Hadiah Nobel Kedokteran 2020: Penemuan Virus Hepatitis C (HCV)

Cecep Suryani SoburHepatologi, Kedokteran Leave a Comment

Pada tahun 2020, hadiah Nobel kedokteran atau fisiologi dianugerahkan kepada tiga orang yaitu Harvey J. Alter, Michael Houghton, dan Charles M. Rice. Ketiganya berjasa atas penemuan virus hepatitis C atau HCV. Hepatitis merupakan penyakit peradangan atau inflamasi dari hati yang dapat disertai gejala penurunan nafsu makan, muntah, lemas, dan kuning atau jaundice. Hepatitis jika berlangsung lama (lebih dari 6 bulan) disebut hepatitis kronis. Hepatitis kronis ini menyebabkan kerusakan hati yang kemudian akan berprogresi menjadi sirosis dan kanker hati. Adapun penyebab terbanyak dari hepatitis adalah virus dimana banyak diantaranya berupa hepatitis kronis yang tidak bergejala dan persisten selama tahunan sampai muncul komplikasi yang mengancam nyawa yakni sirosis dan kanker hati.

Penerima hadiah Nobel kedokteran tahun 2020 yang terlibat dalam penemuan virus hepatitis C
Penerima hadiah Nobel kedokteran tahun 2020 yang terlibat dalam penemuan virus hepatitis C. Harvey J Alter, Michael haughton, dan Charles M Rice.

Introduksi

Sampai tahun 1960-an, transfusi atau paparan darah dari orang yang terinfeksi hepatitis virus kronis merupakan ancaman kesehatan yang besar. Risiko terjadinya hepatitis setelah operasi atau transfusi darah berulang dapat mencapai 30%. Hal ini dikarenakan waktu itu, pengetahuan mengenai penyakit menular dari darah masih minim. Risiko kejadian hepatitis ini berkurang sebagian setelah ditemukannya virus hepatitis B. Risiko penularan hepatitis B lewat transfusi darah dapat dieliminasi lewat pemeriksaan hepatitis B pada calon pendonor darah. Akan tetapi, kejadian hepatitis pasca transfusi masih tinggi. Terdapat bentuk lain dari hepatitis pasca transfusi dimana terdapat kondisi hepatitis fase akut yang ringan yang diikuti dengan risiko tinggi untuk progresi menjadi hepatitis kronis dan kanker. Tipe hepatitis pasca transfusi ini yang kemudian di kemudian hari diketahui sebagai hepatitis yang disebabkan virus hepatitis C (HCV).

Adalah berkat kerja penelitian dari Alter, Houghton, dan Rice dapat diidentifikasi bentuk hepatitis dengan entitas klinis yang berbeda yang disebabkan virus RNA famili Flavivirus yaitu virus hepatitis C (HCV). Temuan tersebut menjadi dasar bagi pengembangan metode skrining yang mengurangi secara signifikan risiko hepatitis pasca transfusi darah dan mengarah pada pengembangan obat antivirus yang efektif untuk hepatitis C yang tentu berpengaruh pada hidup jutaan orang.

Struktur dan genom dari virus hepatitis C (HCV)
Struktur dan genom dari virus hepatitis C (HCV)

Hepatitis: Ancaman Serius Kesehatan Manusia

Hepatitis telah dikenal sejak lama bahkan catatan mengenai penyakit hepatitis telah ada sejak tahun 400 SM yang dibuat oleh Hippocrates. Hippocrates mencatat perjalanan penyakit yang disebut “epidemic jaundice” atau wabah kuning. Dia mencatat: “Empedu yang terkumpul di hati penuh dengan lendir dan darah yang kemudian menyembur. Setelah menyembur, pasien kemudian menjadi gelisah, marah, dan bicara tidak karuan serta menggongong seperti anjing”.

Sekarang kita ketahui bahwa hepatitis disebabkan oleh banyak hal yang mempengaruhi fungsi dan integritas dari hati. Berdasarkan penyebabnya, penyakit hepatitis ini dapat dibagi menjadi penyakit infeksi, metabolik, iskemi, autoimun, genetik, atau toksik (racun). Hepatitis toksik ini banyak berkaitan salah satunya dengan ketergantungan alkohol. Hepatitis akibat agen infeksi dapat disebabkan oleh lima jenis virus baik tipe RNA atau DNA dan merupakan penyebab hepatitis paling umum di dunia.

Di tahun 1947 jauh sebelum penemuan agen infeksi penyebab hepatitis, seorah ahli hepatologi dari mengkasifikasikan hepatitis infeksi menjadi dua jenis yakni hepatitis A dan hepatitis B. Pembagian ini berdasarkan perbedaan gambaran klinis dan rute transmisi. Seperti saat ini kita ketahui, hepatitis infeksi atau epidemik disebabkan oleh virus RNA dari Picornaviridae (virus hepatitis A, HAV) atau Hepeviridae (virus hepatitits E, HEV). Penyakit hepatitis yang dua ini ditularkan melalui makanan dan air, memiliki masa inkubasi yang pendek, serta bermanifestasi sebagai penyakit akut yang biasanya dapat sembuh diikuti dengan munculnya imunitaas seumur hidup.

Adapun “hepatitis serum” disebabkan oleh virus DNA dari famili Hepadna (virus hepatitis B, HBV) dengan atau tanpa adanya koinfeksivirus RNA dari famili Deltaviridae (virus hepatitis D, HDV), atau virus RNA dari famili Flaviviridae (virus hepatitis C, HCV). Bentuk dari penyakit “hepatitis serum” ini merupakan penyakit yang menular melalui kontak dengan darah atau cairan tubuh lainnya dan memiliki masa inkubasi yang panjang dimana individu yang tampak sehat dapat menularkan penyakit ini. Pada sebagian orang penderita maka infeksi akan menjadi kronik dimana pada akhirnya akan menyebabkan gagal hati dan kanker.

Perbedaan jenis dari hepatitis virus menyumbang secara signifikan terhadap beban global dari penyakit hati. Menurut data dari WHO, jumlah kasus infeksi HAV pada tahun 2015 adalah 257 juta kasus sedangkan 257 juta orang hidup dengan infeksi HBV kronik. Adapun HCV menyebabkan hepatitis kronik pada 72 juta orang. Dikarenakan kemampuan HBV dan HCV menjadi penyakit hepatitis kronik, kedua virus ini menjadi penyebab iutama morbiditas dan mortalitas dengan kematian mencapai 1,34 juta kasus dilaporkan pada tahun 2015, meningkat 63% dari tahun 1990, khususnya disebabkan oleh virus hepatitis C. Jika dibandingkan dengan penyakit lain, cukup sebanding misalkan tuberkulosis yang menyebabkan 1,5 juta kematian tahun 2018 dan lebih besar dari kematian yang disebabkan oleh AIDS (690.000 kematian tahun 2019).

Adapun di Indonesia sendiri, hepatitis C juga merupakan masalah kesehatan yang penting. Penyakit ini merupakan virus penyebab sirosis kedua setelah hepatitis B. Adapun prevalensi virus hepatitis B di Indonesia diperkirakan sekitar 1,5-3,5% pada tahun 2005 (gambar di bawah).

Prevalensi global virus hepatitis C tahun 2005
Prevalensi global virus hepatitis C tahun 2005

Penemuan virus penyebab hepatitis ini merupakan salah satu capaian ilmiah di abad ke-20 yang penting dan berdampak luas. Identifikasi virus ini mewakili pencapaian penting dan merevolusi dunia kedokteran serta berpengararuh besar pada peningkatan kualitas hidup dari manusa. Melalui pengembangan teknologi baru saat ini sudah tersedia vaksinasi protektif terhadap HAV dan HBV. Selain itu dengan ditemukannya HBV dan HCV dimungkinkan diciptakannya metode skrining atau tapisan untuk mendeteksi kedua virus tersebut sehingga menghilangkan risiko penularan hepatitis lewat transfusi darah. Akhirnya, pengembangan obat termutakhir yang efektif terhadap HCV yakni direct acting antiviral (DAA), saat ini untuk pertama kalinya dalam sejarah kita melihat ancaman hepatitis C menurun secara drastis dan di masa depan kita berharap dapat dieliminasi.

Sejarah Penemuan Virus Hepatitis C (HCV)

Sebetulnya manusia sudah mengenal penyakit hepatitis sejak lama. Catatan tertulis pertama berupa arsip pada tablet tanah liat tentang penyakit kuning ditemukan di Sumeria yang berasal dari milenium ke-3 SM. Dalam catatan tersebut diterangkan bahwa penyebab sakit kuning adalah setan bernama Ahhazu yang merusak hati yang saat itu dipercayai merupakan tempat jiwa atau ruh bersemayam di tubuh manusia. Kemudian Hippocrates (460 – 375 SM) mencatat gambaran klinis pertama dari penyakit kuning epidemik termasuk jenis hepatitis fulminan dimana pasien meninggal dalam waktu 11 hari. Pengobatan yang direkomenasikan saat ini adalah diet dari madu dan air. Istikah icterus yang saat ini merupakan istilah kedokteran untuk kuning akibat penyakit hati pertama kali dikemukakan pada naskah yang ditulis oleh Hippocrates.

Penemuan Virus Hepatitis B

Saat meneliti kerentanan penyakit pada berbagai populasi manusia, Baruch Blumberg, seorang ahli genetika yang bekerja di National Institutes of Health (NIH) di Bethesda, Marykand, Amerika Serikat menemukan terdapat reaksi yang tidak biasa antara serum dari pasien hemofilia dengan riwayat transfusi rutin dengan serum dari pasien orang Aborigin Australia. Saat itu dia berpikir menemukan jenis lipoprotein yang baru. Segera setelah penemuan tersebut, Blumberg memperlihatkan bahwa terdapat antigen baru yang berasal dari pasien hemofilia dengan riwayat transfusi berulang. Antigen tersebut kemudian dikenal dengan nama “antigen Australia”.

Kamudian tahun 1967 terjadi peristiwa kebetulan dimana salah seorang teknisi lab di NIH membentuk antibodi terhadap antigen Australia setelah terkena penyakit kuning atau hepatitis. Atas kejadian tersebut, Blumberg kemudian mengemukakan bahwa antigen Australia mungkin berkaitan dengan virus hepatitis. Setelah itu diketahui bahwa ternyata antigen Australia yang terdapat pada pasien penderita hepatitis akibat transfusi darah merupakan bagian dari partikel virus hepatitis yang kemudian dikenal sebagai virus hepatitis B (HBV). Penemuan ini memungkinkan dibuatnya tes immunologis untuk mendeteksi virus hepatitis sekaligus mengembangkan vaksin terhadap virus hepatitis B ini.

Baruch Blumberg, penemu hepatitis B (HBV) dan penerima hadiah Nobel Kedokteran/Fisiologi tahun 1976
Baruch Blumberg, penemu hepatitis B (HBV) dan penerima hadiah Nobel Kedokteran/Fisiologi tahun 1976

Sebelum penemuan HBV ini, “hepatitis serum” merupakan ancaman kesehatan yang serius dengan besarnya risiko transmisi lebih dari 30% pada pasien yang menjalani prosedur bedah atau menerima transfusi produk darah yang terkontaminasi. Adanya tes serologis yang dapat mengidentifikasi pasien sehat dengan karier HBV serta mendeteksi darah yang terkontamiansi HBV dapat menurunkan secara signifikan kejadian hepatitis serum ini. Atas penemuan ini, Baruch Blumberg kemudian menerima hadiah Nobel bidang Kedokterean/Fisiologi tahun 1976. Walaupun demikian, setelah adanya temuan HBV ini ternyata kejadian hepatitis kronik akibat transfusi produk darah masih ada secara signifikan sehingga penelitian lebih lanjut perlu dilakukan.

Penemuan Virus Non-A, Non-B

Sebgai seorang dokter muda, Harvey J. Alter telah berkolaborasi dengan Baruch Blumberg, berkontribusi penting dalam penemuan antigen Au. Alter kemudian pindah ke Bank Darah NIH dimana dia meneruskan penelitiannya tentang hepatitis pasca transfusi, bidang yang ia geluti sepanjang kariernya. Di awal 1970-an, didorong oleh penemuan HBV, beberapa kelompok peneliti memulai studi tentang hubungan infeksi HBV dengan donor darah dan terjadinya hepatitis pasca transfusi. Segera kemudian diketahui bahwa dengan menyaring donor yang kedapatan memiliki hepatitis B ternyata hanya mengurangi kejadian hepatitis pasca transfusi sebesar 20%. Artinya 80% sisanya tidak berhubungan dengan infeksi hepatitis B.

Bentuk hepatitis baru “non-B” ini kemudian prevalensinya meningkat dan ternyata memiliki manifestasi klinis atau perjalanan penyakit yang berbeda dengan hepatitis B. Hepatitis B biasanya memiliki periode inkubasi panjang dan sering diikuti hepatitis akut yang berat. Adapun hepatitis serum “non-B” ini memiliki durasi inkubasi yang lebih pendek dan gejala hepatitis akut yang lebih ringan. Diantara pasien yang dipelajari oleh Alter salah satunya terobservasi pertama kali terjadi gejala ringan dari penyakit dan kemudian muncul kejadian hepatitis akibat HBV yang memiliki periode inkubasi yang panjang. Dari kasus ini, Alter berkesimpulan bahwa setidaknya terdapat dua virus berbeda yang menyebabkan hepatitis pasca transfusi.

Asumsi awal bahwa virus penyebab hepatitis A dalam kondisi tertentu dapat menyebabkan hepatitis serum kemudian ditinggalkan segera setelah ditemukannya virus hepatitis A. Tahun 1973, dua peneliti NIH, Stephen Feinstone dan Robert H. Purcell, yang baru saja berhasil mengembangkan teknik immune-electron microscopy, mendeteksi Picornavirus baru dari kotoran hewan marmoset dan pasien yang terkena wabah hepatitis A. Virus tersebut dapat tumbuh di biakan jaringan yang kemudian memungkinkan dikembangkannya secara cepat tes imunologis untuk deteksi antibodi spesifik HAV pada pasien yang terinfeksi serta dikembangkannya vaksin untuk hepatitis A. Alter setelah ini dapat memanfaatkan keuntungan koleksi sampel serum yang banyak dari pasien hepatitis non-B dan dengan berkolaborasi bersama Feinstone, Purcell, dan laiinya melaporkan tahun 1975 bahwa ada bagian signifikan dari kasus-kasus hepatitis non-B yang tidak disebabkan oleh HAV maupun virus lainnya yang saat itu diketahui.

Bukti epidemiologi lebih lanjut menunjukan bahwa agen putatif yang menyebabkan hepatitis yang belum bisa dijelaskan ini mirip dengan HBV dalam hal penularan namun lebih sering menyebabkan hepatitis kronik. Kemudian saat disepakati dengan adanya penamaan sementara yaitu hepatitis non-A, non-B (HNANB) untuk penyakit tersebut. Saat itu pula jelas diketahui bahwa ternyata HNANB ini menyebabkan hepatitis pasca transmisi dalam jumlah kasus yang besar apalagi pembawa penyakit ini banyak yang tidak memiliki gejala.

Pada tahun-tahun berikutnya, peneliti gagal membawa kemajuan signifikan pada penemuan penyebab dari HNANB ini. Tanpa adanya tes untuk deteksi HNANB pada darah serta alat untuk identifikasi agen penyebab kondisi ini, penyakit HNANB tetap menjadi ancaman serius untuk petugas kesehatan, pasien yang membutuhkan transfusi darah, dan pengguna obat narkotik intravena. Alter dan peneliti lain berhasil sebagian dalam menangani masalah ini pada akhir tahun 1970-an melalui dikembangkannya model primata dari infeksi. Tim peneliti memperlihatkan bahwa serum dari pasien dengan HNANB akut atau kronik dapat menularkan penyakit hepatitis ke simpanse, spesies hewan non-manusia satu-satunya yang dapat terinfeksi HNANB. Adanya model binatang dari penyakit ini memungkinkan adanya alat untuk mengidentifikasi perubahan morfologi yang berkaitan dengan infeksi pada sel hati atau hepatosit dan membuka kemungkinan untuk dapat mengidentifikasi virus penyebab HNANB dengan cara virologi klasik. Dengan menentukan besarnya titer infektivitas dari plasma yang membawa virus serta memungkinkannya pemberian berbagai terapi pada plasma tersebut, Alther, bersama dengan Purcell, menegaskan bahwa virus HNANB mengandung lipid esensial, ciri yang dipunyai semua bungus partikel virus, dan memiliki diameter sekitar 30 sampai 60 nm. Alter menjadi pionir bidang penelitian mengenai bentuk klinis penyakit hepatitis pasca transmisi yang disebarkan oleh virus yang saat itu masih menjadi misteri.

Hasil pemeriksaan AST dan ALT dari simpanse yang diinokulasi serum pasien hepatitis non-A non-B (HNANB)
Hasil pemeriksaan AST dan ALT dari simpanse yang diinokulasi serum pasien hepatitis non-A non-B (HNANB)

Virus Baru

Walaupun adanya perkembangan yang signifikan, identifikasi virus penyebab HNANB tetap sulit dicapai. Penelitian tanpa hasil dengan menggunakan metode tradisional yang dilakukan pada penemuan HAV dan HBV tetap berlangsung selama lebih dari 10 tahun. Michael Houghton, yang bekerja saat itu di Chiron Corporation, memulai pencariannya akan virus HNANB pada tahun 1982 dengan menggunakan pendekatan molekuler berdasarkan pencarian fragmen DNA, yang juga dikenal sebagai pustaka DNA komplementer (cDNA, complementary DNA) yang diisolasi dari simpanse yang terinfeksi. Penapisan awal mengidentifikasi hanya materi genetik dari inang. Upaya untuk memperkaya sekuens virus dengan mengeliminasi sekuens inang yang juga didapat pada kontrol hati yang tidak terinfeksi juga tidak membawa hasil. Houghton, yang saat itu bekerja dengan Qui-Lim Choo dan George Kuo, memutuskan untuk mencoba metode penapisan imun yang baru. Pustaka cDNA dibuat dari RNA yang diisolasi dari plasma simpanse yang terinfeksi HNANB dan pustakan ini kemudian ditransfer ke bakteri menggunakan sistem bakteriophage lamda yang memiliki efisiensi tinggi.

Ekspresi antigen virus saat itu kemudian diinvestigasi dengan menggunakan serum dari pasien yang mengalami HNANB fulminan yang diyakini mengandung antobodi terhadap virus yang tidak diketahui ini. Penapisan satu juta koloni bakteri dengan menggunakan metode ini berhasil mengidentifikasi satu koloni yang tidak mengandung sekuens DNA manusia atau simpanse. Ini adalah sinyal yang selama ini dicari. Sekuens DNA ini, dinamakan klon 5-1-1, dihibridisasi ke sebuah RNA dengan ukuran sekitar 10.000 nukleotida. RNA ini mengkodekan sebuah large open reading frame (ORF) yang berukuran besar dan menunjukan homologi yang jauh dengan genome virus-virus RNA yang saat itu diketahui. Protein dapat ditranslasikan dari molekul RNA itu sendiri mengindikasikan bahwa virus memiliki genom dengan strand RNA yang positif. Hal ini memungkinkan klasifikasi dari virus yang kemudian dinamakan virus hepatitis C (HCV), sebagai anggota baru dari famili Flaviridae. Eksperimen lanjutan memperlihatkan pula bahwa sekuens virus yang baru mengkodekan protein yang bereaksi dengan serum dari salah satu simpanse yang terinfeksi HNANB tapi tidak dengan serum kontrol dari hewan yang terinfeksi HAV dan HBV.

Mengikuti identifikasi dari virus, tim Houghton kemudian dengan cepat mengembangkan metode immunoassay untuk mendeteksi antibodi spesifik HCV dan memperlihatkan keberadaan antibodi ini di darah donor yang telah menularkan penyakit ini ke 10 resipien yang berbeda dan juga di pasien-pasien HNANB baik di Italia, Jepang, dan Amerika Serikat. Penemuan ini semakin memperlihatkan hubungan yang kuat infeksi dengan virus HCV yang baru ditemukan dan kemunculan HNANB di seluruh dunia.

Pemeriksaaan iminoblot serum terhadap ORF 5-1-1 secara serial terhadap simpanse yang terinfeksi HNANB, HAV dan HBV
Pemeriksaaan iminoblot serum terhadap ORF 5-1-1 secara serial terhadap simpanse yang terinfeksi HNANB, HAV dan HBV. Tampak bahwa imunoblot ORF 5-1-1 hanya reaktif pada serum dengan infeksin HNANB.

Bukti Final

Hasil dari penelitian Alter dan Houghton menjembatani hubungan kritis antara HNANB dengan infeksi HCV Tetapi, hal ini tidak dapat menggantikan bukti definitif dari penyebab karena transmisi penyakit dari transfusi darah yang terinfeksi tidak mengeksklusi keterlibatan kofaktor yang penting. Untuk mendemonstrasikan kausalitas secara pasti, isolasi dari virus yang mampu menyebabkan ciri klinis yang khas untuk penyakit, termasuk kerusakan hati kronis dan persisten dari infeksi virus pada darah dari inang yang terinfeksi sangat dibutuhkan. Langkah pertama untuk mencapai tujuan ini dibuat saat kelompok dari Kunitada Shimotohno, bekerja di institut nasional penelitian kanker di Tokyo dan Charles Rice, bekerja di Washington University di St Louis, secara berdekatan berhasil mengidentifikasi region non koding terkonservasi di ujung 3′ dari genom RNA HCV, yang diperkirakan dapat memiliki peranan penting pada replikasi virus.

Rice mengkonstruksi genom virus RNA yang mengandung region 3′ terkonservasi, menginejksikan virus tersebut ke hati simpanse dan ingin mencari tanda replikasi HCV tapi gagal mendapat bukti adanya produksi virus yang baru di darah. Dia kemudian mengambil langkah penting selanjutnya. Dengan mengetahui bahwa replikasi virus RNA rentan error dan bahwa banyak sekuens virus membawa mutasi yang fatal, dia kemudian merancang satu set genom RNA yang terdiri dari baik regio 3′ terkonservasi dan sekuens konsensus yang mengeksklusi mutasi yang berpotensi menginaktivasi virus. Rice kemudian menginjeksikan RNA tersebut ke hati simpanse dan kali ini eksperimen tersebut berhasil. Infeksi produktif berhasil dibuat, hewan percobaan kemudian memperlihatkan tanda dan gejala klinis dari hepatitis, dan infeksi virus kemudian ditemukan di darah beberapa bulan kemudian. HCV RNA serupa lainnya kemudian dilaporkan oleh Jens Bukh yang juga memperlihatkan kemampuan untuk menciptakan infeksi produktif. Penelitian yang dilakukan oleh Rice memberi bukti konklusif dan final bahwa HCV menyebabkan hepatitis, menyebabkan stimulasi respons antibodi spesifik jangka panjang yang semuanya juga terdapat pada infeksi manusia.

Pengukuran enzim hati dan viremia dua simpanse yang diinokulasi konsensus sekuens HCV RNA
Pengukuran enzim hati dan viremia dua simpanse yang diinokulasi konsensus sekuens HCV RNA

Terapi Antivirus Baru

Dengan penemuan HCV ini, membuka jalan untuk pengembangan obat antivirus yang efektif. Walaupun memberi dampak infeksi di primata, klon virus HCV yang diperoleh oleh Rice memiliki kapasitas replikasi yang buruk di media biakan sel sehingga menghambat studi in vitro dari siklus replikasi virus dan pengetesan obat-obatan antivirus. Hambatan ini diatasi berkat kartya dari Ralph Bartenschlager di University of Heidelberg, Jerman. Bartenschlager menyusun klon subgenomik HCV yang memiliki efisiensi replikasi yang tinggi pada galur biakan sel hepatoma. Pengembangan lebih lanjut dari teknologi serta identifikasi isolat virus yang dapat bereplikasi di cawan petri tanpa mutasi adaptif menghasilkan replikon sub genomik yang saat menginfeksi sel hepatoma dapat mengekuarkan partikel virus yang juga infeksius.

Hambatan kedua terbesar pada penelitian HCV adalah selektivitas yang luar biasa dimana virus ini hanya dapat menginfeksi manusia dan simpanse sehingga menyebabkan sedikitnya model hewan coba yang dapat digunakan untuk penilaian tepat dari profil penyakit baik secara patologi maupun gambaran imunohistologis dari penyakit hepatitis kronis. Kita ketahui bahwa penggunaan hewan coba sangat terbatas terutama apabila melibatkan hewan coba seperti simpanse. Akan tetapi, pada akhirnya progres dapat dibuat dengan membuat hewan coba dari mencit yang memiliki kekurangan sel B dan sel T serta severe combined immunodeficiency (SCID). Pada mencit tersebut dapat ditransplantasikans el hewan manusia sehingga akhirnya dapat dibuat mencit sebagai model hewan coba untuk penyakit hepatitis C kronik.

Dengan adanya sistem replikasi in vitro yang efisiensi ini, dapat memajukan penelitian pencarian obat antivirus yang efektif terhadap penyakit hepatitis C kronik. Penemuan pertama adalah regimen terapi dengan interferon tipe I (IFN) yang dikombinasi dengana ntivirus analog nukleosida ribavirin. Walaupun demikian, terapi ini memiliki tingkat kegagalan terapi yang besar dengan profil efek samping yang cukup berat. Beberapa pengembangan pada akhir 1990-an dengan introduksi peg-IFN mampu memperbesar kesembuhan terapi berbasis interferon ini. Penemuan inhibitor dari protease NS2/NS4A seperti beceprevir, teleprevir, dan simeprevir yang digabungkan dengan terapi peg-IFN serta ribavirin kemudian semakin menambah besar kemungkinan keberhasilan terapi hepatitis C kronik ini.

Pada akhirnya, ditemukannya obat yang secara spesifik menghambar RNA dependent RNA polymerase virus NS5B seperti sofosbuvir serta penghambar protein regulator dari virus NS5A seperti ledispavir menjadi penemuan penting dari terapi hepatitis C. Saat ini, kombinasi obat-obatan yang menargetkan protein virus yang penting dalam replikasi yang disebut sebagai directly acting antivirals (DAAs), terbukti sangat efektif dalam pengobatan hepatitis C kronik dengan efek samping pengobatan yang sangat minimal. Akhirnya, saat ini, hepatitis C kronik bukan lagi merupakan penyakit kronik yang sulit disembuhkan malah sebaliknya, dapat disembuhkan dengan tingkat kesembuhan yang tinggi.

Kesimpulan

Berkat kerja penelitian dari Alter, Houghton, dan Rice serta banyak koleha lainnya, kita telah mendapatkan cara tes dengan tingkat akurasi tinggi untuk deteksi virus hepatitis C serta obat yang efektif terhadap penyakit hepatitis C kronik ini. Hepatitis C kronik saat ini merupakan penyakit yang dapat disembuhkan dengan dengan efektivitas kesembuhan lebih dari 95%. Hal ini tentu sangat menggembirakan karena ratusan juta orang penderita hepatitis C di seluruh dunia dapat bebas dari dampak buruk hepatitis C khususnya sirosis dan kanker.Namun tentu, saat ini sayangnya tidak semua penderita dapat diberikan terapi DAA ini. Harga yang tinggi serta suplai obat yang terbatas masih menjadi hambatan agar terapi hepatitis C dapat diberikan ke semua penderita tanpa batasan.

Rangkuman peranan masing-masing pemenang hadiah Nobel dalam penemuan HCV

Referensi

  1. Advanced information. NobelPrize.org. Nobel Prize Outreach AB 2021. Sat. 11 Sep 2021. https://www.nobelprize.org/prizes/medicine/2020/advanced-information/
  2. Blum HE. History and Global Burden of Viral Hepatitis. Dig Dis. 2016;34(4):293–302.
  3. Trepo C. A brief history of hepatitis milestones. Liver Int. 2014 Feb;34(SUPPL1):29–37.

Tinggalkan Balasan