Patogenesis dan Patofisiologi SLE (Systemic Lupus Erythematosis)

Cecep Suryani SoburAlergi-Imunologi, Kedokteran, Rheumatologi 6 Comments

Memahami patogenesis SLE dan patofisiologi SLE penting agar penatalaksanaan penyakit ini dapat berlangsung dengan baik. Seperti kita ketahui SLE atau systemic lupus erythematosus adalah penyakit autoimun yang dicirikan dengan hilangnya toleransi sistem imun terhadap komponen self antigen akibat autoantibodi yang merusak jaringan atau organ tubuh. Autoantibodi dalam tubuh dapat dideteksi salah satunya dengan tes ANA (antinuclear antibody). Pada artikel kali ini, kita akan membahas mekanisme patogenesis dan patofisiologi dari penyakit lupus ini.

Etiologi SLE

Hal yang kentara terjadi pada lupus adalah hilangnya toleransi sistem imunitas terhadap tubuh diri sendiri atau self-antigen. Proses ini tidak terjadi begitu saja dan melibatkan berbagai macam faktor mulai dari lingkungan, genetik, hormonal, dan imunologis.

Bagan penjelasan berbagai macam faktor yang berperan dalam etiologi penyakit lupus atau SLE
Bagan penjelasan berbagai macam faktor yang berperan dalam etiologi penyakit lupus atau SLE

Faktor Genetik dan Epigenetik

Patogenesis SLE berkaitan dengan faktor genetik. Terdapat data bahwa saudara kembar identik yang menderita SLE memiliki risiko untuk menderita penyakit yang sama sampai 30-40 kali lipat. Hal ini menandakan bahwa genetik membawa peranan penting dalam patogenesis atau proses terjadinya SLE. Beberapa gen yang berhubungan dengan SLE yang telah ditemukan adalah sebagai berikut:

  • Gen yang berhubungan respon imun dan inflamasi (HLA-DR, PTPN22, STAT4, IRF5, BLK, OX40L, FCGR2A, BANK1, SPP1, IRAK1, TNFAIP3, C2, C4, CIq, PXK). Gen seperti CIq menyebabkan defisiensi dari komplemen.
  • Gen yang berhubungan dengan repair DNA (TREX1)
  • Gen yang berkaitan dengan adherensi sel imun ke endotel (ITGAM)
  • Gen yang berkaitan dengan respon terhadap kerusakan sel (KLK1, KLK3)

Beberapa gen juga berkaitan dengan beratnya penyakit SLE. Misalnya gen STAT4 yang juga merupakan faktor risiko rheumatoid arthritis dan SLE berkaitan dengan penyakit SLE yang berat.

Faktor epigenetik juga berperan dalam proses terbentuknya SLE. Terkait dengan mekanisme epigenetik ini dijelaskan dengan fakta bahwa terdapat perbedaan bentuk SLE yang terjadi pada kembar identik. Perbedaan yang terjadi tidak dapat dijelaskan oleh hanya faktor geentik saja namun juga melibatkan mekanisme epigenetik.

Mekanime epigenetik ini berupa perubahan ekspresi gen selain dari akibat proses perubahan sekuens dari DNA. Perubahan ini dapat berupa metilasi dari DNA atau modifikasi pos-translasional dari histon baik yang diturunkan maupun yang disebabkan oleh lingkungan.

Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan berperan sebagai pencetus terjadinya penyakit lupus. Faktor geenetik yang dibawa individu belum tentu berkembang menjadi penyakit lupus apabila tidak dicetuskan oleh faktor lingkungan. Beberapa faktor lingkungan yang berkaitan dengan lupus adalah sina rultraviolet, obat demetilasi, serta infeksi virus.

Sinar ultraviolet adalah faktor yang jelas memicu lupus. Pada penderita lupus pun, sinar ultraviolet menjadi faktor pemicu eksaserbasi atau flare dari penyakit lupus. Sedangkan virus yang teridentifikasi adalah virus Epstein-Barr (EBV). EBV menginfeksi sel B dan berinteraksi serta mempromosikan sel dendritik plasmasitoid mengeluarkan interferon-α (IFN-α).

Beberapa obat dapat menginduksi pengeluaran autoantibodi pada sejumlah pasien. Untungnya tidak semua pasien tersebut kemudian berkembang menjadi penyakit autoimun. Teridentifikasi lebih dari 100 obat yang dapat menyebabkan drug-induced lupus (DIL).

Sebenarnya patogenesis dari DIL kurang dimengerti namun predisposisi genetik berperan pada beberapa kasus terutama obat yang dimetabolisme dengan mekanisme asetilasi seperti procainamide dan hydralazine dengan DIL kemungkinan besar terjadi pada individu dengan metabolisme slow acetylator. Obat-obat ini mungkin merubah ekspresi gen dari sel CD4 dengan menghambat metilasi DNA dan menginduksi over-expression dari antigen LFA-1 sehingga mempromosikan autoreaktivitas.

Faktor Hormonal

Pada model penyakit lupus pada mencit, penambahan estrogen atau prolaktin dapat menimbulkan fenoitp autoimun dengan peningkatan sel B autoreaktif matur yang memiliki afinitas yang tinggi. Di penelitian Nurses’ Health Study ditemukan bahawa ada hubungan berupa sedikit peningkatan risiko terjadinya lupus pada individu yang menggunakan kontrasepsi oral (risiko relatif 1,9 dibandingkan individu yang tidak pernah menggunakan kontrasepsi ora). Namun, walaupun jelas bahwa faktor hormonal dapat mempengaruhi perkembangan penyakit autoimun, namun penggunaan kontrasepsi oral tidak meningkatkan terjadinya flare pada wanita dengan penyakit yang stabil.

Kehamilan pada beberapa kasus dapat mencetuskan terjadinya flare pada penderita lupus. Tetapi, hal ini tidak dikaitkan dengan peningkatan estradiol atau progesteron karena kadar kedua hormon ini menurun pada trimester kedua dan ketiga pada pasien SLE dibandingkan wanita hamil yang sehat.

Faktor Imunologi

Disamping peran APC yang berfungsi sebagai cabang dari proses imunitas adaptif pada SLE, ternyata innate immunity juga berperan dalam proses kejadian penyakit lupus. Hal ini berkaitan dengan aktivasi sel plasmablas melalui mekanisme ekstrafolikuler.

Tipe sel dendritik yaitu sel dendritik plasmasitoid dapat memproduksi IFN-α dengan keberadaan antigen dari sisa apoptosis. Interferon ini akan mendorong plasmablas memproduksi autoantibodi. Autoantibodi yang terbentuk ini ternyata dapat berikatan dengan BCR dan TLR yang akan semakin meningkatkan maturasi sel limfosit B. Jadi, selain dengan melalui T helper aktivasi sel B juga dibantu dengan keberadaan autoantibodi yang didorong oleh sel dendritik.

Patogenesis SLE

Sebelumnya disebutkan bahwa terjadinya SLE merupakan hasil dari interaksi berbagai jenis faktor dengan faktor lingkungan sebagai pencetus. Oleh sebab itu, proses terjadinya SLE atau rentetan patogenesis dimulai dengan paparan faktor lingkungan seperti sinar ultraviolet terhadap sel tubuh. Sinar ultraviolet dapat memicu kerusakan sel terutama DNA. Sel-sel yang tidak dapat memperbaiki kerusakan tersebut akhirnya melakukan apoptosis atau kematian sel terprogram.

Akibat apoptosis adalah terpaparnya bagian sel atau antigen ke lingkungan tubuh atau milieu interseluler. Sejatinya pada individu normal, antigen dari proses apoptosis ini dapat secara cepat dibersihkan baik oleh sel makrofag dan dibantu dengan komplemen.

Apoptosis dan Aktivasi APC

Pada individu dengan gen yang berisiko menjadi SLE, proses pembersihan apoptosis ini tidak berjalan dengan sempurna. Baik karena makrofag tidak mampu secara cepat membersihkan hasil apoptosis ataupun akibat defisiensi atau kekurangan komplemen. Akibatnya, antigen sel tubuh bertahan lebih lama. Hal ini bisa dikenali oleh sen antigen presenting cell seperti sel dendritik. Sel dendritik kemudian memproses antigen ini dan menjadi teraktivasi untuk membawa antigen tersebut ke kelenjar getah bening regional.

Meningkatnya sisa produk apoptosis ini juga dapat memicu makrofag mengeluarkan sitokin berupa IFN-α. IFN-α ini dapat mempercepat proses maturasi sel dendritik sehingga pengenalan antigen dari apoptosis berlangsung lebih cepat. Proses aktivasi APC tersebut dapat disimak pada bagan di bawah ini:

Bagan yang menjelaskan aktivasi APC oleh sisa apoptosis pada individu dengan risiko genetik SLE
Bagan yang menjelaskan aktivasi APC oleh sisa apoptosis pada individu dengan risiko genetik SLE

Aktivasi Sel T Helper oleh APC

Ketika sel APC masuk ke kelenjar getah bening, maka sel APC akan bereaksi dengan sel limfosit T helper atau CD4. Proses ini akan membuat sel T helper menjadi matur dan aktif. Sel T helper ini kemudian akan mengaktifasi sel B dengan bantuan CD40 dan IL-21. Sel B ini kemudian akan aktif berproliferasai menjadi sel B memori yang akan mengingat antigen seumur hidup atau menjadi sel plasma. Sel plasma ini yang kemudian akan memproduksi autoantibodi yang pada gilirannya akan bereaksi dengan antigen tubuh dan menimbulkan kerusakan. Proses aktivasi tersebut dapat disimak pada bagain di bawah ini:

Gambar yang menjelaskan aktivasi sel B yang didahului aktivasi T helper oleh APC
Setelah APC masuk ke KGB, APC akan mengaktivasi sel CD4 imatur menjadi sel T helper yang matur. Sel T helper dengan MHC class II dan CD40 serta IL-21 akan mengaktivasi sel B. Sel B yang teraktivasai akan mengekspresikan BCR dan berubah menjadi sel T memori atau menjadi sel plasma. Sel plasma kemudian akan memproduksi autoantibodi yang kemudian menyerang antibodi tubuh penderita sehingga muncul gejala SLE

Patofisiologi SLE

Autoantibodi yang diproduksi oleh sel plasma akan beredar dalam darah dan mulai menyerang antigen tubuh penderita. Autoantibodi yang menangkap antigen yang beredar dalam darah, hasil apopotsis, juga akan membentuk kompleks antigen-antobodi. Autoantibodi ini akan mengaktivasi sistem inflamasi sehingga kemudian akan menyebabkan kerusakan organ yang ditagetkannya.

Kerusakan organ dan sel yang terjadi akan semakin menambah dilepaskannya antigen ke dalam darah. Antigen yang beredar ini akan menginduksi sel B memori dan kemudian dengan cepat membelah dan membentuk lebih banyak sel plasma. Sel plasma ini kemudian akan memproduksi lebih banyak lagi autoantibodi sehingga reaksi peradangan dan gejala SLE semakin berat.

Adakalanya ketika SLE sudah mereda, kerusakan yang dipicu misalkan terkena sinar matahari atau terkena infeksi virus akan menyebabkan apoptosis baru. Apoptosis ini kemudian membangunkan kembali sel B memori dan timbulah flare atau kekambuhan dari penyakit lupus atau SLE.

Proses patofisiologi SLE
Berkembangnya gejala SLE karena produksi autoantibodi.

Kesimpulan

Penyakit lupus atau SLE melibatkan proses dengan banyak faktor yang terlibat. Proses yang paling utama adalah terbentuknya autoantibodi sebagai proses pematangan sel B. Proses ini dimulai dengan faktor lingkungan yang menimbulkan kerusakan jaringan dan memulai proses autoreaktivitas yang kemudian bermanifestasi sebagai penyakit lupus atau SLE. Adapun gejala kerusakan pada SLE terjadi akibat reaksi peradangan yang diperantarai oleh autoantibodi. Selain artikel ini, di bawah ini adalah video mengenai patogenesis dan patofisiologi dari SLE:

Comments 6

    1. Post
      Author
    1. Post
      Author
  1. Term kasha dok atas informasinya, sangat membanttu sekali sebagai referensi dalam pengerjaan tugas kuliahh saya 🙂

    1. Post
      Author

Tinggalkan Balasan