperoleh sumber energinya sendiri dari oksidasi asam lemak yang dilepas jaringan lemak.
Akibat dari proses ini maka kadar sitrat dan asetil CoA akan meningkat sehingga menghentikan proses glikolisis. Ambilan glukosa oleh otot akan berkurang sama sekali sedangkan asam lemak dapat masuk secara bebas sehingga otot juga merubah sumber energi ke asam lemak. Proses oksidasi beta dari asam lemak oleh otot akan menghentikan konversi piruvat menjadi asetil CoA karena asetil CoA akan menstimulasi fosforilisasi piruvat dehidrogenase sehingga menjadi tidak aktif. Oleh karena itu, piruvat, laktat, dan alanin akan diekspor ke hati untuk diubah menjadi glukosa.
Sumber cadangan makanan yang memberi kita energi selama kondisi puasa tersebut berubah tergantung lamanya kita berpuasa. Pada jam-jam pertama, akan dikeluarkan cadangan glikogen. Glikogen adalah cadangan gula berupa rantai polimer glukosa. Glikogen ini disimpan di otot dan terutama di hati.
Minimalisasi Pemecahan Otot dan Produksi Badan Keton
Proteolisis juga akan memberikan rantai karbon untuk proses glukoneogenesis. Saat kelaparan, protein yang terdegradasi tidak akan diganti. Sumber protein pertama yang dilepas adalah dari sumber yang dapat diubah secara cepat seperti protein dari epitel usus dan sekresi dari pankreas.
Setelah hari ketiga kelaparan, hati akan membentuk badan keton dalam jumlah yang besar. Sintesis badan keton ini berasal dari peningkatan asetil CoA yang signifikan akrena siklus asam sitrat tidak dapat mengoksidasi semua unit asetil yang berasal dari degradasi asam lemak. Akibatnya, hati akan memproduksi badan keton dalam jumlah besar dan dilepaskan ke darah. Pada saat ini, otak akan mulai mengambil asetoasetat sebagai pengganti dari glukosa. Setelah tiga hari kelaparan, sepertiga sumber energi otak akan diperoleh dari badan keton. Jantung juga menggunakan badan keton sebagai bahan bakar.
Setelah beberapa minggu kelaparan, badan keton menjadi sumber bahan bakar utama dari otak. Asetoasetat diaktivasi oleh transfer dari CoA dari suksinil CoA menghasilkan asetoasetil CoA. Pembelahan oleh tiolase menghasilkan dua molekul dari asetil CoA yang kemudian masuk ke siklus asam sitrat. Utamanya, badan keton adalah konversi efektif dari asam lemak oleh hati yang kemudian digunakan otak untuk menggantikan glukosa sebagai sumber energi. Hal ini otomatis akan mengurangi keperluan glukosa sehingga akan mencegah degradasi dari protein. Oleh sebab itu, pada beberapa hari pertama, otot tidak terlalu mengalami perubahan.
Ketika sumber triasilgliserol habis, maka satu-satunya sumber energi adalah protein. Jika protein mulai didegradasi, maka fungsi jantung, hati, dan ginjal akan menurun sehingga akan menyebabkan terjadinya kematian. Proses ini berlangsung lebih cepat pada penderita diabetes yang berpuasa.
Potensi Gangguan Metabolik saat Penderita Diabetes Berpuasa
Proses gangguan metabolik utama pada penderita diabetes adalah berkurangnya produksi insulin. Dalam paparan tadi diketahui bahwa insulin terutama diperlukan untuk hati, otot, dan lemak untuk mendapatkan glukosa dari darah. Pada keadaan kekurangan insulin, walaupun kadar gula darah tinggi, namun tidak dapat masuk ke dalam sel. Hal ini memiliki konsekuensi metabolik tersendiri.
Dikarenakan hati tidak bisa mendapat glukosa, maka proses glukoneogenesis tidak dapat dihentikan. Akibatnya produksi glukosa malah tidak berhenti dan akan membuat kadar glukosa bisa semakin tinggi. Artinya walaupun glukosa darah tinggi, namun tubuh secara konstan berada dalam kondisi kelaparan.
Otot dan jaringan lemak juga tidak dapat mendapatkan glukosa. Proses lipolisis di sel adiposa tetap berlangsung sehingga asam lemak tetap dilepaskan walaupun kadar glukosa tinggi dalam darah. Denan demikian, ada beberapa ancaman atau risiko yang dihadapi penderita diabetes jika berpuasa, yaitu sebagai berikut:
Hipoglikemia
Penderita diabetes yang berpuasa juga rentan mengalami kondisi hipoglikemia. Hal ini terutama terjadi pada penderita diabetes tipe I akibat respon glukagon juga berkurang. Pada kondisi normal, keseimbangan glukosa sangat terjaga karena respon pankreas yang baik.
Kondisi hipoglikemia juga dapat disebabkan oleh medikasi atau pemberian obat-obatan anti diabetes. Dengan perubahan pola makan bisa saja penderita saat sahur tidak mendapat asupan yang semestinya. Akibatnya, akibat pengaruh obat kadar glukosa dapat turun ke kadar yang rendah dan menyebabkan hipoglikemia yang berat.
Hiperglikemia
Pada penelitian, diperlihatkan bahwa kendali glukosa darah pada pasien yang menjalani puasa memnburuk selama periode puasa. Terdapat peningkatan risiko hiperglikemia berat (didefinisikan yang memerlukan perawatan) sebesar lima kali pada penderita diabetes tipe 2 dan tiga kali pada penderita diabetes tipe 1.
Penurunan kendali glukosa darah ini salah satu penyebabnya adalah pengurangan dosis obat-obatan untuk mencegah terjadinya hipoglikemia pada saat puasa. Selain itu, peningkatan asupan makanan atau minuman yang mengandung gula juga berperan meningkatkan risiko hiperglikemia tersebut.
Ketoasidosis diabetikum (KAD)
Seperti disebutkan di atas, salah satu efek metabolik dari puasa adalah terbentuknya badan keton. Pada pasien diabetes, dikarena kurangnya insulin sejak sebelum puasa, tubuh sudah dalam keadaan mengoksidasi asam lemak. Dengan adanya puasa, maka produksi asam lemak dan oksidasi asam lemak di hati akan semakin banyak. Akibatnya adalah dapat terpicu pembentukan badan keton. Badan keton ini sifatnya asam dan dimetabolisme diginjal.
Jika tubuh kewalahan menangani badan keton ini, maka keasaman darah dapat menurun sehingga terjadi kondisi KAD. KAD adalah salah satu kegawatdaruratan bagi pasien penderita diabetes, terutama diabetes tipe 1 atau diabetes tipe 2 dengan defisiensi insulin berat atau kebutuhan insulin meningkat. Kondisi KAD ini kemungkinan terjadinya akan semakin besar apabila pada saat puasa dilakukan pengurangan dosis insulin secara berlebihan. Selain itu, KAD juga biasa terjadi pada penderita diabetes yang kadar glukosa darahnya sulit terkontrol sebelumnya.
Dehidrasi dan trombosis
Pada pasien diabetes, terutama dengan glukosa darah tinggi atau tidak terkontrol, maka glukosa akan ikut terbuang melalui urin atau air kencing. Glukosa dalam urin ini memiliki sifat menarik air sehingga jumlah air kencing penderita diabetes relatif lebih banyak. Dalam kondisi puasa, dengan terbatasnya jumlah air yang diminum, terutama jika puasa berkepanjangan dapat menyebabkan kondisi kekurangan cairan atau dehidrasi. Kondisi ini dapat diperparah di tempat yang panas yang menyebabkan keringat berlebihan atau penderita yang memiliki aktivitas kerja fisik yang berat.
Kondisi dehidrasi ini dapat menyebabkan hipotensi ortostatik atau sinkop. Selain itu, dehidrasi juga dapat meningkatkan kekentalan atau viskositas darah. Kenaikan viskositas darah dapat mempermudah terbentuknya bekuan darah atau kondisi yang dinamakan hypercoagulable state. Hal tersebut dapat mempermudah terjadinya sumbatan sehingga bisa menyebabkan stroke atau serangan jantung.
Tatalaksana Saat Penderita Diabetes Berpuasa
Harus dipahami bahwa puasa Ramadhan untuk penderita diabetes yang beragama Islam merupakan hal yang penting secara personal dan spiritual. Hal ini harus difasilitasi dan tentunya harus dilakukan evaluasi dan edukasi secara menyeluruh. Sering kali hasil konsultasi menyatakan bahwa pasien tidak disarankan untuk puasa. Namun, apabila pasien tetap bersikukuh, maka dapat dilakukan tentu dengan sudah dilakukan diskusi dan pasien sadar segala akibat akan keputusannya tersebut.
Untuk melihat apakah kondisi pasien diabetes dapat berpuasa, maka harus mengukur kadar risiko untuk mengalami komplikasi yang disebutkan di atas. Sebagai panduan, ada empat golongan risiko bagi penderita diabetes yang akan puasa, yaitu sebagai berikut:
- Risiko sangat tinggi, tidak disarankan untuk puasa
- Riwayat episode hipoglikemia berat dalam tempo 3 bulan sebelum bulan Ramadhan
- Hipoglikemia berulang
- Hipoglikemia yang tidak bergejala
- Kontrol glukosa darah yang buruk atau tidak terkontrol
- Kejadian KAD atau hyperosmolar hyperglycemic coma dalam 3 bulan sebelum Ramadhan
- Diabetes tipe 1
- Adanya penyakit akut
- Pekerjaan dengan intensitas fisik yang tinggi
- Hamil
- Dialisis kronik (CKD)
- Risiko tinggi, tidak disarankan untuk puasa
- Hiperglikemia sedang (rerata kadar glukosa 150-300 mg/dL atau A1C 7,5-9%)
- Insufisiensi ginjal
- Komplikasi makrovaskuler yang lanjut
- Penderita dengan obat insulin atau sulfonilurea yang tinggal sendirian
- Terdapat komorbid yang menambah kemungkinan faktor risiko
- Usia lanjut dengan kondisi sakit
- Terdapat pengobatan yang berpotensi mengganggu status mental
- Risiko sedang, dapat berpuasa tapi dengan pengawasan ketat
- Penderita dengan diabetes yang terkontrol dengan obat sekretagog insulin durasi pendek
- Risiko rendah, boleh berpuasa
- Terkontrol dengan baik dengan terapi perubahan gaya hidup, metformin, acarbose, thiazolidinediones, dan/atau terapi analog incretin
Perhatian umum
- Setiap pasien memiliki pola tersendiri sehingga penatalaksanaan diabetes pada pasien puasa sangat terindividualisasi sehingga rencana terapi akan berbeda dari orang ke orang
- Pemeriksan glukosa darah di rumah atau mandiri sangat penting dan wajib dimiliki terutama pada pasien diabetes tipe 1 atau pada pasien diabetes tipe 2 yang diterapi dengan insulin
- Saat Ramadhan terjadi perubahan pola makan. Gangguan kesehatan umumnya terjadi akibat makanan yang tidak sehat, asupan berlebihan, atau kurangnya tidur. Harus diperhatikan mengenai nutrisi:
- Makanan orang diabetes yang berpuasa tidak berbeda dengan makanan sehat untuk orang tanpa diabetes
- Target nutrisi adalah untuk menjaga agar komposisi tubuh atau berat badan tetap konstan selama puasa
- Kebiasaan mengonsumsi makanan yang tinggi karbohidrat dan lemak terutama saat berbuka harus dihindari
- Konsumsi karbohidrat kompleks yang lambat dicerna tubuh dianjurkan untuk dikonsumsi saat sahur dan dimakan sedekat mungkin dengan waktu imsak
- Perbanyak asupan cairan atau minum pada saat berbuka dan saat sahur
- Aktivitas fisik yang normal tetap dijaga dan harus menghindari aktivitas fisik yang berat karena berisiko untuk hipoglikemia. Aktivitas ini harus dihindari terutama pada sore hari. Sholat tarawih dapat menajdi bagian dari aktivitas fisik olah raga harian penderita diabetes.
- Pada pasien dengan diebetes tipe 1 yang tidak terkontrol, olah raga dapat menyebabkan hiperglikemia berat.
- Apabila terjadi hipoglikemia (glukosa darah <60 mg/dL), maka harus segera membatalkan puasa.
- Puasa juga dibatalkan apabila beberapa jam setelah mulai puasa kadar glukosa darah <70 mg/dL terutama jika pada saat sahur memakai obat insulin, sulfonilurea, atau meglitinide.
- Puasa juga dibatalkan jika glukosa darah >300 mg/dL
- Jika sakit atau tidak enak badan, maka penderita diabetes sebaiknya tidak berpuasa.
Penilaian kesehatan sebelum Ramadhan
Semua pasien diabetes yang akan berpuasa maka harus melakukan evaluasi kesehatan dan edukasi kesehatan tentang menjalankan puasa secara aman. Proses ini dilakukan 1-2 bulan sebelum Ramadhan. Hal spesifik yang perlu diperhatikan adalah tingkat kesehatan pasien secara umum, kontrol glukosa darah, tekanan darah, dan lipid.
Pada saat penilaian sebelum Ramadhan ini, perubahan pola diet dan terapi harus dibuat agar pasien yang berpuasa mendapatkan regimen terapi yang efektif dengan glukosa darah yang stabil. Penilaian awal ini juga dilakukan pada pasien yang tidak berpuasa dikarenakan adanya perubahan pola makan sehubungan dengan penyesuaian sosial dan budaya seputar pelaksanaan ibadah Ramadhan.
Edukasi diabetes khusus tentang Ramadhan
Penderita diabetes pun tentu akan sangat antusias untuk melakukan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Hal ini sebenarnya menjadi peluang untuk memberikan manajemen diabetes yang lebih baik tidak hanya di bulan Ramadhan namun di bulan-bulan lainnya. Akan tetapi, terkadang sering terdapat ketidakcocokan antara terapi medis dengan semangat beribadah yang pasien miliki. Oleh sebab itu, diperlukan edukasi diabetes yang terfokus pada pengelolaan diabetes pada saat berpuasa.
Edukasi mengenai pengelolaan diabetes saat berpuasa harus meliputi:
- Pentingnya melakukan monitoring kadar glukosa darah baik pada saat berpuasa maupun waktu berbuka dan malam hari
- Kapan diperlukan harus berhenti atau membatalkan puasa
- Perencanaan makanan untuk mencegah hipoglikemia dan dehidrasi saat berpuasa
- Pemilihan jenis makanan yang tepat untuk mencegah hiperglikemia setelah setelah makan
- Waktu dan intensitas program aktivitas fisik
- Penggunaan obat diabetes serta risiko efek samping obat yang mungkin terjadi.
Manajemen untuk penderita diabetes tipe 1 saat berpuasa
Penderita diabetes tipe 1 merupakan kelompok dengan risiko sangat tinggi terjadi komplikasi bila berpuasa. Risiko ini akan bertambah terutama pada pasien yang tidak terkontrol dengan baik dengan akses yang terbatas kepada layanan kesehatan, ketidakawasan terhadap kondisi hipoglikemia, kontrol glikemi yang tidak stabil (turun naik), atau perawatan di rumah sakit yang berulang. Selain itu risiko juga bertambah pada pasien yang tidak bersedia atau tidak mampu melakukan monitor glukosa darah beberapa kali sehari.
Saat ini tatalaksana diabetes tipe 1 melipui kontrok glikemik secara ketat atau intensif. Terapi ini memerlukan injeksi insulin tiga kali atau lebih sehari atau menggunakan alat infus kontinu dengan menggunakan pompa insulin. Hal ini memerlukan pengawasan yang sering dengan perubahan atau penyesuaian dosis yang dilakukan secara sering. Hal ini sangat penting agar tercapai kontrol glikemik yang baik dan mencegah hiper- dan hipoglikemia.
Tidak sedikit pasien dengan diabetes tipe 1 yang memilih untuk berpuasa. Bagi pasien tersebut, umumnya akan merubah dosis insulin pada saat periode bulan puasa. Pemberian insulin basal merupakan protokol yang selama ini lebih dipilih. Hal ini disebabkan dipercayai lebih aman dengan episode hiper- dan hipoglikemia yang lebih jarang. Pemberian insulin basal ini disertai dengan insulin premeal atau sebelum makan sesuai dengan jumlah episode makan per hari.
Pemberian insulin secara terus-menerus subkutan dengan pompa insulin juga merupakan pilihan alternatif yang baik. Akan tetapi, biaya peralatan terutama pompa insulin sangat mahal sehingga lebih jarang dipilih sebagai cara terapi untuk pasien diabetes tipe 1.
Manajemen untuk penderita diabetes tipe 2 saat berpuasa
- Pasien yang terkontrol diet.
- Risiko berpuasa untuk keleompok pasien ini rendah
- Terdapat risiko hiperglikemia terutama saat waktu berbuka dan sahur oleh sebab itu disarankan membagi makanan menjadi 3 waktu makan yang lebih kecil
- Aktivitas fisik diatur waktunya, seperti dilakukan 2 jam setelah sahur
- Pasien dengan terapi obat oral
- Pilihannya disesuaikan sesuai individu
- Secara umum, obat yang menambah sesitivitas insulin memiliki risiko hipoglikemia yang lebih rendah dibandingkan kelompok sekretagog
- Metformin
- Pasien dengan terapi tunggal metformin aman untuk berpuasa karena kemungkinan hipoglikemia berat yang minimal
- Perlu diperhatikan untuk memodifikasi dosis dimana dua pertiga dosis harian diberikan saat berbuka dan sisanya sepertiga diminum saat sahur.
- Glitazone
- Thiazolidinedione atau glitazone (contoh pioglitazone) jika diberikan secara sendiri tidak menyebabkan hipoglikemia. Tetapi obat ini dapat memperkuat efek hipoglikemia dari sulfonilurea, insulin, dan glinid.
- Obat ini dapat menyebabkan peningkatan berat badan dan dilaporkan bisa meningkatkan nafsu makan
- Golongan obat ini sering dihubungkan dengan peningkatan frekuensi gejala gagal jantung. Namun, obat ini tidak memperberat perburukan kontraktilitas otot jantung melainkan lebih ke retensi natrium dan air.
- Hal lain yang penting adalah bahwa obat ini membutuhkan waktu 2-4 minggu untuk memberikan efek antihiperglikemi yang signifikan. Oleh sebab itu, penggantian obat sulit dilakukan selama periode puasa
- Sulfonilurea
- Banyak pendapat menyatakan bahwa obat ini tidak cocok digunakan selama puasa. Akan tetapi, hanya sedikit laporan mengenai kejadian hipoglikemia berat akibat sulfonilurea.
- Pengunaan obat sulfonilurea dengan masa paruh panjang seperti glyburide atau nama lainnya glibenclamide berhubungan dengan kejadian hipoglikemia yang tinggi sehingga sebaiknya tidak digunakan
- Penggunaan obat sulfonilurea generasi kedua seperti gliclazide, glimepiride, dan glipizide memiliki efek hipoglikemia yang relatif lebih sedikit
- Sampai saat ini belum ada data yang kuat untuk dapat memberikan evaluasi pemberian sulfonilurea pada penderita diabetes yang berpuasa. Namun, dikarenakan ketersediaan yang luas dan biaya relatif terjangkau, obat-oabatan ini masih dapat dikonsumsi selama puasa namun dipakai secara lebih hati-hati.
- Sekretagog insulin durasi pendek
- Termasuk ke dalam kelompok ini adalah repaglinide dan nateglinide
- Efeknya pendek sehingga dapat dipakai dua kali sehari saat sahur dan berbuka puasa
- Nateglinide memiliki durasi paling pendek sehingga memberikan risiko paling rendah terjadinya hipoglikemia dibandingkan obat sekretagog lainnya
- Terapi berbasis incretin
- Termasuk ke dalam kelompok ini adalah glucagon-like peptide-1 receptor agonists (GLP-1ras) exenatide dan liraglutide serta dipeptidylpeptidase-4 inhibitor (DPP- 4i) alogliptin, saxagliptin, sitagliptin, dan vildagliptin
- Golongan ini tidak menyebabkan hipoglikemia namun dapat memperkuat efek hipoglokemia dari obat golongan sulfonilurea, glinide, dan insulin.
- Exenatide dapat diberikan sebelum makan dan memberikan efek berkurangnya nafsu makan dan mencegah penaikan berat badan. Waktu paruh obat ini 2 jam sehingga kurang berefek pada kadar gula darah puasa
- Liraglutide diberikan sekali sehari tanpa perlu memerhatikan waktu makan dan lebih efektif dalam mengontrol kadar glukosa darah puasa.
- Kedua obat tersebut memerlukan periode titrasi selama periode 2-4 minggu dan sering menyebabkan mual hampir pada setengah pengguna terutama saat awal-awal penggunaan terapi
- DPP-4i salah satu obat terbaik dalam hal toleransi pasien terhadap terapi. Kurang efektif dalam hal menurunkan A1C dibandingkan GLP-ras. Obat ini salah satu obat penting pada periode Ramadhan terutama karena tidak memerlukan titrasai
- α-Glucosidase inhibitor
- Anggota kelompok obat ini adalah acarbose, miglitol, dan voglibose
- Mekanisme utama obat golongan ini adalah memperlama proses penyerapan glukosa dari saluran cerna
- Obat-obatan ini tidak menyebabkan kejadian hipoglikemia sehingga bermanfaat digunakan selama Ramadhan
- Tetapi, efeknya terhadap kontrol glikemik hanya sampai sedang dan tidak mempengatuhi kadar glukosa darah puasa sehingga biasanya dikombinasi dengan obat atau agen lain
- Efek samping yang sering ditemukan adalah gejala saluran cerna terutama buang angin.
- Pasien dengan insulin
- Masalah yang dihadapi sama antara penderita diabetes tipe 2 yang memakai insulin dengan penderita diabetes tipe 1 kecuali bahwa pada penderita diabetes tipe 2, kejadian hipoglikemia lebih sedikit.
Nama obat | Dosis harian (mg) | Keuntungan | Hati-hati | ||
---|---|---|---|---|---|
Sekratagog insulin | |||||
Sulfonilurea | |||||
Glipizide | 2,5-20 | Menurunkan A1C sampai 1-2%, respon awal yang tinggi, tidak ada jeda waktu sebelum respon, dosis sekali sehari, harga murah | Hipoglikemia, kenaikan berat badan, hati-hati pada pasien dengan gangguan hati dan ginjal serta alergi sulfa | ||
Glyburide | 1,25-20 | ||||
Glimepiride | 1-4 | ||||
Gliclazide | 40-320 | ||||
Gliclazide MR | 30-60 | ||||
Meglitinide | |||||
Repaglinide | 0,5-8 | Menurunkan A1C sampai 1-1,5%, durasi waktu paruh lebih pendek dari sulfonilurea | Hipoglikemia, kenaikan berat badan, diminum berkali-jaki (sebelum makan), lebih mahal dari sulfonilurea | ||
Nateglinide | 60-120 | ||||
a-Glucosidase inhibitor | |||||
Acarbose | 25-150 | Menurunkan A1C 0,5-0,8%, menurunkan glukosa post prandial tanpa risiko hipoglikemia, neutral pada kenaikan berat badan | Kurang efektif menurunkan kadar glikemia dibandingkan metformin atau sulfonilurea, menyebabkan flatulens, gejala saluran cerna | ||
Miglitol | |||||
Insulin sensitizer | |||||
Biguanide | |||||
Metformin | 500-2000 | Menurunkan A1C 1-2%, netral pada berat badan, respon awal tinggi, relatif aman, risiko rendah hipoglikemia, memperbaiki profil lipid, mengurangi risiko kejadian makrovaskuler, murah | Gejala saluran cerna waktu awal pemakaian, risiko asidosis laktat, tidak dapat digunakan pada pasien dengan gangguan hati dan/atau ginjal | ||
Thiazolidinedione | |||||
Pioglitazone | 15-45 | Menurunkan A1C 0,8-1,5%, risiko rendah hipoglikemia, memperbaiki profil lipid | Berat badan naik, retensi cairan karena edema perifer dan/atau gagal jantung, mahal, risiko osteopenia pada wanita post menopause | ||
Incretin agents | |||||
Dipeptidyl peptidase-4 inhibitor | |||||
Sitagliptin | 25-100 | Menurunkan A1C 0,6-1%, toleransi baik, menurunkan glukosa darah posprandial, netral terhadap berat badan | Lebih mahal dan kurang poten dibandingkan metformin dan sulfonilurea, beberapa obat memerlukan perubahan dosis jika terdapat penurunan fungsi ginjal | ||
Linagliptin | 5 | ||||
Saxagliptin | 2,5-5 | ||||
Alogliptin | 12,5-25 | ||||
Anagliptin | 200-400 | ||||
Teneligliptin | 20-40 | ||||
Glucagon-like peptide 1 agonist | |||||
Exenatide | 5-10 mcg dua kali sehari | Menurunkan A1C 0,8-2%, menurunkan kadar glukosa posprandial, penurunan berat badan, risiko hipoglikemia rendah, dapat menurunkan tekanan darah, memperbaiki profil lipid | Efek samping gejala saluran cerna tinggi, diinjeksi, mahal | ||
Liraglutide | 0,6-1,8 mg per hari | ||||
Exenatide ER | 2 mg per minggu | ||||
Dulaglutide | 0,75-1,5 mg per minggu | ||||
Albiglutide | 30 mg per minggu | ||||
Lixisenatide | 10 mcg per minggu | ||||
SGLT-2 inhibitors | |||||
Dapagliflozin | 5-10 mg per hari | Menurunkan tekanan darah 0,8-1,5%, risiko rendah hipoglikemia, menurunkan berat badan, menurunkan tekanan darah | Meningkatkan risiko infeksi saluran kemih, mahal, risiko dehidrasi | ||
Canagliflozin | 100-300 mg per hari |
Modifikasi Pengobatan Selama Ramadhan
Sebelum Ramadhan | Saat Ramadhan |
---|---|
Pasien dengan kontrol diet dan olahraga | Modifikasi waktu dan intensitas aktivitas fisik, pastikan kecukupan cairan |
Pasien dengan obat hipoglikemik oral | Pastikan kecukupan asupan cairan |
Biguanid, metformin 500 mg tiga kali sehari | Metformin, 1000 mg saat berbuka dan 500 mg saat sahur |
TZD, AGI, atau berbasis inkretin | Tidak perlu perubahan |
Sulfonilurea sekali sehari | Dosis diberikan pada waktu berbuka, penyesuaian dosis sesuai kontrol glikemik dan risiko hipoglikemia |
Sulfonilurea dua kali sehari | Dosis pada waktu sahur dikurangi menjadi setengahnya sedangkan dosis tetap pada saat waktu berbuka |
Insulin | Pastikan kecukupan asupan cairan |
Insulin premixed atau intermediet | Pertimbangkan untuk diganti menjadi insulin long acting atau menjadi insulin intermediet saat buka dan rapid acting saat sebelum makan; dosis biasa waktu berbuka dan setengah dosis saat sahur |
AGI, a-glucosidase inhibitor; TZD, thiazolidinedione |
Diabetes pada Kehamilan dan Puasa saat Ramadhan
Kondisi kehamilan akan menambah derajat resistensi insulin dan penurunan ekstraksi insulin oleh hati. Akibatnya adalah kadar glukosa darah puasa yang lebih rendah namun glukosa darah setelah makan yang lebih tinggi secara signifikan. Peningkatan kadar glukosa darah pada kehamilan bisa meningkatkan risiko kelainan janin.
Berpuasa saat hamil akan meningkatkan kemunkginan morbiditas dan mortalitas yang signifikan bagi ibu dan janin. Sebenarnya wanita hamil dapat diperbolehkan untuk tidak puasa walaupun sebagian kecil tetap bersikukuh untuk menjalani puasa. Pada kondisi ini terdapat risiko yang sangat tinggi sehingga memerlukan pengawasan dan terapi yang intensif.
Pengendalian Tekanan Darah dan Lipid
Dehidrasi akibat kekurangan cairan dapat menyebabkan hipotensi saat puasa. Pada kondisi ini, terkadang dosis obat antihipertensi harus disesuaikan. Obat-obatan jenis diuretik sebaiknya tidak diberikan pada saat bulan Ramadhan.
Untuk kontrol lipid, seringkali pada bulan Ramadhan pasien banyak mengonsumsi makanan yang kata akan karbohidrat dan lemak jenuh. Hal ini tentu dapat memperburuk kadar lipid darah. Konseling mengenai asupan makanan harus dilakukan dan pemberian terapi untuk mengontrol kolesterol dan triglsierida harus tetap dilanjutkan.
Kesimpulan
Puasa pada penderita diabetes dapat menimbulkan risiko terjadinya komplikasi. Secara umum penderita diabetes tipe 1 memiliki risiko yang sangat tinggu terutama yang belum terkontrol dengan baik sebelum puasa. Kondisi risiko juga dihadapi penderita diabetes tipe 2 namun dengan derajat yang lebih ringan dan tidak sesering penderita diabetes tipe 1. Keputusan untuk berpuasa harus dibuat setelah pasien mendapat penjelasan dan diskusi mengenai risiko yang akan dihadapi.
Penilaian sebelum puasa dan edukasi mengenai risiko, hal-hal yang harus diketahui dan dipersiapkan, serta mengenali tanda-tanda bahaya yang harus diperlukan untuk membatalkan puasa penting diberikan. Adapun persiapan terutama penyesuaian dosis juga harus dipersiapkan jauh-jauh hari sebelum dimulainya ibadah puasa Ramadhan.
Selain dalam artikel ini, tedapat video mengenai diabetes dan puasa yang bisa disimak di bawah ini:
Sumber
- Al-Arouj M, Assaad-Khalil S, Buse J, Fahdil I, Fahmy M, Hafez S, et al. Recommendations for management of diabetes during Ramadan: Update 2010. Diabetes Care. 2010;33(8):1895–902.
- Badshah A, Haider I, Humayun M. Management Of Diabetes In Ramadan. J Ayub Med Coll Abbottabad. 2018;30(4):596–602.
- Bender DA. Gluconeogenesis & the control of blood glucose. In: Murray RK, Bender DA, Botham KM, Kennelly PJ, Rodwell VW, Weil PA, editors. Harper’s illustrated biochemistry. 28th ed. New York: McGraw-Hill; 2009. p. 165–73.
- Botham KM. Oxidation of fatty acids: Ketogenesis. In: Murray RK, Bender DA, Botham KM, Kennelly PJ, Rodwell VW, Weil PAn, editors. Harper’s illustrated biochemistry. 28th ed. New York: McGraw-Hill; 2009. p. 184–92.
- Ibrahim M, Abu Al Magd M, Annabi FA, Assaad-Khalil S, Ba-Essa EM, Fahdil I, et al. Recommendations for management of diabetes during Ramadan: Update 2015. BMJ Open Diabetes Res Care. 2015;3(1):1–9.
- Raveendran A V., Zargar AH. Diabetes control during Ramadan fasting. Cleve Clin J Med. 2017;84(5):352–6.
Seorang dokter, saat ini sedang menjalani pendidikan dokter spesialis penyakit dalam FKUI. Peminat berbagai topik sejarah dan astronomi.