Saat ini kita sedang dilanda merebaknya Covid-19. Sayangnya, sampai saat ini belum ada terapi spesifik yang cukup ampuh dan terapi lebih ditujukan untuk menunjang proses kesembuhan oleh tubuh sendiri atau istilahnya terapi suportif. Walaupun demikian, bukan berarti terapi suportif ini tidak bermanfaat. Terapi suportif ini sangat membantu dan sudah diteliti serta dibakukan dalam tatalaksana Covid-19 baik dari badan internasional maupun dari perkumpulan dokter ahli di Indonesia. Berikut akan dikemukakan langkah-langkah tatalaksana Covid-19 yang ada di Indonesia.
Daftar Isi
Etiologi Covid-19: Virus SARS-CoV-2
Covid-19 merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2. Untuk penjelasan mengenai virus ini berserta patofisiologi virus tersebut menyebabkan Covid-19, dapat disimak di artikel di tautan ini.
Definisi Operasional Kasus Covid-19
Dalam tatalaksana kasus Covid-19, kita membagi pasien ke dalam beberapa kelompok yaitu kasus suspek, kasus probable, kasus konfirmasi, dan kontak erat. Adapun kriteria untuk masing-masing kelompok tersebut adalah sebagai berikut:
Kasus Suspek Covid-19
Seseorang masuk ke dalam kelompok ini apabila memiliki salah satu dari kriteria berikut:
- Seseorang yang memenuhi salah satu kriteria klinis DAN kriteria epidemiologis.
- Adapun kriteria klinis meliputi:
- Demam akut (≥38°C)/riwayat demam* dan batuk; ATAU
- Terdapat 3 atau lebih gejala/tanda akut berikut: demam/riwayat demam*, batuk, kelelahan (fatigue), sakit kepala, myalgia, nyeri tenggorokan, coryza/ pilek/ hidung tersumbat,* sesak napas, anoreksia/ mual/ munta,* diare, penurunan kesadaran
- Sedangkan kriteria epidemiologis meliputi:
- Pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat tinggal atau bekerja di tempat berisiko tinggi penularan;** ATAU
- Pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat tinggal atau bepergian di negara/ wilayah Indonesia yang melaporkan transmisi lokal;*** ATAU
- Adapun kriteria klinis meliputi:
- Seseorang dengan ISPA berat,****
- Seseorang tanpa gejala (asimtomatik) yang tidak memenuhi kriteria epidemiologis dengan hasil rapid antigen SARS-CoV-2 positif****
Kasus Probable Covid-19
Yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah seseorang yang memiliki salah satu dari kriteria berikut:
- Seseorang yang memenuhi kriteria klinis DAN memiliki riwayat kontak erat dengan kasus probable; ATAU terkonfirmasi; ATAU berkaitan dengan cluster COVID- 19*****
- Kasus suspek dengan gambaran radiologis sugestif ke arah COVID-19******
- Seseorang dengan gejala akut anosmia (hilangnya kemampuan indra penciuman) atau ageusia (hilangnya kemampuan indra perasa) dengan tidak ada penyebab lain yang dapat diidentifikasi
- Orang dewasa yang meninggal dengan distres pernapasan DAN memiliki riwayat kontak erat dengan kasus probable atau terkonfirmasi, atau berkaitan dengan cluster COVID-19*****
Kasus Konfirmasi Covid-19
Seseorang dikatakan kasus positif atau konfirmasi Covid-19 dengan kriteria sebagai berikut:
- Seseorang dengan hasil RT-PCR positif
- Seseorang dengan hasil rapid antigen SARS-CoV-2 positif DAN memenuhi kriteria definisi kasus probable ATAU kasus suspek
- Seseorang tanpa gejala (asimtomatik) dengan hasil rapid antigen SARS-CoV-2 positif DAN memiliki riwayat kontak erat dengan kasus probable ATAU terkonfirmasi.
Adapun kasus konfirmasi Covid-19 terbagi menjadi dua yaitu
- Kasus konfirmasi dengan gejala (simtomatik)
- Kasus konfirmasi tanpa gejala (asimtomatik)
Kontak Erat
Yang dimaksud dengan kontak erat adalah orang yang memiliki riwayat kontak dengan kasus probable atau konfirmasi Covid-19. Riwayat kontak yang dimaksud antara lain:
- Kontak tatap muka/berdekatan dengan kasus probable atau kasus konfirmasi dalam radius 1 meter dan dalam jangka waktu 15 menit atau lebih.
- Sentuhan fisik langsung dengan kasus probable atau konfirmasi (seperti bersalaman, berpegangan tangan, dan lain-lain)
- Orang yang memberikan perawatan langsung terhadap kasus probable atau konfirmasi tanpa menggunakan APD yang sesuai standar
- Situasi lainnya yang mengindikasikan adanya kontak berdasarkan penilaian risiko lokal yang ditetapkan oleh tim penyelidikan epidemiologi setempat
Catatan
* Gejala/ tanda yang dipisahkan dengan garis miring (/) dihitung sebagai satu tanda/gejala.
** Risiko tinggi penularan:
- Ada indikasi penularan/tidak jelas ada atau tidaknya penularan pada tempat tersebut.
- berada dalam suatu tempat pada waktu tertentu dalam kondisi berdekatan secara jarak (contohnya lapas, rutan, tempat pengungsian, dan lain-lain)
Pertimbangan ini dilakukan berdasarkan penilaian risiko lokal oleh dinas kesehatan setempat.
***Negara/wilayah transmisi lokal adalah negara/wilayah yang melaporkan adanya kasus konfirmasi yang sumber penularannya berasal dari wilayah yang melaporkan kasus tersebut. Negara transmisi lokal merupakan negara yang termasuk dalam klasifikasi kasus klaster dan transmisi komunitas, dapat dilihat melalui situs https://www.who.int/emergencies/diseases/ novel-coronavirus-2019 /situation-reports Wilayah transmisi lokal di Indonesia dapat dilihat melalui situs https://infeksiemerging.kemkes.go.id.
**** ISPA Berat yaitu Demam akut (≥38°C)/riwayat demam, dan batuk, dan tidak lebih dari 10 hari sejak onset, dan membutuhkan perawatan rumah sakit.
**** Perlu dikonfirmasi dengan pemeriksaan RT-PCR. Rekomendasi WHO terkait pemeriksaan rapid antigen SARS-CoV-2: (1) Memiliki sensitivitas > 80% dan spesifisitas > 97% jika dibandingkan dengan RT-PCR; (2) Hanya digunakan dalam kondisi RT-PCR tidak tersedia atau membutuhkan hasil diagnosis yang cepat berdasarkan pertimbangan klinis; dan (3) hanya dilakukan oleh petugas terlatih dalam 5-7 hari pertama onset gejala.
***** Cluster COVID-19 didefinisikan sebagai sekumpulan individu bergejala (memenuhi kriteria klinis A & B kasus suspek) dilihat dari aspek waktu, tempat, dan paparan yang sama.
- Paparan terhadap minimal 1 orang yang terkonfirmasi positif dengan RT-PCR
- Paparan terhadap minimal 2 orang bergejala dengan hasil rapid antigen SARS-CoV- 2 positif
****** Gambaran radiologis yang sugestif ke arah COVID-19:
- X-ray toraks: hazy opacities yang terdistribusi di bagian basal dan perifer paru
- CT-scan toraks: opasitas ground glass multipel bilateral yang terdistribusi di bagian basal dan perifer paru
- USG paru: penebalan pleural lines, B lines (multifokal, diskret, atau konfluens), pola konsolidasi dengan atau tanpa air bronchograms
Derajat Covid-19
Berdasarkan beratnya kasus, COVID-19 dibedakan menjadi tanpa gejala, ringan, sedang, berat dan kritis.
Kasus Covid-19 Tanpa Gejala
Kondisi ini merupakan kondisi paling ringan. Pasien tidak ditemukan gejala.
Kasus Covid-19 Ringan
Pasien dengan gejala tanpa ada bukti pneumonia virus atau tanpa hipoksia. Gejala yang muncul seperti demam, batuk, fatigue, anoreksia, napas pendek, mialgia. Gejala tidak spesifik lainnya seperti sakit tenggorokan, kongesti hidung, sakit kepala, diare, mual dan muntah, penghidu (anosmia) atau hilang pengecapan (ageusia) yang muncul sebelum onset gejala pernapasan juga sering dilaporkan. Pasien usia tua dan immunocompromised gejala atipikal seperti fatigue, penurunan kesadaran, mobilitas menurun, diare, hilang nafsu makan, delirium, dan tidak ada demam.
Kasus Covid-19 Sedang
Pada pasien remaja atau dewasa: pasien dengan tanda klinis pneumonia (demam, batuk, sesak, napas cepat) tetapi tidak ada tanda pneumonia berat termasuk SpO2 ≥ 93% dengan udara ruangan ATAU Anak-anak: pasien dengan tanda klinis pneumonia tidak berat (batuk atau sulit bernapas + napas cepat dan/atau tarikan dinding dada) dan tidak ada tanda pneumonia berat).
Kriteria napas cepat : usia <2 bulan, ≥60x/menit; usia 2–11 bulan, ≥50x/menit; usia 1–5 tahun, ≥40x/menit; usia >5 tahun, ≥30x/menit.
Kasus Covid-19 Berat/ Pneumonia Berat
Pada pasien remaja atau dewasa : pasien dengan tanda klinis pneumonia (demam, batuk, sesak, napas cepat) ditambah satu dari: frekuensi napas > 30 x/menit, distres pernapasan berat, atau SpO2 < 93% pada udara ruangan. ATAU
Pada pasien anak : pasien dengan tanda klinis pneumonia (batuk atau kesulitan bernapas), ditambah setidaknya satu dari berikut ini:
- Sianosis sentral atau SpO2<93%;
- Distres pernapasan berat (seperti napas cepat, grunting, tarikan dinding dada yang sangat berat);
- Tanda bahaya umum : ketidakmampuan menyusu atau minum, letargi atau penurunan kesadaran, atau kejang.
- Napas cepat/tarikan dinding dada/takipnea : usia <2 bulan, ≥60x/menit; usia 2–11 bulan, ≥50x/menit; usia 1–5 tahun, ≥40x/menit; usia >5 tahun, ≥30x/menit.
Kasus Covid-19 Kritis
Pasien dengan acute respiratory distress syndrome (ARDS), sepsis dan syok sepsis.
Tatalaksana Pasien Terkonfirmasi Covid-19
Pemeriksaan Swab PCR
- Pengambilan swab di hari ke-1 dan 2 untuk penegakan diagnosis. Bila pemeriksaan di hari pertama sudah positif, tidak perlu lagi pemeriksaan di hari kedua, Apabila pemeriksaan di hari pertama negatif, maka diperlukan pemeriksaan di hari berikutnya (hari kedua).
- Pada pasien yang dirawat inap, pemeriksaan PCR dilakukan sebanyak tiga kali selama perawatan.
- Untuk kasus tanpa gejala, ringan, dan sedang tidak perlu dilakukan pemeriksaan PCR untuk follow-up. Pemeriksaan follow-up hanya dilakukan pada pasien yang berat dan kritis.
- Untuk PCR follow-up pada kasus berat dan kritis, dapat dilakukan setelah sepuluh hari dari pengambilan swab yang positif.
- Bila diperlukan, pemeriksaan PCR tambahan dapat dilakukan dengan disesuaikan kondisi kasus sesuai pertimbangan DPJP dan kapasitas di fasilitas kesehatan masing-masing.
- Untuk kasus berat dan kritis, bila setelah klinis membaik, bebas demam selama tiga hari namun pada follow-up PCR menunjukkan hasil yang positif, kemungkinan terjadi kondisi positif persisten yang disebabkan oleh terdeteksinya fragmen atau partikel virus yang sudah tidak aktif. Pertimbangkan nilai Cycle Threshold (CT) value untuk menilai infeksius atau tidaknya dengan berdiskusi antara DPJP dan laboratorium pemeriksa PCR karena nilai cutt off berbeda-beda sesuai dengan reagen dan alat yang digunakan.
H1 | H2 | H3 | H4 | H5 | H6 | H7 | H8 | H9 | H10 | H11/12* |
X | X | X |
Keterangan: *diperiksa hanya untuk berat dan kritis
Tatalaksana Covid-19 Tanpa Gejala (Asimtomatik)
- Isolasi dan pemantauan
- Isolasi mandiri di rumah selama 10 hari sejak pengambilan spesimen diagnosis konfirmasi, baik isolasi mandiri di rumah maupun di fasilitas publik yang dipersiapkan pemerintah.
- Pasien dipantau melalui telepon oleh petugas Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)
- Kontrol di FKTP terdekat setelah 10 hari karantina untuk pemantauan klinis
- Non-farmakologis
- Berikan edukasi terkait tindakan yang perlu dikerjakan (leaflet untuk dibawa ke rumah):
- Selalu menggunakan masker jika keluar kamar dan saat berinteraksi dengan anggota keluarga
- Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau hand sanitizer sesering mungkin.
- Jaga jarak dengan keluarga (physical distancing)
- Upayakan kamar tidur sendiri / terpisah
- Menerapkan etika batuk (diajarkan oleh tenaga medis)
- Alat makan-minum segera dicuci dengan air/sabun
- Berjemur matahari minimal sekitar 10-15 menit setiap harinya (sebelum jam 9 pagi dan setelah jam 3 sore)
- Pakaian yg telah dipakai sebaiknya dimasukkan dalam kantong plastik / wadah tertutup yang terpisah dengan pakaian kotor keluarga yang lainnya sebelum dicuci dan segera dimasukkan mesin cuci
- Ukur dan catat suhu tubuh 2 kali sehari (pagi dan malam hari)
- Segera beri informasi ke petugas pemantau/FKTP atau keluarga jika terjadi peningkatan suhu tubuh ≥38°C
- Lingkungan/kamar:
- Perhatikan ventilasi, cahaya dan udara
- Membuka jendela kamar secara berkala
- Bila memungkinkan menggunakan APD saat membersihkan kamar (setidaknya masker, dan bila memungkinkan sarung tangan dan goggle).
- Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau hand sanitizer sesering mungkin.
- Bersihkan kamar setiap hari, bisa dengan air sabun atau bahan desinfektan lainnya
- Keluarga:
- Bagi anggota keluarga yang berkontak erat dengan pasien sebaiknya memeriksakan diri ke FKTP/Rumah Sakit.
- Anggota keluarga senanitasa pakai masker
- Jaga jarak minimal 1 meter dari pasien
- Senantiasa mencuci tangan
- Jangan sentuh daerah wajah kalau tidak yakin tangan bersih
- Ingat senantiasa membuka jendela rumah agar sirkulasi udara tertukar
- Bersihkan sesering mungkin daerah yg mungkin tersentuh pasien misalnya gagang pintu dll
- Berikan edukasi terkait tindakan yang perlu dikerjakan (leaflet untuk dibawa ke rumah):
- Farmakologis
- Bila terdapat penyakit penyerta / komorbid, dianjurkan untuk tetap melanjutkan pengobatan yang rutin dikonsumsi. Apabila pasien rutin meminum terapi obat antihipertensi dengan golongan obat ACE-inhibitor dan angiotensin reseptor blocker (ARB) perlu berkonsultasi ke Dokter Spesialis Penyakit Dalam atau Dokter Spesialis Jantung
- Vitamin C (untuk 14 hari), dengan pilihan:
- Tablet Vitamin C non-acidic 500 mg/6-8 jam oral (untuk 14 hari)
- Tablet isap vitamin C 500 mg/12 jam oral (selama 30 hari)
- Multivitamin yang mengandung vitamin C 1-2 tablet /24 jam (selama 30 hari)
- Dianjurkan multivitamin yang mengandung vitamin C, B, E, Zinc
- Vitamin D
- Suplemen: 400 IU-1000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet, kapsul, tablet effervescent, tablet kunyah, tablet hisap, kapsul lunak, serbuk, sirup)
- Obat: 1000-5000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet 1000 IU dan tablet kunyah 5000 IU)
- Obat-obatan suportif baik tradisional (Fitofarmaka) maupun Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) yang teregistrasi di BPOM dapat dipertimbangkan untuk diberikan namun dengan tetap memperhatikan perkembangan kondisi klinis pasien.
- Obat-obatan yang memiliki sifat antioksidan dapat diberikan.
Tatalaksana Covid-19 Derajat Ringan
- Isolasi dan pemantauan
- Isolasi mandiri di rumah/ fasilitas karantina selama maksimal 10 hari sejak muncul gejala ditambah 3 hari bebas gejala demam dan gangguan pernapasan. Jika gejala lebih dari 10 hari, maka isolasi dilanjutkan hingga gejala hilang ditambah dengan 3 hari bebas gejala. Isolasi dapat dilakukan mandiri di rumah maupun di fasilitas publik yang dipersiapkan pemerintah.
- Petugas FKTP diharapkan proaktif melakukan pemantauan kondisi pasien.
- Setelah melewati masa isolasi pasien akan kontrol ke FKTP terdekat.
- Non Farmakologis
- Edukasi terkait tindakan yang harus dilakukan (sama dengan edukasi tanpa gejala).
- Farmakologis
- Vitamin C dengan pilihan:
- Tablet Vitamin C non-acidic 500 mg/6-8 jam oral (untuk 14 hari)
- Tablet isap vitamin C 500 mg/12 jam oral (selama 30 hari)
- Multivitamin yang mengandung vitamin C 1-2 tablet /24 jam (selama 30 hari)
- Dianjurkan multivitamin yang mengandung vitamin C, B, E, Zinc
- Vitamin D
- Suplemen: 400 IU-1000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet, kapsul, tablet effervescent, tablet kunyah, tablet hisap, kapsul lunak, serbuk, sirup)
- Obat: 1000-5000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet 1000 IU dan tablet kunyah 5000 IU)
- Azitromisin 1 x 500 mg perhari selama 5 hari
- Antivirus:
- Favipiravir (Avigan sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12 jam/oral hari ke-1 dan selanjutnya 2 x 600 mg (hari ke 2-5)
- Pengobatan simtomatis seperti parasetamol bila demam.
- Obat-obatan suportif baik tradisional (Fitofarmaka) maupun Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) yang teregistrasi di BPOM dapat dipertimbangkan untuk diberikan namun dengan tetap memperhatikan perkembangan kondisi klinis pasien.
- Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada
- Vitamin C dengan pilihan:
Tatalaksana Covid-19 Derajat Sedang
- Isolasi dan pemantauan
- Rujuk ke Rumah Sakit ke Ruang Perawatan COVID-19/ Rumah Sakit Darurat COVID-19
- Isolasi di Rumah Sakit ke Ruang PerawatanCOVID-19/ Rumah Sakit Darurat COVID-19
- Pengambilan swab untuk PCR dilakukan sesuai Tabel 1
- Non-farmakologis
- Istirahat total, asupan kalori adekuat, kontrol elektrolit, status hidrasi/terapi cairan, oksigen.
- Pemantauan laboratorium Darah Perifer Lengkap berikut dengan hitung jenis, bila memungkinkan ditambahkan dengan CRP, fungsi ginjal, fungsi hati dan foto toraks secara berkala.
- Farmakologis
- Vitamin C 200 – 400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis dalam 1 jam diberikan secara drip Intravena (IV) selama perawatan
- Vitamin D
- Suplemen: 400 IU-1000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet, kapsul, tablet effervescent, tablet kunyah, tablet hisap, kapsul lunak, serbuk, sirup)
- Obat: 1000-5000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet 1000 IU dan tablet kunyah 5000 IU)
- Diberikan terapi farmakologis berikut:
- Salah satu antivirus berikut:
- Favipiravir (Avigan sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12 jam/oral hari ke-1 dan selanjutnya 2 x 600 mg (hari ke 2-5). Atau
- Remdesivir 200 mg IV drip (hari ke-1) dilanjutkan 1×100 mg IV drip (hari ke 2-5 atau hari ke 2-10)
- Antikoagulan LMWH/UFH berdasarkan evaluasi (lihat bagian evaluasi pemberian antikoagulan).
- Pengobatan simtomatis (parasetamol dan lain-lain).
- Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada
- Salah satu antivirus berikut:
Tatalaksana Covid-19 Derajat Berat atau Kritis
- Isolasi dan pemantauan
- Isolasi di ruang isolasi Rumah Sakit Rujukan atau rawat secara kohorting
- Pengambilan swab untuk PCR dilakukan sesuai Tabel 1.
- Non-farmakologis
- Istirahat total, asupan kalori adekuat, kontrol elektrolit, status hidrasi (terapi cairan), dan oksigen
- Pemantauan laboratorium Darah Perifer Lengkap beriku dengan hitung jenis, bila memungkinkan ditambahkan dengan CRP, fungsi ginjal, fungsi hati, Hemostasis, LDH, D-dimer.
- Pemeriksaan foto toraks serial bila perburukan
- Monitor tanda-tanda sebagai berikut:
- Takipnea, frekuensi napas ≥ 30x/min,
- Saturasi oksigen dengan pulse oximetry ≤93% (di jari),
- PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg,
- Peningkatan sebanyak >50% di keterlibatan area paru-paru pada pencitraan thoraks dalam 24-48 jam,
- Limfopenia progresif,
- Peningkatan CRP progresif,
- Asidosis laktat progresif
- Monitor keadaan kritis
- Gagal napas yg membutuhkan ventilasi mekanik, syok atau gagal multiorgan yang memerlukan perawatan ICU.
- Bila terjadi gagal napas disertai ARDS pertimbangkan penggunaan ventilator mekanik (alur Gambar 1)
- Tiga langkah yang penting dalam pencegahan perburukan penyakit, yaitu sebagai berikut:
- Gunakan high flow nasal cannula (HFNC) atau non-invasive mechanical ventilation (NIV) pada pasien dengan ARDS atau efusi paru luas. HFNC lebih disarankan dibandingkan NIV. (alur Gambar 1)
- Pembatasan resusitasi cairan, terutama pada pasien dengan edema paru.
- Posisikan pasien sadar dalam posisi tengkurap (awake prone position).
- Terapi oksigen
- Inisiasi terapi oksigen jika ditemukan SpO2 <93% dengan udara bebas dengan mulai dari nasal kanul sampai NRM 15 L/menit, lalu titrasi sesuai target SpO2 92 – 96%.
- Tingkatkan terapi oksigen dengan menggunakan alat HFNC jika tidak terjadi perbaikan klinis dalam 1 jam atau terjadi perburukan klinis.
- Inisiasi terapi oksigen dengan alat HFNC; flow 30 L/menit, FiO2 40% sesuai dengan kenyamanan pasien dan dapat mempertahankan target SpO2 92 – 96%
- Tenaga kesehatan harus menggunakan respirator (PAPR, N95).
- Titrasi flow secara bertahap 5 – 10 L/menit, diikuti peningkatan fraksi oksigen, jika:
- Frekuensi nafas masih tinggi (>35x/menit)
- Target SpO2 belum tercapai (92 – 96%)
- Work of breathing yang masih meningkat (dyspnea, otot bantu nafas aktif)
- Kombinasi Awake Prone Position + HFNC selama 2 jam 2 kali sehari dapat memperbaiki oksigenasi dan mengurangi kebutuhan akan intubasi pada ARDS ringan hingga sedang.
- Evaluasi pemberian HFNC setiap 1 – 2 jam dengan menggunakan indeks ROX.
- Jika pasien mengalami perbaikan dan mencapai kriteria ventilasi aman (indeks ROX ≥4.88) pada jam ke-2, 6, dan 12 menandakan bahwa pasien tidak membutuhkan ventilasi invasif, sementara ROX <3.85 menandakan risiko tinggi untuk kebutuhan intubasi.
- Jika pada evaluasi (1–2 jam pertama), parameter keberhasilan terapi oksigen dengan HFNC tidak tercapai atau terjadi perburukan klinis pada pasien, pertimbangkan untuk menggunakan metode ventilasi invasif atau trial NIV.
- Deskalasi bertahap pada penyapihan dengan perangkat HFNC, dimulai dengan menurunkan FiO2 5-10%/1-2 jam hingga mencapai fraksi 30%, selanjutnya flow secara bertahap 5-10 L/1- 2 jam hingga mencapai 25 L
- Pertimbangkan untuk menggunakan terapi oksigen konvensional ketika flow 25 L/menit dan FiO2 < 30%.
- Perlu dipertimbangkan bahwa penggunaan alat HFNC membutuhkan ketersediaan suplai oksigen yang sangat tinggi
- NIV (non-invasive ventilation)
- Tenaga kesehatan harus menggunakan respirator (PAPR, N95).
- Trial NIV selama 1-2 jam sebagai bagian dari transisi terapi oksigen
- Inisiasi terapi oksigen dengan menggunakan NIV: mode BiPAP atau NIV + PSV, tekanan inspirasi 12-14 cmH2O, PEEP 6-12 cmH2O. FiO2 40-60%.
- Titrasi tekanan inspirasi untuk mencapai target volume tidal 6-8 ml/kg; jika pada inisiasi penggunaan NIV, dibutuhkan total tekanan inspirasi >20 cmH2O untuk mencapai tidal volume yg ditargetkan, pertimbangkan untuk segera melakukan metode ventilasi invasif (tambahkan penilaian alternatif parameter)
- Titrasi PEEP dan FiO2 untuk mempertahankan target SpO2 92-96%.
- Evaluasi penggunaan NIV dalam 1-2 jam dengan target parameter:
- Subjektif: keluhan dyspnea mengalami perbaikan, pasien tidak gelisah
- Fisiologis: laju pernafasan <30x/menit.
- Work of breathing menurun, stabilitas hemodniamik
- Objektif: SpO2 92-96%, pH >7,25, PaCO2: 30 – 55mmHg, PaO2 >60 mmHg, rasio PF ≥ 200, TV 6-8 ml/kgBB
- Pada kasus ARDS berat, gagal organ ganda dan syok disarankan untuk segera melakukan ventilasi invasif.
- Jika pada evaluasi (1–2 jam pertama), parameter keberhasilan dengan NIV tidak tercapai atau terjadi perburukan klinis pada pasien, lakukan metode ventilasi invasif
- Kombinasi Awake Prone Position + NIV 2 jam 2 kali sehari dapat memperbaiki oksigenasi dan mengurangi kebutuhan akan intubasi pada ARDS ringan hingga sedang.
- NIV dan HFNC memiliki risiko terbentuknya aerosol, sehingga jika hendak diaplikasikan, sebaiknya di ruangan yang bertekanan negatif (atau di ruangan dengan tekanan normal, namun pasien terisolasi dari pasien yang lain) dengan standar APD yang lengkap.
- Bila pasien masih belum mengalami perbaikan klinis maupun oksigenasi setelah dilakukan terapi oksigen ataupun ventilasi mekanik non invasif, maka harus dilakukan penilaian lebih lanjut.
- Ventilasi mekanik invasif (ventilator)
- Tenaga kesehatan harus menggunakan respirator (PAPR, N95).
- Menetapkan target volume tidal yang rendah (4-8 ml/kgBB), plateau pressure <30 cmH2O dan driving pressure <15 cmH2O. RR: 18 – 25 x/menit,
- Pada ARDS sedang – berat diterapkan protokol Higher PEEP, dengan pemantauan terjadinya barotrauma pada penggunaan PEEP >10 cmH2O.
- Pada ARDS sedang – berat yang mengalami hipoksemia refrakter (meski parameter ventilasi optimal), dilakukan ventilasi pada posisi prone selama 12-16 jam per hari
- Pada ARDS sedang – berat yang mengalami kondisi; dis-sinkroni antara pasien dan ventilator yang persisten, plateau pressure yang tinggi secara persisten dan ventilasi pada posisi prone yang membutuhkan sedasi yang dalam, pemberian pelumpuh otot secara kontinyu selama 48 jam dapat dipertimbangkan.
- Penerapan strategi terapi cairan konservatif pada kondisi ARDS
- Penggunaan mode Airway Pressure Release Ventilation dapat dipertimbangkan pada pemakaian ventilator. Khusus penggunaan mode APRV ini harus di bawah pengawasan intensivis atau dokter spesialis anestesi.
- ECMO (extra corporeal membrane oxygenation)
- Pasien COVID-19 dapat menerima terapi ECMO di RS tipe A yang memiliki layanan dan sumber daya sendiri untuk melakukan ECMO. Pasien COVID-19 kritis dapat menerima terapi ECMO bila memenuhi indikasi ECMO setelah pasien tersebut menerima terapi posisi prone (kecuali dikontraindikasikan) dan terapi ventilator ARDS yang maksimal menurut klinisi.
- Indikasi ECMO
- PaO2/FiO2 <60mmHg selama >6 jam
- PaO2/FiO2 <50mmHg selama >3 jam
- pH <7,20 + Pa CO2 >80mmHg selama >6 jam
- Kontraindikasi relatif
- Usia ≥ 65 tahun
- Obesitas BMI ≥ 40
- Status imunokompromis
- Tidak ada ijin informed consent yang sah.
- Penyakit gagal jantung sistolik kronik
- Terdapat penyebab yang berpotensi reversibel (edema paru, sumbatan mukus bronkus, abdominal compartment syndrome)
- Kontraindikasi absolut:
- Clinical Frailty Scale kategori ≥ 3 2.
- Ventilasi mekanik > 10 hari
- Adanya penyakit komorbid yang bermakna:
- Gagal ginjal kronik stage III
- Sirosis hepatis
- Demensia
- Penyakit neurologis kronis yang tidak memungkinkan rehabilitasi.
- Keganasan metastase
- Penyakit paru tahap akhir
- Diabetes tidak terkontrol dengan disfungsi organ kronik
- Penyakit vaskular perifer berat
- Gagal organ multipel berat
- Injuri neurologik akut berat.
- Perdarahan tidak terkontrol.
- Kontraindikasi pemakaian antikoagulan.
- Dalam proses resusitasi jantung paru.
- Komplikasi berat sering terjadi pada terapi ECMO seperti perdarahan, stroke, pneumonia, infeksi septikemi, gangguan metabolik hingga mati otak.
\text{Indeks ROX}=\frac{(\text{SpO}_2/\text{FiO}_2)} {\text{laju napas}}
- Farmakologis
- Vitamin C 200 – 400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis dalam 1 jam diberikan secara drip Intravena (IV) selama perawatan
- Vitamin B1 1 ampul/24 jam/intravena
- Vitamin D
- Suplemen: 400 IU-1000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet, kapsul, tablet effervescent, tablet kunyah, tablet hisap, kapsul lunak, serbuk, sirup)
- Obat: 1000-5000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet 1000 IU dan tablet kunyah 5000 IU)
- Bila terdapat kondisi sepsis yang diduga kuat oleh karena ko-infeksi bakteri, pemilihan antibiotik disesuaikan dengan kondisi klinis, fokus infeksi dan faktor risiko yang ada pada pasien. Pemeriksaan kultur darah harus dikerjakan dan pemeriksaan kultur sputum (dengan kehati-hatian khusus) patut dipertimbangkan.
- Antivirus:
- Favipiravir (Avigan sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12 jam/oral hari ke-1 dan selanjutnya 2 x 600 mg (hari ke 2-5). Atau
- Remdesivir 200 mg IV drip (hari ke-1) dilanjutkan 1×100 mg IV drip (hari ke 2-5 atau hari ke 2-10)
- Antikoagulan LMWH/UFH berdasarkan evaluasi (lihat bagian evaluasi pemberian antikoagulan).
- Deksametason dengan dosis 6 mg/24 jam selama 10 hari atau kortikosteroid lain yang setara seperti metilprednisolon 32 mg, atau hidrokortison 160 mg pada kasus berat yang mendapat terapi oksigen atau kasus berat dengan ventilator.
- Alternatif steroid lain adalah metilprednisolon, 250-500 mg IV pada hari pertama dilanjutkan prednison 50 mg atau metilprednisolin 40 mg selama 14 hari. Pemberian ini dilakukan untuk pasien Covid-19 dengan pneumonia dan alveolar pressure / inspired oxygen fraction (PaFi) kurang dari 300 yang tidak memerlukan perawatan di ruang rawat intensif/ICU (Pinzon et al, 2021)
- Anti interleukin-6 (IL-6)
- Tocilizumab atau sarilumab merupakan obat kelompok anti IL-6. Sarilumab belum tersedia di Indonesia, sehingga yang dipakai adalah Tocilizumab. Tocilizumab diberikan dengan dosis 8 mg/kgBB single dose atau dapat diberikan 1 kali lagi dosis tambahan apabila gejala memburuk atau tidak ada perbaikan dengan dosis yang sama. Jarak pemberian dosis pertama dan kedua minimal 12 jam. Maksimal pemberian 800 mg per dosis.
- Tocilizumab dapat diberikan di awal pasien memasuki keadaan Covid-19 berat, yang umumnya terjadi setelah sakit ≥ 1 minggu, dan jumlah virus mencapai puncaknya, atau dengan kata lain jumlah virus berpotensi tidak akan bertambah lagi. Penanda peradangan COVID-19 mulai berat tetapi belum kritis dapat dilihat dari skor SOFA masih kurang dari 3, sementara terdapat skor CURB-65 > 2, atau saturasi oksigen < 93% namun dapat dikoreksi dengan oksigen fraksi < 50 % (setara dengan O2 tak lebih dari 6 L/m dengan nasal kanul atau simple mask), atau laju pernapasan > 30 per menit, atau foto toraks terdapat infiltrat multilobus bilateral, dengan salah satu penanda biologis di bawah ini:
- D-dimer ≥ 0,7 µg/L
- IL-6 ≥ 40 pg/mL
- Limfosit < 800 × 109 /L
- Ferritin ≥ 700 µg/L
- Fibrinogen > 700 mg/dL
- CRP > 75 mg/L
- Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada
- Apabila terjadi syok, lakukan tatalaksana syok sesuai pedoman tatalaksana syok yang sudah ada
- Inisiasi resusitasi cairan dan pemberian vasopressor untuk mengatasi hipotensi dalam 1 jam pertama
- Resusitasi cairan dengan bolus cepat kristaloid 250 – 500 mL (15 – 30 menit) sambil menilai respon klinis
- Respon klinis dan perbaikan target perfusi (MAP >65 mmHg, produksi urine >0,5 ml/kg/jam, perbaikan capillary refill time, laju nadi, kesadaran dan kadar laktat)
- Penilaian tanda overload cairan setiap melakukan bolus cairan
- Hindari penggunaan kristaloid hipotonik, gelatin dan starches untuk resusitasi inisiasi
- Pertimbangkan untuk menggunakan indeks dinamis terkait volume responsiveness dalam memandu resusitasi cairan (passive leg rising, fluid challenges dengan pengukuran stroke volume secara serial atau variasi tekanan sistolik, pulse pressure, ukuran vena cava inferior, atau stroke volume dalam hubungannya dengan perubahan tekanan intratorakal pada penggunaan ventilasi mekanik)
- Penggunaan vasopressor bersamaan atau setelah resusitasi cairan, untuk mencapai target MAP >65 mmHg dan perbaikan perfusi
- Norepinefrin sebagai first-line vasopressor
- Pada hipotensi refrakter tambahkan vasopressin (0,01-0,03 iu/menit) atau epinephrine.
- Penambahan vasopressin (0,01-0,03 iu/menit) dapat mengurangi dosis norepinehrine
- Pada pasien COVID-19 dengan disfungsi jantung dan hipotensi persisten, tambahkan dobutamin
- Jika memungkinkan gunakan monitor parameter dinamis hemodinamik. Baik invasif, seperti PiCCO2, EV1000, Mostcare, maupun non-invasif, seperti ekokardiografi, iCON, dan NICO2.
- Obat suportif lainnya dapat diberikan sesuai indikasi
- Antikoagulan LMWH/UFH berdasarkan evaluasi DPJP
- Pertimbangkan untuk diberikan terapi tambahan, sesuai dengan kondisi klinis pasien dan ketersediaan di fasilitas pelayanan kesehatan masing-masing apabila terapi standar tidak memberikan respons perbaikan. Pemberian dengan pertimbangan hati-hati dan melalui diskusi dengan tim COVID-19 rumah sakit. Contohnya , plasma konvalesen, IVIG atau mesenchymal stem cell (MSC)/ sel punca, plasma exchange (TPE) dan lain-lain.
Bantuan Hidup Dasar (BHD)
Pada kondisi berat dan kritis pasien dapat mengalami henti jantung sehingga diperlukan bantuan hidup dasar (BHD). Untuk tatalaksana Covid-19 dengan henti jantung dapat melihat alur BHD terlihat pada gambar di bawah ini:
Terapi atau Tindakan Tambahan Lain
Berikut adalah terapi atau tindakan lain yang patut dipertimbangkan dalam tatalaksana Covid-19 terutama pada kasus berat atau kritis:
Anti IL-6 (Tocilizumab, nama dagang Actemra)
Pada kondisi infeksi virus khususnya yang berat, dapat terjadi cytokine storm atau badai sitokin. Cytokine storm adalah respons sistem kekebalan tubuh yang berlebihan akibat infeksi maupun penyebab lain yang ditandai dengan pelepasan sitokin yang tidak terkontrol yang menyebabkan inflamasi sistemik dan kerusakan multiorgan. Beberapa studi yang menganalisis karakteristik klinis pasien COVID-19 secara konsisten menunjukkan penurunan jumlah limfosit yang signifikan serta peningkatan tajam sebagian besar sitokin, terutama IL- 6. Kadar IL-6 yang meningkat tajam berperan dalam induksi diferensiasi limfosit B dan produksi antibodi serta proliferasi dan diferensiasi limfosit T. Cytokine storm pada COVID-19 akan meningkatkan permeabilitas vaskuler sehingga terjadi perpindahan cairan dan sel darah dalam alveolus yang mengakibatkan acute respiratory distress syndrome (ARDS) yang dapat berakhir dengan kematian. Dengan demikian, menghambat kerja IL-6 merupakan salah satu terapi potensial untuk pasien COVID-19 dengan pneumonia berat atau kritis.
Transduksi sinyal sel oleh IL-6 harus diinisiasi oleh ikatan antara IL-6 dan reseptornya, IL-6R yang bersama sama membentuk kompleks dan berikatan dengan protein membran sel. Reseptor IL-6 (IL-6R) memiliki dua bentuk yaitu membrane bound IL-6R (mIL-6R) dan soluble IL-6R (sIL-6R). Tocilizumab merupakan antibodi monoklonal penghambat IL-6 yang dapat secara spesifik berikatan dengan mIL-6R dan sIL-6R. Tocilizumab telah dipakai pada kasus artritis rheumatoid dengan dosis 8 mg/kgBB setiap 4 minggu, minimal selama 24 minggu.
Hasil awal dari uji klinis fase III EMPACTA Trial yang dirilis pada tanggal 18 September 2020 menyebutkan bahwa pasien yang mendapatkan tocilizumab dan terapi standar memiliki kemungkinan 44% lebih rendah untuk mengalami perburukan, namun mortalitas pada hari ke-28 tidak terdapat perbedaan yang bermakna (tocilizumab 10,4% vs plasebo 8,6%; p:0,5146). Uji klinis fase 3 lainnya, COVACTA Trial, menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna status klinis antara pasien yang diberikan tocilizumab dan plasebo.
Baik laporan kasus maupun studi retrospektif di atas menyimpulkan bahwa Tocilizumab merupakan salah satu pilihan terapi yang efektif untuk menurunkan mortalitas pasien COVID-19 berat dengan risiko cytokine storm. Prelilminary report dari 2 uji klinis fase III menunjukkan hashil yang sedikit kontradikitf, namun untuk lebih pastinya perlu menunggu laporan yang telah lolos kaji kelompok. Beberapa clinical trial fase 3 lainnya saat ini sedang berlangsung di AS, Kanada Perancis, dan beberapa negara Eropa lainnya.
Berdasarkan hasil berbagai studi, dapat disimpulkan sementara bahwa terapi tocilizumab kemungkinan memberikan hasil yang baik pada pasien COVID-19 yang berat, meskipun perlu ditunggu publikasi-publikasi berbagai clinical trial yang saat ini sedang dan telah berlangsung untuk mengambil kesimpulan yang valid. Penggunaan tocilizumab saat ini harus dipergunakan dengan selektif dan belum menjadi panduan tetap pada setiap kasus COVID-19 yang berat.
Tocilizumab bermanfaat untuk menekan dampak IL-6 terhadap peradangan paru dan vaskular, karena itu itu perlu diberikan dini pada awal peradangan paru dan sistemik. Akan tetapi dampak imunosupresannya dapat menyebabkan infeksi sekunder sehingga pemberian terlambat pada pasien yang telah terventilator lama mungkin perlu dihindari karena risiko VAP-nya. Efek imunosupresi tocilizumab juga dapat memperlama persistensi virus (prolong viral shedding), sehingga pemberian dini pada saat virus masih berkembang juga berisiko. Karena itu pemilihan waktu yang tepat penting bagi keberhasilan terapi Tocilizumab. Tocilizumab dapat diberikan di awal pasien memasuki keadaan Covid-19 berat, yang umumnya terjadi setelah sakit ≥ 1 minggu, dan jumlah virus mencapai puncaknya, atau dengan kata lain jumlah virus berpotensi tidak akan bertambah lagi. Penanda peradangan COVID-19 mulai berat tetapi belum kritis dapat dilihat dari skor SOFA masih kurang dari 3, sementara terdapat skor CURB-65 > 2, atau saturasi oksigen < 93% namun dapat dikoreksi dengan oksigen fraksi < 50 % (setara dengan O2 tak lebih dari 6 L/m dengan nasal kanul atau simple mask), atau laju pernapasan > 30 per menit, atau foto toraks terdapat infiltrat multilobus bilateral, dengan salah satu penanda biologis di bawah ini:
- D-dimer ≥ 0,7 µg/L
- IL-6 ≥ 40 pg/mL
- Limfosit < 800 × 10 9 /L
- Ferritin ≥ 700 µg/L
- Fibrinogen > 700 mg/dL
- CRP > 25 mg/L
Tubuh juga merespon peningkatan IL 6 dengan memproduksi sitokin antiinflamatori seperti IL 10 yang bersifat imunosupresan. Apabila dapat dilakukan pemeriksaan IL 10, maka rasio IL 6 : IL 10 yang ≥ 1 walaupun kadar IL 6 meninggi, mungkin menunjukkan tidak diperlukannya pemberian tocilizumab. Tocilizumab juga perlu dipertimbangkan akan sia-sia bila sudah terdapat beberapa dari tanda berikut:
- Skor SOFA > 3
- Komorbid lebih > 2
- Rasio trombosit : D dimer < 200
- Rasio Netrofil : Limfosit ≥ 2,6
- Laki-laki
Dosis tocilizumab yang digunakan pada berbagai studi sangat bervariasi, tapi sebagian besar menggunakan dosis 8 mg/kgBB single dose atau dapat diberikan 1 kali lagi dosis tambahan apabila gejala memburuk atau tidak ada perbaikan dengan dosis yang sama. Jarak pemberian dosis pertama dan kedua minimal 12 jam. Maksimal pemberian 800 mg per dosis.
Pedoman
Anti IL-1 (Anakinra)
Anakinra merupakan antagonis reseptor IL-1 rekombinan yang memiliki mekanisme untuk menetralisasi reaksi hiperinflamasi yang terjadi pada kondisi ARDS yang disebabkan oleh infeksi SARS-CoV-2. Pada sebuah studi klinis yang melibatkan 52 pasien, Anakinra dapat menurunkan kebutuhan pemakaian ventilasi mekanis invasif dan menurunkan kematian pada pasien COVID-19 tanpa efek samping yang serius. Dosis yang dapat diberikan adalah 100 mg/ 12 jam selama 72 jam dilanjutkan dengan 100 mg/ 24 jam selama 7 hari.
Antibiotik
Potensi penggunaan antibiotik yang berlebih pada era pandemik Covid-19 ini menjadi ancaman global terhadap meningkatnya kejadian bakteri multiresisten. Hingga saat ini belum dapat sepenuhnya dipahami bagaimana hubungan langsung dari pandemik ini terhadap peningkatan angka total bakteri multiresisten, namun dari beberapa telaah data kasus Covid-19 dari seluruh dunia, terutama di Asia, 70% dari total pasien tersebut mendapatkan terapi antimikroba meskipun pada kenyataannya kurang dari 10% yang terbukti benar- benar mengalami ko-infeksi dengan bakteri maupun jamur.
Rasionalisasi dari penggunaan antibiotik pada Covid-19 nampaknya mengacu kepada pengalaman kejadian superinfeksi bakteri pada infeksi influenza, dimana 11-35% kasus influenza yang dirawat terbukti mengalami ko-infeksi bakteri sekunder inisial yang umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri Streptococcus pneumoniae dan Staphylococcus aureus. Infeksi virus di saluran pernapasan sendiri dikatakan dapat menjadi faktor predisposisi dari ko- infeksi bakteri maupun jamur yang pada akhirnya dapat berakibat buruk terhadap derajat keparahan hingga kematian.
Angka kejadian sesungguhnya dari ko-infeksi bakteri pada Covid-19 hingga saat ini masih belum diketahui. Rekomendasi pemberian antibiotik bervariasi di masing- masing negara dan kecenderungan yang ada adalah opsi untuk memberikan antibiotik secara empirik lebih dipilih oleh karena kesulitan untuk membedakan secara dini kausa dari infeksi pernapasan yang dihadapi, ketidakpastian adanya kemungkinan ko-infeksi hingga lambatnya hasil konfirmatif diperoleh.
Kemungkinan terjadinya ko-infeksi pneumonia bakteri dan jamur akan menjadi lebih besar pada kelompok pasien yang menggunakan ventilator selain daripada potensi bakteremia hingga infeksi saluran kencing sebagai akibat dari instrumentasi, dengan pola mikrobiologis dan pola resistensi antibiotik yang mengikuti pola di institusi masing- masing. Upaya untuk menjaga penggunaan antibiotik yang rasional di era pandemi Covid-19 ini semakin mendapat tantangan yang lebih besar oleh karena berbagai keterbatasan dan hendaya yang muncul terkait dengan infeksi covid-19 itu sendiri.
Guna menyikapi fakta dan data yang ada, WHO menganjurkan pemberian antibiotik pada kasus covid-19 yang berat dan tidak menganjurkan pemberian antibiotik rutin pada kasus Covid-19 yang ringan. Selanjutnya berbagai upaya untuk tetap menjaga prinsip-prinsip Penatagunaan Antimikroba (Antimicrobial Stewardship) harus terus dilakukan:
- Upaya pengambilan bahan kultur sebelum pemberian antibiotik. Sampel disesuaikan dengan fokus infeksi dan kondisi pasien
- Upaya re-evaluasi kondisi klinis pasien secara ketat harus selalu dikerjakan, baik melalui evaluasi keluhan maupun evaluasi parameter penunjang, seperti parameter leukosit, hitung jenis, CRP, procalcitonin, pencitraan, hasil kultur, dan sebagainya.
- Segera melakukan de-eskalasi atau stop antibiotik bila klinis dan hasil pemeriksaan penunjang sudah membaik.
- Pilihan dan durasi terapi antibiotik empirik, mengikuti panduan terapi pneumonia komunitas.
- Bagi pasien yang dirawat di ruang intensif dan menggunakan bantuan ventilasi mekanik, bundle pencegahan VAP (ventilator associated pneumonia) / HAP (hospital acquired pneumona) serta prinsip-prinsip pencegahan infeksi nosokomial harus terus diperhatikan.
- Apabila pasien terindikasi mengalami infeksi VAP/HAP, pilihan antibiotik empirik untuk VAP/HAP mengikuti pola mikrobiologis dan pola resistensi lokal di masing- masing Rumah Sakit.
- Apabila pasien mengalami penyulit infeksi lain seperti infeksi kulit dan jaringan lunak komplikata, infeksi intra abdominal komplikata dan sebagainya, upaya untuk melakukan kontrol sumber infeksi dan tatalaksana yang memadai sesuai dengan panduan harus terus diupayakan dan diharapkan kecurigaan terhadap adanya infeksi covid-19 tidak menimbulkan hambatan/keterlambatan yang berlarut-larut.
- Rekomendasi nasional untuk tetap melakukan evaluasi terhadap penggunaan anitbibiotik yang rasional di era pandemi covid-19, harus terus dipromosikan dan diupayakan sebagai bagian dari tatalaksana terbaik bagi pasien.
Antibodi Monoklonal
Antibodi monoklonal adalah protein yang dibuat di laboratorium dan memiliki kemampuan untuk meniru kerja sistem imun dalam melawan antigen berbahaya seperti virus. Penggunaan antibodi monoklonal umumnya ada Covid-19 derajat ringan sampai sedang. Beberapa antibodi monoklonal tersebut adalah:
- Bamlanivimab 700 mg + etesevimab 1.400 mg
- Casirivimab 1.200 mg + imdevimab 1.200 mg.
- Di Amerika Serikat, Food and Drug Administration sudah memberikan izin penggunaan darurat (Emergency Use Authorisation/EUA) terhadap 2 kombinasi antibodi monoklonal di atas pada pasien Covid-19 derajat ringan-sedang. Kombinasi bamlanivimab + etesevimab akan segera dilakukan uji klinis di Indonesia.
- Sotrovimab
- Sotromivab sudah mendapat ijin penggunaan darurat dari Food and Drug Administration Amerika Serikat (Emergency Use Authorization/EUA) untuk tatalaksana Covid-19 derajat ringan dan sedang pada dewasa dan anak usia > 12 tahun dengan berat badan minimal 40 kg. Sotrovimab tidak direkomendasikan untuk Covid-19 yang dirawat inap ATAU Covid-19 yang membutuhkan terapi oksigen. Dosis Sotrovimab adalah 500 mg dosis tunggal diberikan secara intravena. Saat ini Sotrovimab belum tersedia di Indonesia.
- Vilobelimab
- Di Indonesia, uji klinis antibodi monoklonal vilobelimab sedang dilakukan di 10 rumah sakit di Indonesia.
- Regdanvimab
- Regdanvimab merupakan antibodi monoklonal lain dari korea yang sudah diteliti. Regdanvimab direkomendasikan untuk pasien Covid-19 dewasa yang tidak memerlukan oksigen atau yang berisiko tinggi menjadi berat. Dari riset yang sudah ada, dosis regdanvimab 40 mg/kgBB secara intravena, diberikan segera setelah terdiagnosis tidak lebih dari 7 hari sejak onset gejala.
Janus Kinase Inhibitor
Obat penghambat kinase bekerja dengan menghambat proses protein fosforilasi yang terlibat dalam tranduksi signal terjadinya aktivasi imun dan inflamasi. Inhibitor janus kinase (JAK) yaitu baricitinib secara teori memiliki aktivitas antivirus secara langsung dengan cara melakukan intervensi endositosis virus, secara potensial mencegah masuknya dan terinfeksinya sel-sel yang rentan. Indikasi pemberian JAK adalah pasien COVID-19 yang baru saja masuk rawat inap dengan peningkatan kebutuhan oksigen dengan cepat dan terjadi inflamasi sistemik maka dapat diberikan baricitinib atau tocilizumab, sesuai dengan ketersediaan obat yang ada. Dosis baricitinib adalah 4 mg per oral selama 14 hari atau selesai perawatan RS. Baricitinib sebaiknya digunakan sebagai kombinasi dengan steroid (dengan atau tanpa remdesivir). Saat ini baricitinib belum tersedia di Indonesia, apabila tersedia dapat diberikan pada pasien derajat berat atau kritis, dan memiliki peran yang setara seperti tocilizumab.
Oseltamivir
Oseltamivir adalah obat antiviral yang digunakan untuk pengobatan dan pencegahan infeksi influenza tipe A dan B. Obat ini bekerja dengan menghambat neuroamidase yang dibutuhkan oleh virus influenza untuk merilis virus-virus baru di akhir proses replikasi. Oseltamivir diberikan secara empiris pada masa awal pandemi COVID-19 karena sulitnya membedakan gejala pasien COVID-19 dan pasien yang terinfeksi virus influenza. Saat ini, oseltamivir dapat ditambahkan pada kondisi dimana pasien dengan COVID-19 dan diduga terinfeksi virus influenza dengan dosis 2 x 75 mg.
Mesenchymal Stem Cell (MSC)/ Sel Punca
Pada prinsipnya pemberian MSCs dapat menyeimbangkan proses inflamasi yang terjadi pada kondisi ALI/ARDS yang ditandai dengan eksudat fibromixoid seluler, inflamasi paru yang luas, edema paru, dan pembentukan membran hyalin. MSCs bekerja sebagai imunoregulasi dengan nekan profilerasi sel T. Selain itu sel punca dapat berinteraksi dengan sel-sel dendritik sehingga menyebabkan pergeseran sel Th-2 proinflamasi menjadi Th anti-inflamasi, termasuk perubahan profil stikoin menuju anti-inflamasi.
Hingga saat ini, belum ada MSCs yang mendapat rekomendasi oleh FDA Amerika sebagai pengobatan COVID-19, dan penggunannya pun dibatasi hanya untuk kepentingan uji klinis, expanded access programs, atau emergency investigational new drug application.
Saat ini, diketahui ada 62 uji klinik yang terdaftar pada clinicaltrial.gov. Salah satu penelitian yang telah terpublikasikan hasilnya adalah pilot study oleh Leng Z dkk. Penelitian MSC dilakukan di Beijing YouAn Hospital, dimana 7 pasien terkonfirmasi COVID-19 (1 pasien termasuk kategori kritis, 4 kategori berat, dan 2 gejala umum) mendapatkan terapi implantasi MSC 1 juta sel/KgBB 1x pemberian ketika klinis memburuk kemudian diobservasi selama 14 hari. 7 pasien yang mendapat terapi MSC sembuh dalam 1-2 minggu setelah inisiasi terapi. Ditemukan perbaikan klinis 2 hari setelah inisiasi, penurunan CRP, kenaikan lmfosit, perbaikan infiltat dari CT scan, dan hasil PCR negatif setelah 1-2 minggu inisiasi terapi.
Di Indonesia sendiri, saat ini uji klinik MSC dilakukan dengan pada empat RS yaitu RSCM, RS Persahabatan, RS UI, dan RS Sulianti Saroso. Uji Klinik dilakukan pada 40 pasien derajat kritis. Kelompok MSC memiliki angka kesembuhan yang lebih baik dibandingkan kelompok kontrol (71,4% vs 28,6%), khususnya pada subjek dengan komorbbid kurang dari 2. Dari 26 subjek yang meninggal, subjek pada kelompok MSC menunjukkan angka kematian 62,5% lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol.
Intravenous Immunoglobulin (IVIG)
Imunoglobulin intravena (IVIG) adalah konsentrat immunoglobulin G yang diisolasi dari plasma donor yang normal. Terapi IVIG menjadi satu alternatif pilihan terapi, terutama pada kasus Covid-19 yang berat. Penelitian untuk IVIG pada Covid-19 belum terlalu banyak, dan sebagian besar adalah laporan kasus tunggal maupun serial, serta studi observasional. Dari berbagai publikasi yang telah ada saat ini, tampaknya terapi dengan IVIg memberikan hasil yang baik, tapi dengan bukti yang masih sangat sedikit dianjurkan penggunaannya terbatas pada kondisi yang berat dan kritis, dan lebih bersifat live saving.
Dosis IVIG yang digunakan pada berbagai studi ini sangat beragam, tapi sebagian besar studi ini menggunakan IVIG dosis besar yaitu sekitar 0,3-0,5 gram/kgBB/hari selama 3 atau 5 hari berturut-turut.
Ivermectin
Ivermectin di Indonesia terdaftar sebagai obat untuk infeksi kecacingan (Strongyloidiasis dan Onchocerciasis). Menurut penelitian secara in vitro yang telah dipublikasikan, Ivermectin memiliki potensi antiviral. Namun, sebagian besar uji klinik menunjukkan hasil yang tidak konsisten mengenai manfaat Ivermectin untuk pasien Covid-19. Sementara itu, data di Indonesia masih menunggu hasil uji klinis yang kini sedang dilakukan di beberapa rumah sakit. Hingga kini, WHO tidak merekomendasikan penggunaan Ivermectin pada pasien Covid-19 kecuali dalam rangka uji klinis.
Terapi Plasma Konvalesen
Terapi plasma konvalesen merupakan terapi antibodi yang bersifat pasif, yaitu memberikan antibodi terhadap penyakit infeksi tertentu kepada sesorang yang bertujuan untuk mengobati atau mencegah orang tersebut terhadap penyakit itu dengan cara memberikan imunitas yang bersifat cepat. Plasma konvalesen diperoleh dari pasien Covid-19 yang telah sembuh, diambil melalui metoda plasmaferesis dan diberikan kepada pasien Covid-19 yang berat atau potensial mengancam nyawa. Terapi plasma konvalesen diberikan bersama-sama dengan terapi standar Covid-19 (anti virus dan berbagai terapi suportif lainnya) dan bertujuan untuk menurunkan angka kematian dengan memberikan antibodi yang spesifik.
Hingga kini, terapi plasma konvalesen pada kasus Covid-19 masih dalam tahap uji klinis di berbagai negara dengan protokol atau prosedur yang bervariasi. Indikasi pemberian terapi plasma konvalesen pada berbagai uji klinis adalah penderita Covid-19 yang berat, tetapi saat ini uji klinis pemberian pada pasien Covid-19 sedang atau berisiko menjadi berat sudah/ sedang berjalan di beberapa senter uji klinis di seluruh dunia.
Kontra indikasi terapi plasma konvalesen adalah riwayat alergi terhadap produk plasma, kehamilan, perempuan menyusui, defisiensi IgA, trombosis akut dan gagal jantung berat dengan risiko overload cairan. Kontraindikasi lainnya bersifat relatif, seperti syok septik, gagal ginjal dalam hemodialisis, koagulasi intravaskular diseminata atau kondisi komorbid yang dapat meningkatkan risiko trombosis pada pasien tersebut.
Dosis plasma konvalesen yang diberikan di berbagai negara/uji klinis sangat bervariasi. Satu unit plasma konvalesen berisi 200 mL. Pemberian plasma konvalesen tambahan berdasarkan pertimbangan dokter dan kondisi klinis pasien. Pasien dengan gangguan fungsi jantung membutuhkan volume lebih kecil dengan waktu transfusi yang lebih panjang. IDAI merekomendasikan dosis plasma konvalesen untuk anak >40 kg adalah 200-500 mL sedangkan anak <40 kg dosis 10-15 mL/kg.
Telaah sistematik (systematic review) pada Cochrane Library menyatakan tidak yakin (‘very uncertain’) apakah kesembuhan pasien semata-mata karena pemberian plasma konvalesen atau faktor-faktor lain seperti: (1) perjalanan alamiah penyakit, atau (2) terapi lain yang diberikan bersamaan. Publikasi Cohrane Library tanggal 21 Mei 2021 menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
- Terapi Plasma konvalesen tidak memiliki keuntungan dalam tatalaksana pasien Covid-19 derajat sedang dan berat/kritis.
- Masih belum jelas efek terapi plasma konvalesen pada pasien Covid-19 derajat ringan atau tanpa gejala.
Berdasarkan hasil penelitian Uji Klinik Pemberian Plasma Konvalesen Terapi Tambahan Covid-19 (PIASENTER) yang dilakukan oleh LitBangKes KemKes RI mendapatkan bahwa:
- Terapi plasma konvalesen masih perlu dilakukan dalam koridor penelitian
- Pada analisis sementara dari hampir 1/3 jumlah target sampel, didapatkan tidak ada perbedaan primary end-point (mortalitas) yang diinginkan
- Hal ini sangat mungkin dipengaruhi oleh karakteristik subjek klinis (95% dalam kondisi Covid-19 berat saat enrollment), dan onset gejala yang lama (>8 hari) dari pemberian plasma sehingga efektivitas pemberian terapi tidak bermanfaat digunakan pada kelompok ini
- Perlu dipertimbangkan pada kelanjutan studi agar dilakukan modifikasi design populasi target (lebih banyak merekrut populasi subjek Covid-19 sedang dengan faktor risiko perberatan, serta onset gejala yang lebih dini) dan mengubah end-point menjadi pencegahan terhadap perburukan klinis
Risiko/ Efek Samping
Efek samping terapi plasma, sama seperti halnya pemberian plasma pada transfusi darah mempunyai risiko terjadinya reaksi transfusi seperti demam, reaksi alergi (gatal/urtikaria hingga Transfusion-Related Acute Lung Injury/TRALI). Monitor terhadap efek samping harus dipantau secara ketat selama dan pasca transfusi plasma konvalesen.
Komponen faktor pembekuan dalam plasma juga dapat memberikan efek samping aktivasi koagulasi dan meningkatkan risiko trombosis. Data menunjukkan bahwa terapi immunoglobulin dari manusia berhubungan dengan peningkatan risiko trombosis sebesar 0,04 – 14,9% pada hari yang sama, dan secara statistik bermakna. Pemberian antikoagulan profilaksis pada pasien-pasien Covid-19 harus berdasarkan penilaian risiko trombosis pada pasien tersebut dan bukan berdasarkan terapi plasma konvalesen saja (lihat “Antikoagulan pada Covid-19”). Karena indikasi terapi plasma konvalesen adalah pada pasien Covid-19 sedang atau berat, umumnya pasien-pasien tersebut sudah mempunyai indikasi untuk tromboprofilaksis sehingga antikoagulan profilaksis dapat dilanjutkan jika tidak terdapat kontraindikasi.
Vaksinasi
Vaksinasi merupakan salah satu cara paling efektif dalam mencegah penyakit akibat infeksi. Akibat pandemi Covid-19, terdapat risiko berkurangnya pelaksanaan vaksinasi yang diwajibkan, baik akibat meningkatnya beban sistem kesehatan terhadap Covid-19 ataupun berkurangnya minat dari masyarakat akibat pelaksanaan social distancing. Hal ini dikhawatirkan dapat menyebabkan timbulnya outbreak baru dari vaccine preventable diseases, seperti hepatitis A. Oleh sebab itu, pelaksanaan vaksinasi harus diatur sedemikian rupa sehingga dijalankan dalam kondisi yang aman, tanpa menyebabkan risiko penyebaran Covid- 19 terhadap petugas kesehatan dan masyarakat.
Vaksinasi untuk Covid-19 saat ini masih dalam pengembangan. Beberapa calon vaksin telah masuk uji klinis fase 3 dan diperkirakan akan diedarkan 3-4 bulan yang akan datang. World Health Organization (WHO) merekomendasikan vaksinasi influenza rutin setiap tahun khususnya untuk individu risiko tinggi seperti lanjut usia, wanita hamil, anak-anak, orang-orang dengan penyakit kronis tertentu dan petugas kesehatan. Vaksinasi influenza memang tidak secara spesifik dapat melindungi dari infeksi Covid-19. Namun, ada beberapa alasan WHO merekomendasikan vaksinasi influenza di masa pandemi Covid-19. Pertama, untuk mengontrol infeksi influenza pada individu risiko tinggi yang rentan mengalami infeksi Covid-19 berat sehingga dapat mengurangi angka rawat inap dan paparan dari virus SARS CoV-2 selama perawatan.
Kedua, mengurangi beban sistem pelayanan kesehatan dari pasien-pasien yang mengalami infeksi influenza. Ketiga, mengurangi angka ketidakhadiran dari petugas medis yang penting dalam penanganan Covid-19.
American College of Cardiology (ACC) merekomendasikan vaksinasi influenza dan pneumonia diberikan kepada individu dengan komorbid penyakit kardiovaskuler dan serebrovaskuler. Tujuan vaksinasi influenza dari rekomendasi ACC sama seperti penjelasan WHO yaitu untuk mengurangi komplikasi dan beban pelayanan kesehatan akibat influenza. Vaksinasi pneumonia bermanfaat untuk mencegah infeksi sekunder akibat bakteri dari penderita Covid-19.
Saat ini sudah ada 7 vaksin yang telah melewati uji klinis dan disebarluaskan ke masyarakat di antaranya vaksin produksi Pfizer/BioNTech, Moderna, AstraZeneca/Oxford, Sinovac Biotech, Gamaleya, CanSino Biologics, dan Sinopharm dan ratusan juta manusia di seluruh dunia sudah mendapatkan vaksin COVID-19. Vaksin yang saat ini ada di Indonesia adalah vaksin dari Sinovac dan AstraZeneca. Platform-platform lain diharapkan segera tersedia di Indonesia.
Vaksin | Platform | Dosis | Interval (hari) | Efikasi |
---|---|---|---|---|
Sinovac | Inactivated virus | 2x IM | 14-28 hari | 65-91% |
Sinopharm | Inactivated virus | 2x IM | 14-21 hari | 86% |
AstraZeneca | Viral vector | 2x IM | 28 | 62-90% |
Cansino | Viral vector | 2x IM | 21 | 65-90% |
Gamaleya (Sputnik V) | Viral vector | 2x IM | 21 | 95% |
Johnson & Johnson | Viral vector | 1x IM | – | 66% |
Novavax | Protein subunit | 2x IM | 21 | 89% |
Moderna | RNA | 2x IM | 28 | 95% |
Pfizer/ BioNTech | RNA | 2x IM | 28 | 95% |
Vaksinasi Covid-19 pada kelompok khusus seperti lansia (usia >60 tahun), pasien dengan komorbid, penyintas Covid-19, dan ibu menyusui dapat diberikan mengikuti petunjuk teknis sesuai surat edaran kemenkes HK.02.02/I/368/2021. Kelompok lansia diberikan 2 dosis dengan interval pemberian 28 hari. Selain itu, terdapat beberapa pertanyaan tambahan terkait skor kerapuhan (frailty) yang mencakup kesulitan naik 10 anak tangga, sering merasa kelelahan, memiliki ≥5 dari 11 penyakit penyerta, kesulitan berjalan 100-200 meter, dan mengalami penurunan berat badan yang signifikan dalam setahun terakhir. Untuk pasien dengan hipertensi dapat divaksinasi kecuali bila tekanan darah lebih dari 180/110 mmHg, setelah tekanan darah <180/110 mmHg dapat dilakukan vaksinasi.
Pasien dengan penyakit autoimun, riwayat reaksi anafilaksis (bukan akibat vaksinasi Covid-19), alergi obat, alergi makanan, rinitis alergi, urtikaria, dermatitis atopik, HIV, Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), asma, Interstitial Lung Disease (ILD), penyakit hati, transplantasi hati (minimal 3 bulan pasca transplan), hipertensi (bila tekanan darah <180/110 mmHg dan atau tidak ada kondisi akut seperti krisis hipertensi), penyakit ginjal kronik (PGK) dialisis (hemodialisis dan dialisis peritoneal) dan non-dialisis, transplantasi ginjal, gagal jantung, penyakit jantung koroner, penyakit jantung bawaan, aritmia, penyakit gastrointestinal, diabetes melitus tipe 2, obesitas, hipertiroid dan hipotiroid (autoimun ataupun non-autoimun), nodul tiroid, donor darah (darah lengkap/whole blood), penyakit gangguan psikosomatis, dapat divaksinasi selama tidak ada komplikasi akut dan atau dalam keadaan terkontrol.
Pasien dengan kanker darah, kanker tumor padat, kelainan darah seperti talasemia, imunohematologi, hemofilia, gangguan koagulasi dan kondisi kelainan darah lainnya kelayakan dari individu ini untuk vaksinasi ditentukan oleh dokter ahli di bidang terkait, konsulkan terlebih dahulu sebelum pemberikan vaksin Covid-19.
Individu yang ditunda vaksinasinya apabila terdapat:
- Reaksi alergi berupa anafilaksis dan reaksi alergi berat akibat vaksin Covid-19 dosis pertama ataupun akibat dari komponen yang sama dengan yang terkandung dalam vaksin Covid-19
- Individu yang sedang mengalami infeksi akut. Jika Infeksinya sudah teratasi maka dapat dilakukan vaksinasi Covid-19. Pada infeksi TB, pengobatan OAT perlu diberikan dulu minimal 2 minggu sebelum dilakukan vaksinasi
- Individu dengan penyakit imunodefisiensi primer
Apabila terdapat keraguan, maka konsultasikan dengan dokter yang merawat, dan bila diperlukan dapat meminta surat layak vaksin dari dokter yang merawat tersebut.
Setelah pemberian vaksin dapat muncul kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI). Beberapa KIPI non-serius atau wajar yang sering muncul meliputi demam, lemas, mengantuk, nyeri sendi, nyeri otot, sakit kepala, dan nyeri di tempat penyuntikan. Selain itu, perlu diperhatikan juga kemungkinan terjadinya reaksi lain seperti reaksi alergi berupa gatal dan bengkak, reaksi anafilaksis, serta syncope atau pingsan. Reaksi KIPI yang muncul umumnya ringan, sementara, dan tidak selalu ada; bergantung pada kondisi tubuh. Akan tetapi perlu ditekankan bahwa walaupun terdapat risiko terjadinya KIPI, manfaat vaksin masih jauh lebih besar dibandingkan risiko sakit Covid-19 akibat tidak divaksin.
Individu yang sudah divaksin masih mungkin terinfeksi COVID-19 karena tidak ada vaksin yang mencegah infeksi COVID-19 secara penuh. Pada individu yang baru menerima dosis pertama, antibodi terbentuk masih dalam jumlah rendah. Akan tetapi, meskipun kekebalan tubuh sudah lebih meningkat setelah dosis kedua, bila terdapat paparan terhadap virus dalam jumlah banyak dan berulang kali, maka individu tersebut masih mungkin terinfeksi. Oleh sebab itu, setelah mendapat vaksin sebanyak dua dosis, protokol kesehatan harus tetap dilaksanakan secara ketat.
N-Asetilsistein
Infeksi SARS-CoV-2 atau COVID-19 berhubungan dengan ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan yang mengakibatkan inflamasi dan kerusakan jaringan. Glutation merupakan antioksidan yang banyak ditemukan di tubuh dan berperan dalam melindungi sel dari stres oksidatif. N- asetilsistein (NAC), yang sering digunakan sebagai obat mukolitik, memiliki sifat antioksidan secara langsung maupun secara tidak langsung melalui pelepasan gugus sistein sebagai senyawa prekursor dalam proses sintesis glutation. Berbagai penelitian sebelumnya, data awal penelitian terhadap COVID-19 dan ulasan patofisiologis mengarahkan bahwa sifat antioksidan N-asetilsistein dapat bermanfaat sebagai terapi dan/atau pencegahan COVID-19. Uji klinis NAC pada COVID19 masih sangat terbatas. Dosis yang digunakan adalah di atas/sama dengan 1200 mg per hari oral ataupun intravena, terbagi 2-3 kali pemberian.
Terdapat 1 uji klinis oleh de Alencar dkk yang menilai efektivitas NAC sebagai profilaksis gagal napas pada pasien COVID-19 dengan distress pernapasan akut berat. Hasil menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna pada kebutuhan ventilasi mekanik, angka kematian, masuk ICU, lama perawatan di ICU, dan lama perawatan di RS. Beberapa studi klinis fase 2 dan 3 lainnya sedang berjalan dan hasilnya baru didapat sekitar tahun 2021.
Kolkisin
Saat ini terdapat beberapa penelitian yang berusaha menilai efektivitas kolkisin untuk COVID-19. Ada beberapa hipotesis mekanisme kerja dari kolkisin pada COVID-19, diantaranya adalah (1) menghambat ekspresi E-selectin dan L-selecin (mencegah perlekatan netrofil di jaringan); (2) mengubah struktur sitoskeleton netrofil (mengganggu proses perpindahan netrofil); (3) menghambat NLRP3 inflammasom (mengambah badai sitokin); dan (4) mengambat netrofil elastase (mencegah aktivasi / agregasi platelet).
Sebuah RCT dari Lopes dkk menilai pemberian kolkisin sebagai terapi adjuvant pada pasien COVID-19 dibandingkan dengan yang hanya mendapat terapi standar saja. Penelitian menunjukkan bahwa pemberian kolkisin dapat menurunkan kebutuhan penggunaan oksigen, menurunkan lama rawat, dan menurunkan CRP. Saat ini, kolkisin sedang diteliti lebih lanjut dalam RECOVERY Trial, melibatkan 18.000 pasien di Inggris.
Dosis yang digunakan pada RCT open label oleh Deftereos dkk adalah 1,5 mg loading dose diikuti oleh 0,5 mg setelah 1 jam dan dosis maintenance 0,5 mg seminggu 2 kali selama 3 minggu. RCT double blind Lopes dkk menggunakan dosis 3 x 0,5 mg selama 5 hari diikuti 2 x 0,5 mg untuk 5 hari berikutnya. Sedangkan RCT double blind Tardif dkk memakai dosis 2 x 0,5 mg untuk 3 hari, diikuti 1 x 0,5 mg untuk 27 hari selanjutnya. Kemudian studi kohort prospektif yang dilakukan Pinzon dkk menggunakan dosis 2 x 0,5 mg untuk 7-14 hari.
Spironolakton
Reseptor ACE-2, regulasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS), dan TMPRSS2 (transmembrane portease, serine 2) adalah faktor yang berpengaruh terhadap infektivitas dan kemampuan SARS-CoV-2 untuk masuk ke dalam sel. Ekspresi ACE-2 dan regulasi RAAS mengalami abnormalitas pada pasien hipertensi dan obesitas, sedangkan TMPRSS2 mengalami ekspresi berlebihan ketika terpapar oleh androgen.
Spironolakton merupakan salah satu jenis mineralokortikoid yang memiliki efek antagonis reseptor androgen, antihipertensi, kardioprotektif, dan nefroprotektif. Spironolakton dihipotesiskan mampu memitigasi abnormalitas ekspresi ACE-2, memperbaiki keseimbangan ACE-2 yang tersirkulasi dan terikat pada membrane, mengambat aktivitas TMPRSS2 yang termediasi androgen, dan memperbaiki disfungsi RAAS yang berpotensi mengurangi pematangan virus. Oleh karena itu, spironolakton berpotensi memberikan efek protektif terhadap SARS-CoV-2, terutama pada stadium awal.
Sampai saat ini, terdapat beberapa uji klinis pemberian spironolakton pada COVID-19 yang sedang atau akan berjalan, diantaranya CONVIDANCE trial (NCT04643691), dan BISCUIT trial (NCT04424134).
Bronkoskopi
Bronkoskopi merupakan salah satu tindakan di bidang respirasi yang dibatasi penggunaannya, mengingat COVID- 19 merupakan penyakit yang sangat infeksius sehingga bronkoskopi belum menjadi rekomendasi baku untuk penegakan diagnosis pneumonia viral. Tindakan bronkoskopi merupakan tindakan yang dapat membuat aerosol ataupun droplet yang dapat menjadi media penularan COVID-19 yang sangat menular sehingga sebisa mungkin sebaiknya ditunda dengan mempertimbangkan berbagai hal terutama keselamatan tenaga kesehatan serta indikasi tindakan bronkoskopi diagnostik maupun terapeutik.
Indikasi tindakan bronkoskopi pada pasien COVID-19 atau suspek Covid-19 adalah terjadi kondisi kegawat daruratan pada pasien Covid-19 atau suspek COVID-19 yang memerlukan tindakan bronkoskopi terapeutik, misal: mucuous plug pada pasien Covid-19 atau pasien suspek Covid-19 yang terintubasi, intubasi sulit yang memerlukan panduan bronkoskopi maupun indikasi urgent lainnya sesuai pertimbangan dokter penanggung jawab pasien (DPJP) atau Tim Terapi. Apabila hal ini dilakukan, tindakan bronkoskopi dilakukan di ruang isolasi bertekanan negatif dan seluruh tenaga medis harus menggunakan APD lengkap.
Therapeutic Plasma Exchange (TPE)
Pengobatan Covid-19 yang pada dasarnya sampai saat ini adalah supportif terapi membuat bebrapa modalitas terapi yang diperkirakan dapat mengatasi hipersitokinemia/ cytokine storm menjadi suatu suatu pemikiran, salah satunya therapeutic plasma exchange (TPE)/Plasmapheresis.
TPE adalah pemisahan plasma dari komponen darah lain yang mana TPE dapat mengeluarkan antibody, kompleks imun, lipoptotein, macromolecules, juga toksin dan molekul inflamasi yang ada dalam plasma. Pada infeksi virus tdk diperlukan TPE dikarenakan sifatnya yang self limiting. Akan tetapi pada beberapa kasus autoimun hal ini masih digunakan untuk mengatasi badai sitokin yang sering terjadi, walaupun level of evidence terkait hal ini lemah. Pada kasus virus hepatitis C Double-Filtration Plasmapheresis (DFPP) dimasukkan dalam terapi tambahan untuk mengurangi viral load sehingga diharapkan keberhasilan terapi lebih tinggi. Juga pada pasien dengan artritis remautoid dalam mengurangi inflamasi pada saat kondisi aktif. DFPP dapat menyaring partikel yang lebih besardari 55-60 nm dan SARS COV2 berukuran 60-140 nm.
Secara pathogenesis Tindakan TPE pada pasien Covid 19 sebagai terapi tambahan dapat dipertimbangkan untuk dapat mengurangi sitokin juga mediator inflamasi lainnya, hanya saja sampai saat ini hanya ada beberapa laporan kasus dan belum ada penelitian lebih luas terkait hal ini. Atas dasar hal tersebut TPE harus dipertimbangkan dengan seksama sebelum menerapkannya pada pasien Covid 19.
Kriteria Selesai Isolasi, Sembuh, dan Pemulangan
- Kriteria Selesai Isolasi. Pasien konfirmasi yang dinyatakan selesai isolasi, sebagai berikut:
- Kasus konfirmasi tanpa gejala (asimtomatik) Pasien konfirmasi asimtomatik tidak dilakukan pemeriksaan follow up RT-PCR. Dinyatakan selesai isolasi apabila sudah menjalani isolasi mandiri selama 10 hari sejak pengambilan spesimen diagnosis konfirmasi.
- Kasus konfirmasi dengan gejala ringan dan gejala sedang Pasien konfirmasi dengan gejala ringan dan gejala sedang tidak dilakukan pemeriksaan follow up RT-PCR. Dinyatakan selesai isolasi harus dihitung 10 hari sejak tanggal onset dengan ditambah minimal 3 hari setelah tidak lagi menunjukkan gejala demam dan gangguan pernapasan.
- Pada kasus konfimasi gejala sedang dengan komorbid dan/atau yang kemungkinan berpotensi terjadi perburukan dapat dilakukan evaluasi ulang dengan RT- PCR.
- Kasus konfirmasi dengan gejala berat/kritis yang dirawat di rumah sakit
- Kasus konfirmasi dengan gejala berat/kritis yang dirawat di rumah sakit dinyatakan selesai isolasi apabila telah mendapatkan hasil pemeriksaan follow up RT-PCR 1 kali negatif ditambah minimal 3 hari tidak lagi menunjukkan gejala demam dan gangguan pernapasan.
- Dalam hal pemeriksaan follow up RT-PCR tidak dapat dilakukan, maka pasien kasus konfirmasi dengan gejala berat/kritis yang dirawat di rumah sakit yang sudah menjalani isolasi selama 10 hari sejak onset dengan ditambah minimal 3 hari tidak lagi menunjukkan gejala demam dan gangguan pernapasan, dinyatakan selesai isolasi, dan dapat dialihrawat non isolasi atau dipulangkan.
- Contoh:
- Jika seorang pasien memiliki gejala selama 2 hari, maka pasien dapat keluar dari ruang isolasi setelah 10 hari + 3 hari = 13 hari dari tanggal pertama kali muncul gejala atau onset gejala
- Jika seorang pasien dengan gejala selama 14 hari, maka pasien dapat keluar dari ruang isolasi setelah 14 hari + 3 hari = 17 hari setelah tanggal pertama kali onset gejala
- Jika seorang pasien dengan gejala selama 30 hari, maka pasien dapat keluar ruang isolasi setelah 30 hari + 3 hari = 33 hari setelah tanggal pertama kali onset gejala
- Kriteria Sembuh.
- Pasien konfirmasi tanpa gejala, gejala ringan, gejala sedang, dan gejala berat/kritis dinyatakan sembuh apabila telah memenuhi kriteria selesai isolasi dan dikeluarkan surat pernyataan selesai pemantauan, berdasarkan penilaian dokter di fasyankes tempat dilakukan pemantauan atau oleh DPJP.
- Pasien konfirmasi dengan gejala berat/kritis dimungkinkan memiliki hasil pemeriksaan follow up RT-PCR persisten positif, karena pemeriksaan RT-PCR masih dapat mendeteksi bagian tubuh virus COVID-19 walaupun virus sudah tidak aktif lagi (tidak menularkan lagi). Terhadap pasien tersebut, maka penentuan sembuh berdasarkan hasil assessmen yang dilakukan oleh DPJP.
- Kriteria pemulangan.
- Pasien dapat dipulangkan dari perawatan di rumah sakit, bila memenuhi kriteria selesai isolasi dan memenuhi kriteria klinis sebagai berikut:
- Hasil kajian klinis menyeluruh termasuk diantaranya gambaran radiologis menunjukkan perbaikan, pemeriksaan darah menunjukan perbaikan, yang dilakukan oleh DPJP menyatakan pasien diperbolehkan untuk pulang.
- Tidak ada tindakan/perawatan yang dibutuhkan oleh pasien, baik terkait sakit COVID-19 ataupun masalah kesehatan lain yang dialami pasien.
- DPJP perlu mempertimbangkan waktu kunjungan kembali pasien dalam rangka masa pemulihan. Khusus pasien konfirmasi dengan gejala berat/kritis yang sudah dipulangkan tetap melakukan isolasi mandiri minimal 7 hari dalam rangka pemulihan dan kewaspadaan terhadap munculnya gejala COVID-19, dan secara konsisten menerapkan protokol kesehatan.
- Pasien dapat dipulangkan dari perawatan di rumah sakit, bila memenuhi kriteria selesai isolasi dan memenuhi kriteria klinis sebagai berikut:
- Catatan: Bagi daerah yang memiliki fasilitas pemeriksaan PCR yang memadai, WHO masih memberikan persetujuan kriteria sembuh berdasarkan hasil PCR Coronavirus SARS-CoV-2 dari swab hidung/tenggorok/aspirat saluran napas 2 kali berturut-turut negatif dalam selang waktu > 24 jam. Namun, ketentuan ini dapat dipakai bilamana memungkinkan terutama dengan mempertimbangkan faktor pembiayaan
Covid-19 Persisten Positif
Persisten positif pada COVID-19 ditemukan pada pasien yang sudah mengalami perbaikan kondisi pasca terdiagnosis COVID-19 namun hasil pemeriksaan RT-PCR tidak konversi menjadi negatif, atau dalam kata lain alat RT-PCR masih dapat mendeteksi virus dari spesimen pasien. Beberapa hipotesis menyatakan bahwa hasil persisten positif disebabkan oleh alat yang masih mendeteksi komponen-komponen virus yang sudah inaktif. Beberapa penelitian menemukan bahwa pasien yang sudah tidak menunjukkan gejala bahkan masih memperlihatkan hasil positif pada RT-PCR dalam beberapa minggu setelah gejala hilang. Penelitian oleh Li dkk di Korea menemukan bahwa pada pasien yang sudah bebas gejala, RT PCR masih menunjukkan hasil positif hingga 12 minggu setelah gejala hilang akibat masih adanya sisa-sisa virus itu sendiri. Cento dkk. mendapatkan bahwa hasil persisten positif masih bisa didapatkan seseorang hingga hari ke 60 setelah selesai perawatan. Penelitian ini juga memperlihatkan bahwa walaupun terjadi persisten positif, didapatkan bahwa viral load yang terdeteksi semakin lama semakin berkurang. Berdasarkan hal tersebut, maka penentuan selesai rawat seorang pasien sangat bergantung dari penilaian klinis oleh dokter yang dibantu dengan RT-PCR yang dilakukan sebagai penunjang. Pasien dengan positif persisten dengan viral load yang rendah tetap diwarankan untuk isolasi mandiri dan menjalankan protokol kesehatan hingga hasil RT-PCR konversi.
Kasus Reinfeksi
Beberapa penelitian melaporkan adanya kasus reinfeksi COVID-19. Selang waktu terjadinya reinfeksi sangat bervariasi, mulai dari beberapa minggu hingga beberapa bulan setelah dinyatakan sembuh. Mekanisme reinfeksi masih belum diketahui lebih lanjut. Terdapat laporan yang menyatakan bahwa kasus reinfeksi terjadi karena ada dua virus dengan tipe yang berbeda yang menginfeksi seseorang, dimana hal ini sudah dibuktikan dengan analisis genom. Walaupun begitu tidak menutup kemungkinan terjadinya kasus reinfeksi dengan tipe virus yang sama. Terdapat setidaknya tiga hipotesis lebih lanjut mengenai kasus reinfeksi, antara lain viral load yang lebih tinggi pada infeksi kedua, kemungkinan etiologi virus yang lebih virulen pada infeksi kedua, serta peningkatan respon imun tertentu akibat adanya sel imun yang melemah akibat virus yang menginfeksi dengan media berupa antibodi. Mekanisme ini serupa dengan kasus betacoronavirus yang akhirnya dapat menyebabkan sindrom pernafasan akut yang parah.
Fenomena Long Covid-19
Pada keadaan normal, seorang pasien COVID-19 akan mengalami perbaikan kondisi setelah 2-6 minggu setelah terinfeksi. Pada Fenomena long COVID-19 didapatkan adanya gejala COVID-19 yang dapat bertahan pada seseorang atau muncul kembali berminggu-minggu hingga berbulan-bulan setelah pasien pulih. Beberapa gejala yang termasuk ke dalam fenomena ini antara lain batuk, sesak nafas, anosmia, ageusia, sakit kepala, nyeri pada tubuh, diare, mual, kelelahan, nyeri abdomen dan nyeri badan, hingga gejala neurologis. Keadaan Long COVID-19 ini dapat menyerang berbagai kelompok usia. Salah satu studi menyatakan bahwa pada kelompok usia 18-34 tahun didapatkan 20% pasien dengan gejala yang berkepanjangan. Beberapa ahli juga menyatakan bahwa gejala berkepanjangan ini sebagai Lingering Symptoms dengan gejala berupa brain fog atau kesulitan berpikir, tarikan nafas yang memendek, aritmia, hingga terjadinya hipertensi. Hal ini dihipotesiskan terjadi akibat infeksi langsung virus terhadap masing-masing organ. Carfi dkk. menyatakan bahwa 87.4% pasien COVID-19 yang sudah perbaikan akan tetap mengalami gejala persisten hingga 60 hari. Hal ini kemudian perlu menjadi pantauan bagi tenaga kesehatan karena dengan gejala yang berkepanjangan, bukan tidak mungkin kualitas hidup pasien akan menurun dan tidak menutup kemungkinan terjadinya perburukan kembali pada pasien.
Rangkuman Terapi dan Algoritma
Klasifikasi (WHO) | Pemeriksaan | Antivirus | Anti-inflamasi | Vitamin & Suplemen | Pengobatan Lain |
---|---|---|---|---|---|
Ringan | DPL, swab PCR | Oseltamivir ATAU Favipiravir | Vitamin C Vitamin D Vitamin E | Terapi O2 arus rendah | |
Sedang | DPL, PCR, AGD, GDS, SGOT/SGPT, ureum, kreatinin, D- dimer, ferritin, troponin, IL- 6, k/p NT proBNP, XRay Thorax (k/p CT scan) | Favipiravir ATAU Remdesivir | Kortikosteroid, antiinterleukin-6 (jika sangat dipertimbangkan) | Vitamin C Vitamin D Vitamin E | Plasma konvalesens, sel punca Terapi Terapi O2: Noninvasif: arus sedang-tinggi (HFNC) |
Berat | DPL, PCR, seri AGD, GDS, SGOT/SGPT, Ureum, Kreatinin, D- dimer, ferritin, troponin, IL- 6, k/p NT proBNP, k/p CK-CKMB, CT scan | Favipiravir ATAU Remdesivir | Kortikosteroid, antiinterleukin-6 | Vitamin C Vitamin D Vitamin E | Plasma konvalesens, sel punca IVIG HFNC/ Ventilator |
Kritis | DPL, PCR, seri AGD, GDS, SGOT/SGPT, ureum, kreatinin, D- dimer, ferritin, troponin, IL- 6, k/p NT proBNP, k/p CK-CKMB, CT scan | Favipiravir ATAU Remdesivir | Kortikosteroid, antiinterleukin-6 | Vitamin C Vitamin D Vitamin E | Sel punca IVIG Ventilator/ ECMO |
Keterangan:
- Ringkasan kombinasi pilihan obat dapat dilihat pada Tabel 2
- Untuk anak dosis harap disesuaikan
- Vitamin C diberikan dengan dosis tertinggi sesuai dengan ketersediaan di rumah sakit
- Oseltamivir diberikan terutama bila diduga ada infeksi karena influenza
- Favipiravir (Avigan) tidak boleh diberikan pada wanita hamil atau yang merencanakan kehamilan. Dan harus diperhatikan penggunaannya pada pasien dengan gangguan fungsi hati berat.
- Klorokuin fosfat, hidroksiklorokuin, dan kombinasi lopinavir + ritonavir (Aluvia) sudah tidak digunakan lagi di Indonesia karena emergency use authoriazation (EUA) dari BPOM telah dicabut. Obat-obatan ini hanya digunakan dalam keadaan tidak ada obat antiviral lain yang tersedia.
- Algoritma penanganan pasien COVID-19 dapat dilihat pada Gambar 4
Tatalaksana Covid-19 Kasus Belum Terkonfirmasi
Dalam hal ini berarti pasien yang termasuk ke dalam kelompok pasien kontak erat, pasien suspek, dan probable Covid-19.
Tanpa Gejala
- Kasus kontak erat yang belum terkonfirmasi dan tidak memiliki gejala harus melakukan karantina mandiri di rumah selama maksimal 14 hari sejak kontak terakhir dengan kasus probable atau konfirmasi COVID-19
- Diberi edukasi apa yang harus dilakukan (leaflet untuk dibawa ke rumah)
- Vitamin C dengan pilihan:
- Tablet Vitamin C non-acidic 500 mg/6-8 jam oral (untuk 14 hari)
- Tablet isap vitamin C 500 mg/12 jam oral (selama 30 hari)
- Multivitamin yang mengandung vitamin C 1-2 tablet /24 jam (selama 30 hari)
- Dianjurkan multivitamin yang mengandung vitamin C, B, E, Zinc
- Vitamin D:
- Suplemen: 400 IU-1000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet, kapsul, tablet effervescent, tablet kunyah, tablet hisap, kapsul lunak, serbuk, sirup)
- Obat: 1000-5000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet 1000 IU dan tablet kunyah 5000 IU)
- Obat-obatan suportif baik tradisional (Fitofarmaka) maupun Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) yang teregistrasi di BPOM dapat dipertimbangkan untuk diberikan namun dengan tetap memperhatikan perkembangan kondisi klinis pasien.
- Khusus petugas Kesehatan yang kontak erat, segera dilakukan pemeriksaan RT-PCR sejak kasus dinyatakan sebagai kasus probable atau konfirmasi
Derajat Ringan
- Isolasi dan pemantauan
- Melakukan isolasi mandiri selama maksimal 14 hari dirumah
- Pemeriksaan laboratorium PCR swab nasofaring dilakukan oleh petugas laboratorium setempat atau FKTP pada hari 1 dan 2 dengan selang waktu > 24 jam serta bila ada perburukan sesuai dengan Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) Revisi ke-5, Kementerian Kesehatan RI.
- Pemantauan terhadap suspek dilakukan berkala selama menunggu hasil pemeriksaan laboratorium yang dilakukan oleh FKTP
- Non-farmakologis
- Pemeriksaan Hematologi lengkap di FKTP, contohnya Puskesmas
- Pemeriksaan yang disarankan terdiri dari hematologi rutin, hitung jenis leukosit, dan laju endap darah.
- Foto toraks
- Diberi edukasi apa yang harus dilakukan (leaflet untuk dibawa ke rumah)
- Pribadi:
- Pakai masker jika keluar
- Jaga jarak dengan keluarga
- Menerapkan etika batuk (Diajarkan oleh petugas medis kepada pasien)
- Alat makan minum segera dicuci dengan air/sabun
- Berjemur sekitar 10-15 menit pada sebelum jam 9 pagi dan setelah jam 3 sore
- Pakaian yg telah dipakai sebaiknya masukkan dalam kantong plastik/wadah tertutup sebelum dicuci dan segera dimasukkan mesin cuci
- Ukur dan catat suhu tubuh tiap jam 7 pagi dan jam 19 malam. Sedapatnya memberikan informasi ke petugas pemantau/FKTP atau keluarga jika terjadi peningkatan suhu tubuh >38°C
- Lingkungan kamar:
- Perhatikan ventilasi, cahaya dan udara
- Sebaiknya saat pagi membuka jendela kamar
- Saat membersihkan kamar pakai APD (masker dan goggles)
- Bersihkan kamar setiap hari, bisa dengan air sabun atau bahan desinfektasn lainnya
- Keluarga:
- Kontak erat sebaiknya memeriksakan diri
- Anggota keluarga senantiasa pakai masker
- Jaga jarak minimal 1 meter
- Senantiasa ingat cuci tangan
- Jangan sentuh daerah wajah kalau tidak yakin tangan bersih
- Ingat senantiasa membuka jendela rumah agar sirkulasi udara tertukar
- Bersihkan sesering mungkin daerah yg mungkin tersentuh pasien misalnya gagang pintu dll
- Pribadi:
- Farmakologis
- Vitamin C dengan pilihan:
- Tablet Vitamin C non-acidic 500 mg/6-8 jam oral (untuk 14 hari)
- Tablet isap vitamin C 500 mg/12 jam oral (selama 30 hari)
- Multivitamin yang mengandung vitamin C 1-2 tablet /24 jam (selama 30 hari)
- Dianjurkan multivitamin yang mengandung vitamin C, B, E, Zinc
- Vitamin D:
- Suplemen: 400 IU-1000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet, kapsul, tablet effervescent, tablet kunyah, tablet hisap, kapsul lunak, serbuk, sirup)
- Obat: 1000-5000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet 1000 IU dan tablet kunyah 5000 IU)
- Obat-obatan suportif baik tradisional (Fitofarmaka) maupun Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) yang teregistrasi di BPOM dapat dipertimbangkan untuk diberikan namun dengan tetap memperhatikan perkembangan kondisi klinis pasien.
- Azitromisin 500 mg/24 jam/oral (untuk 3 hari) kalau tidak ada bisa pakai Levofloksasin 750 mg/24 jam (5 hari) bila dicurigai ada infeksi bakteri, sambil menunggu hasil swab.
- Simtomatis (Parasetamol dan lain-lain)
- Vitamin C dengan pilihan:
Derajat Sedang, Berat, dan Kritis
- Isolasi dan pemantauan
- Rawat di Rumah Sakit /Rumah Sakit Rujukan sampai memenuhi kriteria untuk dipulangkan dari Rumah Sakit
- Dilakukan isolasi di Rumah Sakit sejak seseorang dinyatakan sebagai kasus suspek. Isolasi dapat dihentikan apabila telah memenuhi kriteria sembuh.
- Pemeriksaan laboratorium PCR swab nasofaring hari 1 dan 2 dengan selang waktu > 24 jam sesuai dengan Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease 2019 (COVID-19)
- Pikirkan kemungkinan diagnosis lain
- Non-farmakologis
- Istirahat total, asupan kalori adekuat, kontrol elektrolit, status hidrasi (terapi cairan), dan oksigen
- Pemantauan laboratorium Darah Perifer Lengkap berikut dengan hitung jenis, bila memungkinkan ditambahkan dengan CRP, fungsi ginjal, fungsi hati, Hemostasis, LDH, D-dimer.
- Pemeriksaan foto toraks serial
- Farmakologis
- Bila ditemukan pneumonia, tatalaksana sebagai pneumonia yang dirawat di Rumah Sakit.
- Kasus pasien suspek dan probable yang dicurigai sebagai COVID-19 dan memenuhi kriteria beratnya penyakit dalam kategori sedang atau berat atau kritis (lihat bab definisi kasus) ditatalaksana seperti pasien terkonfirmasi COVID-19 sampai terbukti bukan.
Strategi Manajemen Tatalaksana Covid-19 di ICU
Strategi Ventilasi Mekanik
Saat ini manifestasi paru dari COVID-19 dijelaskan sebagai sebuah spektrum dengan 2 titik. Titik awal adalah infeksi COVID-19 tipe L yang merespons pemberian terapi oksigen konvensional dan infeksi COVID-19 tipe H yang memerlukan terapi oksigen dengan tekanan yang lebih tinggi.
- Terapi awal O2
- Segera berikan oksigen dengan nasal kanul atau face mask
- Jika tidak respon, gunakan HNFC
- NIV boleh dipertimbangkan jika tidak terdapat HFNC dan tidak ada tanda-tanda kebutuhan intubasi segera, tetapi harus disertai dengan NIV disertai dengan monitoring ketat. Tidak ada rekomendasi mengenai jenis perangkat NIV yang lebih baik.
- Target SpO2 tidak lebih dari 96%
- Segera intubasi dan beri ventilasi mekanik jika terjadi perburukan selama penggunaan HFNC ataupun NIV atau tidak membaik dalam waktu 1 jam.
- Pengaturan ventilasi mekanik:
- Ventilatory setting
- Mode ventilasi dapat menggunakan volume maupun pressure based
- Volume tidal (TV) awal 8 ml/kgBB
- Titrasi TV dengan penurunan sebesar 1 ml/kgbb setiap 2 jam sampai mencapai TV 6 ml/kgBB
- Rentang TV yang disarankan adalah 4-8 ml/kgBB
- Gunakan predicted body weight untuk menghitung TV. Adapun rumus perhitungan predicted body weight adalah sebagai berikut:
- Laki-laki = 50 + (0,91 [tinggi badan (cm) – 152.4])
- Perempuan = 45.5 + (0,91 [tinggi badan (cm) – 152.4])
- Laju nafas diatur dengan memperhitungan ventilasi semenit yang adekuat.
- Tekanan plateau (Pplat) < 30 cmH2O
- Periksa Pplat setiap 4 jam atau setelah perubahan PEEP dan TV
- Jika Pplat> 30 cmH2O: turunkan TV sebesar 1ml/kg secara bertahap (minimal = 4 mL/kg).
- Jika Pplat< 25 cmH2O dan TV< 6 ml/kg, naikkan TV sebesar 1 ml/kg secara bertahap sampai Pplat>25 cmH2O atau TV =6ml/kg.
- Jika Pplat< 30 dan terjadi asinkroni: boleh naikkan TV sebesar 1ml/kg secara bertahap sampai 7 atau 8 ml/kg selama Pplat tetap < 30 cmH2O.
- Gunakan tekanan positif akhir ekspirasi (PEEP) tinggi pada tipe H, sedangkan pada tipe L, batasi dengan PEEP maksimal 8-10 cmH2O.
- Hati-hati barotrauma pada penggunaan PEEP > 10 cmH2O
- Sesuaikan FiO2 dengan PEEP yang diberikan dengan menggunakan tabel ARDSnet (Tabel 5) untuk Covid-19 tipe H.
- Target oksigenasi PaO2 55-80 mmHg atau SpO2 88-95%
- Jika terjadi hipoksemia refrakter
- Lakukan rekrutmen paru
- Posisikan tengkurap (posisi prone) selama 12-16 jam per hari.
- Hindari strategi staircase
- Pertimbangkan pemberian inhalasi vasodilator paru sebagai terapi bantuan (rescue), tetapi jika tidak terjadi perbaikan gejala, terapi ini perlu segera dihentikan. Penggunaan N2O inhalasi tidak direkomendasikan.
- Lakukan rekrutmen paru
- Ventilatory setting
- Perawatan pasca intubasi
- Intubasi oral lebih dipilih dibandingkan intubasi nasal pada remaja dan orang dewasa
- Gunakan sistem suctioning tertutup; lakukan drainase secara berkala dan buang kondensat dalam tabung
- Gunakan sirkuit ventilator baru untuk setiap pasien; jika pasien telah terventilasi, ganti sirkuit jika kotor atau rusak tetapi tidak secara rutin
- Ubah heat moisture exchanger jika tidak berfungsi, kotor, atau setiap 5-7 hari
- Gunakan protokol penyapihan yang mencakup penilaian harian untuk persiapan bernafas spontan
- Sedasi pada pasien ARDS harus diminimalkan untuk memfasilitasi pemulihan yang lebih cepat. Oleh karena itu berkembang konsep analgosedation, dengan maksud meningkatkan kenyamanan pasien dalam menghadapi prosedur-prosedur ICU yang menimbulkan rasa sakit sehingga kebutuhan obat sedasi murni pun berkurang. Penggunaan agen sedasi dapat digunakan jika pasien perlu disedasi lebih dalam, seperti pada kasus asinkroni ventilasi mekanik. Asinkroni pada kasus ARDS umumnya terjadi akibat strategi volume tidal rendah dan PEEP yang tinggi.
- Penggunaan agen pelumpuh otot dapat digunakan jika pasien terjadi asinkroni yang persisten setelah pemberian analgetik dan sedasi. Untuk meminimalkan efek samping obat akibat dosis yang tinggi, dapat dilakukan strategi balaced sedation menggunakan pelumpuh otot. Pelumpuh otot ini diberikan secara intermitten. Tetapi pada kasus yang refrakter, dapat digunakan secara kontinyu, selama durasi dibatasi < 48 jam. Hal ini terkait peningkatan mortalitas yang didapatkan pada pasien yang diberikan pelumpuh otot selama lebih dari 48 jam saat dirawat di ICU.
- Jaga pasien dalam posisi semi-terlentang (elevasi kepala tempat tidur 30-45º) Hal ini penting untuk memaksimalkan fungsi paru, mengurangi kejadian pneumonia terkait ventilator (VAP) dan melancarkan drainase darah dari otak.
- Penyapihan ventilasi mekanik
- Syarat penyapihan
- PEEP ≤ 8 dan FiO2 ≤ 0,4 atau PEEP ≤ 5 dan FiO2 ≤ 0,5
- Usaha nafas adekuat
- Hemodinamik stabil tanpa topangan atau topangan minimal
- Patologi paru sudah membaik
- Teknik penyapihan
- Gunakan T-piece atau CPAP ≤ 5 cmH2O dan PS ? ≤ cmH2O
- Awasi toleransi selama 30 menit, maksimal 2 jam
- SpO2> 90% dan/atau PaO2 > 60 mmHg
- TV > 4 ml/kgBB
- RR < 35 x/menit
- pH > 7,3
- Tidak ada tanda kesulitan bernafas seperti laju nadi > 120x/menit, gerakan nafas paradoks, penggunaan otot-otot pernafasan sekunder, keringat berlebih atau sesak.
- Jika terdapat tanda intoleransi, lanjutkan ventilasi mekanik sesuai pengaturan sebelum penyapihan
- Syarat penyapihan
Strategi Tatalaksana Syok
Septik syok diidentifikasi pada pasien dengan dugaan atau terbukti mengalami infeksi yang membutuhkan penggunaan vasopressor untuk mempertahankan MAP >65 mmHg, kadar laktat >2 mmol/L tanpa disertai tanda hypovolemia. Pada kondisi tidak dapat dilakukan pemeriksaan kadar laktat, gunakan MAP dan tanda klinis gangguan perfusi untuk mendifinisikan syok
Identifikasi dan kelola dengan inisiasi terapi antimikrobial dan inisiasi resusitasi cairan dan pemberian vasopressor untuk mengatasi hipotensi dalam 1 jam pertama.
Resusitasi cairan dengan bolus cepat kristaloid 250 – 500 mL (15 – 30 menit) sambil menilai respon klinis.
- Respon klinis dan perbaikan target perfusi (MAP >65 mmHg, produksi urine >0,5 ml/kg/jam, perbaikan capillary refill time, laju nadi, kesadaran dan kadar laktat).
- Penilaian tanda overload cairan setiap melakukan bolus cairan (distensi vena juguler, crackles pada auskultasi paru, edema paru pada pencitraan radiologis atau hepatomegali)
- Hindari penggunaan kristaloid hipotonik, gelatin dan starches untuk resusitasi inisiasi
- Pertimbangkan untuk menggunakan indeks dinamis terkait volume responsiveness dalam memandu resusitasi cairan (passive leg rising, fluid challenges dengan pengukuran stroke volume secara serial atau variasi tekanan sistolik, pulse pressure, ukuran vena cava inferior, atau stroke volume dalam hubungannya dengan perubahan tekanan intratroakal pada penggunaan ventilasi mekanik)
Penggunaan vasopressor bersamaan atau setelah resusitasi cairan, untuk mencapai target MAP >65 mmHg dan perbaikan perfusi
- Norepinephrine sebagai first-line vasopressor
- Pada hipotensi refrakter tambahkan vasopressin (0,01- 0,03 IU/menit) atau epinephrine.
- Penambahan vasopressin (0,01-0,03 IU/menit) dapat mengurangi dosis norepinehrine
- Dopamine dapat dipertimbangkan pada pasien dengan potensi takiaritmia yang rendah atau pasien dengan bradikardia
- Pada pasien Covid-19 dengan disfungsi jantung dan hipotensi persisten, tambahkan dobutamine.
Jika memungkinkan gunakan monitor parameter dinamis hemodinamik. Baik invasif, seperti PiCCO2, EV1000, Mostcare, maupun non-invasif, seperti ekokardiografi, iCON, dan NICO2
Tatalaksana Covid-19 dengan Komorbid atau Komplikasi
Tatalaksana Covid-19 dengan Diabetes Mellitus
Strategi pengelolaan kadar glukosa berdasarkan tipe diabetes melitus pada pasien Covid-19.
- Diabetes mellitus tipe 1
- Pompa insulin atau insulin basal-bolus adalah regimen yang optimal.
- Insulin analog adalah pilihan pertama yang direkomendasikan.
- Pengobatan dengan insulin harus secara individualisasi.
- Diabetes mellitus tipe 2
- Pasien Covid-19 gejala ringan dengan peningkatan glukosa ringan-sedang, obat antidiabetes non insulin dapat digunakan (umumnya cukup dengan isolasi mandiri).
- Pasien dengan gejala sedang-berat atau diobati dengan glukokortikoid, pengobatan dengan insulin adalah pilihan pertama.
- Insulin intravena direkomendasikan untuk pasien dengan kondisi kritis.
- Glucocorticoid-associated diabetes (diabetes melitus tipe lain)
- Pemantauan kadar glukosa darah setelah makan sangat penting karena pada glucocorticoid-associated diabetes peningkatan glukosa sering terjadi pada waktu setelah makan dan sebelum tidur.
- Insulin adalah pilihan pertama pengobatan.
Strategi pengelolaan kadar glukosa berdasarkan klasifikasi kondisi klinis
- Gejala Ringan (umumnya di rawat jalan)
- Obat antidiabetes oral dan insulin dapat dilanjutkan sesuai dengan regimen awal.
- Progresivitas Covid-19 dapat dipercepat dan diperburuk dengan adanya hiperglikemia. Pasien dengan komorbid diabetes direkomendasikan untuk meningkatkan frekuensi pengukuran kadar glukosa (pemantauan glukosa darah mandiri), dan berkonsultasi dengan dokter untuk penyesuaian dosis bila target glukosa tidak tercapai.
- Prinsip-prinsip pengelolaan diabetes di rawat jalan pada pasien Covid-19 mengikuti kaidah sick day management pada penyandang diabetes.
- Gejala Sedang (umumnya di rawat inap)
- Pertahankan regimen awal jika kondisi klinis pasien, nafsu makan, dan kadar glukosa dalam batas normal.
- Ganti obat andiabetes oral dengan insulin untuk pasien dengan gejala Covid-19 yang nyata yang tidak bisa makan secara teratur.
- Disarankan untuk mengganti regimen insulin premix menjadi insulin basal-bolus agar lebih fleksibel dalam mengatur kadar glukosa.
- Prinsip-prinsip pengelolaan diabetes dengan infeksi Covid- 19 di rawat inap mengikuti kaidah tatalaksana hiperglikemia di rawat inap.
- Berat dan Kritis (HCU/ICU)
- Insulin intravena harus menjadi pengobatan lini pertama. –
- Pasien yang sedang dalam pengobatan continuous renal replacement therapy (CRRT), proporsi glukosa dan insulin dalam larutan penggantian harus ditingkatkan atau dikurangi sesuai dengan hasil pemantauan kadar glukosa untuk menghindari hipoglikemia dan fluktuasi glukosa yang berat.
Prinsip pengelolaan kadar glukosa:
- Pengobatan insulin adalah pilihan pertama jika diabetes disertai dengan infeksi berat:
- Untuk pasien yang tidak kritis, injeksi insulin subkutan direkomendasikan dan dosis dasar sesuai ke dosis untuk rawat jalan
- Untuk pasien kritis, variable rate intravenous insulin infusion (VRIII) lebih disarankan
- Pengobatan insulin intravena harus dimulai dalam kombinasi dengan infus cairan secara hati-hati jika terdapat gangguan metabolisme glukosa yang berat dengan gangguan asam basa dan gangguan cairan dan elektrolit.
- Jika kondisi klinis stabil dan asupan makan baik, pasien dapat melanjutkan obat antidiabetes oral seperti sebelum dirawat.
- Menggunakan insulin NPH (Neutral Protamine Hagedorn) dan insulin kerja panjang (long acting) selama pengobatan dengan glukokortikoid untuk mengontrol kadar glukosa.
- Pematauan glukosa darah 4-7 titik selama pengobatan insulin.
Pertimbangan penggunaan obat diabetes dan obat yang sering digunakan pada penyandang diabetes disertai infeksi Covid-19 dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini:
Metformin | Tidak direkomendasikan pada pasien dengan gejala berat/kritis, dengan gangguan GI atau hipoksia. Dapat dilanjutkan di rawat jalan jika tidak ada keluhan. |
Sulfonilurea | Dapat dilanjutkan di rawat jalan jika gejala ringan. Risiko hipoglikemia jika asupan makan tidak baik atau jika dikombinasi dengan hidroksikloroquin. |
Penghambat alfa glukosidase | Dapat digunakan untuk mengontrol gula darah sesudah makan. Tidak direkomentasikan pada pasien gejala berat/kritis atau dengan gejala gastrointestinal. |
Thiazolidindione (TZD) | Dapat digunakan selama proses pengobatan dengan glukokortikoid di rawat jalan. Risiko retensi cairan dan tidak dianjurkan pada gangguan hemodinamik. |
DPP-4i | Dapat dilanjutkan jika gejala ringan |
SGLT-2i | Tidak direkomendasikan untuk pasien Covid-19 dengan gejala sedang-berat karena risiko dehidrasi dan ketosis |
GLP-1 RA | Lanjutkan di rawat jalan dengan tanpa gejala gastrointestinal |
Insulin | Umumnya digunakan pada rawat inap dengan gejala sedang-berat. Hati-hati hipoglikemia |
ACEi/ARB | Lanjutkan di rawat jalan. Umumnya juga dilanjutkan di rawat inap kecuali ada kontra indikasi |
Aspirin | Umumnya dilanjutkan pada rawat jalan untuk pencegahan sekunder penyakit kardiovaskular |
Statin | Umumnya dilanjutkan pada rawat jalan, pada rawat inap keputusan individualisasi. |
Tatalaksana Covid-19 pada Geriatri
Kelompok geriatri sangat rentan untuk terkena penyakit Covid-19 sehingga sangat penting untuk melakukan pencegahan agar terhindar dari Covid-19. Pencegahan dapat dilakukan dengan social dan physical distancing, penggunaan masker dan upaya lainnya. Dalam pelaksanaannya, perlu diperhatikan pula kesejahteraan dan kesehatan mental dari pasien geriatri tersebut. Penatalaksanaan Covid-19 pada geriatri tidak jauh berbeda dengan dewasa, namun sangat diperlukan kehati-hatian mengenai efek samping dari obat-obatan yang diberikan. Kondisi pasien geriatri juga meningkatkan kemungkinan untuk terjadi badai sitokin saat terkena penyakit Covid-19 karena geriatri meminiki kondisi immunosenescence (penurunan imunitas pada usia lanjut). Penatalaksaan untuk badai sitokin ini ataupun untuk pemberian kortikosteroid membutuhkan kerjasama dan evaluasi tim.
Tatalaksana Covid-19 pada Penderita Autoimun
Secara umum diketahui bahwa pasien dengan penyakit autoimun atau artritis inflamasi dengan aktifitas penyakit yang tinggi, lebih berisiko mengalami infeksi apapun (virus, maupun bakteri) karena adanya kondisi disregulasi imun. Terapi yang diterima oleh pasien seperti imunosupresan (termasuk agen biologik) serta kortikosteroid juga berkontribusi terhadap peningkatan risiko infeksi tersebut. Namun hingga saat ini memang belum ada bukti yang menunjukkan peningkatan risiko infeksi covid-19 pada populasi pasien dengan penyakit autoimun, termasuk yang dalam terapi imunosupresan dan kortikosteroid.
Anjuran yang diperlukan untuk pasien autoimun adalah untuk tidak menghentikan pengobatan karena dapat memicu flare up kondisi autoimunnya, dan tetap melakukan pencegahan seperti pada populasi umumnya. Terapi pada pasien dengan penyakit autoimun yang terinfeksi Covid-19 juga tidak ada perbedaan dengan populasi pada umumnya. Beberapa pilihan terapi pada pasien penyakit autoimun justru menjadi bagian dari terapi Covid- 19, seperti klorokuin atau hidroksiklorokuin yang diketahui mempunyai efek inhibisi terhadap SARS-CoV-2, atau anti IL-6 yang dilaporkan memberikan manfaat pada kondisi cytokine storm Covid-19.
Tatalaksana Covid-19 dengan Penyakit Ginjal
Infeksi COVID-19 yang berat dapat mengakibatkan kerusakan ginjal dan memerlukan perawatan di rumah sakit. Pasien Penyakit Ginjal Kronis (PGK) terutama yang menjalani dialisis atau transplantasi ginjal merupakan kelompok dengan daya tahan tubuh yang rendah oleh karena itu rentan terkena COVID-19. Pasien transplantasi harus sangat hati hati dan disiplin dalam pencegahan infeksi, tetap tinggal di rumah, mengurangi kontak, menggunakan masker dan tetap melanjutkan obat rutinnya. Semua pasien diminta untuk tetap melanjutkan terapi sebelumnya termasuk ACE inhibitor atau ARB kecuali bila dihentikan oleh dokternya.
Pasien uremia sangat rentan terhadap infeksi dan memberi variasi klinis yang luas baik gejala maupun infeksinya, sehingga pasien hemodialisa (HD) harus tetap datang ke unit HD secara teratur untuk mendapatkan tindakan hemodialisanya, begitu pula dengan pasien yang menjalani peritoneal dialysis. Fasilitas dialisis harus menetapkan kebijakan dan protokol khusus untuk menurunkan penyebaran infeksi di unit ini. Skrining terhadap pasien,staf dan pengunjung unit dialisis yang memiliki kondisi yang berhubungan dengan infeksi COVID-19 sesuai panduan Kemkes.
Pasien dengan gejala infeksi pernapasan harus memberi tahu staf tentang gejala infeksi dan menelepon terlebih dahulu untuk dapat dipersiapkan sesuai prosedur. Pasien harus memakai masker wajah (masker bedah) saat memasuki area perawatan dan tetap memakai sampai mereka meninggalkan unit dialisis. Pasien disarankan untuk tidak menggunakan transportasi publik. Staf yang menangani juga harus menggunakan APD, melakukan pembersihan rutin dan prosedur desinfeksi.
Sebaiknya HD dilakukan di unit dialisis dengan fasilitias ruang isolasi airborne untuk pasien terkonfirmasi COVID-19, suspek, probable, dan kontak erat. Akan tetapi, bagi unit dialisis dengan fasilitas ruang isolasi penuh atau tidak punya ruang isolasi maka perawatan pasien dialisis dapat dilakukan dengan “fixed dialysis care system” dimana pasien melakukan HD di tempat asalnya dengan rutin dan tidak boleh berpindah dengan jadwal dan ditangani oleh staf yang sama. Ruang Isolasi Hepatitis B dapat digunakan bila pasien dugaan/terkonfirmasi Covid-19 dengan HbsAg positif atau ruangan tersebut belum pernah digunakan untuk pasien Hepatitis B. Jika dalam keadaan ruangan isolasi tidak ada, maka tindakan HD dapat dilakukan diluar jadwal rutin HD agar meminimalisir paparan pada pasien lain, kecuali dalam kondisi gawat darurat. Pasien dengan Covid-19 juga harus diberikan jarak minimal 6 kaki (1,8 meter) dari mesin pasien terdekat disemua arah. Hal ini juga berlaku apabila dilakukan HD di ruang ICU, maka sebaiknya HD dilakukan diruang isolasi ICU. Tindakan HD harus menggunakan dialiser single use, apabila tidak bisa maka dapat dipakai ulang dengan catatan proses sterilisasi dialiser tersebut harus terpisah.
Pasien dengan dialisis peritoneal sebaiknya meminimalkan kunjungan ke unit CAPD, kunjungan hanya dilakukan bila didapatkan tanda-tanda peritonitis, infeksi exit site yang berat dan training penggantian cairan dan pemeliharaan CAPD untuk pasien baru. Tindakan lain seperti pemeriksaan PET dan adekuasi ditunda dahulu. Bila pasien CAPD terkena infeksi COVID-19 berat dan memerlukan perawatan, pada kondisi gagal organ multiple maka CAPD dapat dipindahkan sementara ke automated peritoneal dialysis atau dialisis berupa continuous renal replacement therapy (CRRT) atau prolonged intermittent renal replacement therapy (PIRRT). Bila pasien masih dalam CAPD diusahakan dalam kondisi “kering” dengan meningkatkan ultrafiltrasi. Pembuangan cairan dialisat harus diperhatikan pula. Ada beberapa pendapat mulai dari tidak menambahkan sesuatu sampai dengan pemberian larutan klorin 500 mg/liter sebelum dibuang ke toilet dan menghindarkan percikan saat pembuangan cairan tersebut.
Terapi COVID-19 pada pasien dengan CKD:
- Pasien CKD yang sudah menjalani HD maka petugas kesehatan harus APD yang lengkap (APD level 3).
- Hemodialisis dilakukan di ruang isolasi airborne yang terpisah dari pasien-pasien CKD yang non Covid-19 lain.
- Pasien CKD yang menjalani CAPD disarankan untuk seminimal mungkin mengunjungi unit CAPD. Kunjungan ke unit CAPD hanya bila didapatkan adanya peritonitis yang berat atau infeksi pada exist site yang berat. Perlu dilakukan pelatihan untuk penggantian cairan dan perawatan CAPD pada pasien yang baru.
- Terapi imunomodulator berupa Azitromisin diberikan dengan normal 1x 500 mg, dan tidak perlu penyesuaian dosis dosis.
- Untuk pencegahan thrombosis, LMWH dapat diberikan dengan dosis yang sama tanpa perlu penyesuaian dosis.
- Untuk pneumonia berat atau ARDS, tocilizumab dapat diberikan dengan dosis normal tanpa perlu penyesuaian dosis.
- Anakinra dengan dosis normal dapat diberikan bila CCT > 15 ml/menit. Dosis anakinra 2 x 100 mg selama 3 hari pertama, selanjutnya 1 x 100 mg untuk 3 hari berikutnya. Bila CCT < 15 ml/menit maka anakinra diberikan dengan dosis yang sama setiap 48 jam.
- Untuk remdesivir dan favipiravir tidak disarankan untuk diberikan pada pasien CKD
- Penanganan pasien Covid-19 dengan kondisi gangguan ginjal kronik memerlukan penyesuaian dosis obat uji yang digunakan. Dari kajian terbatas tentang terapi COVID-19 untuk pasien dengan gangguan ginjal, diketahui bahwa penggunaan kombinasi lopinavir/ritonavir mungkin dipertimbangkan mengingat klirens obat tersebut melalui ginjal sangat kecil, walaupun dari segi efikasi tidak berbeda bermakna dengan perawatan standar.
Tatalaksana Covid-19 pada Gangguan Gastrointestinal
Sebagaimana kita bahwa sampai saat ini kita masih terus mempelajari perjalanan klinis dari penyakit ini. Tetapi para ahli berdasarkan laporan yang sudah terpublikasi maupun dari pengalaman kita yang dilaporkan melalui laporan kasus berkesimpulan bahwa infeksi Covid-19 ini sebagai Great imitator. Ketika kita menyebut Great imitator kita bisa bilang gejala yang muncul memang bisa menjadi bervariasi. Kalau kita ketahui di awal manifestasi awal ini mengarah ke infeksi paru yaitu pneumonia dengan gejala utama demam, batuk dan sesak dan pada kenyataannya pasien-pasien Covid-19 yang diawal tidak terdiagnosis sebagai infeksi Covid-19. Gejala gastrointestinal ternyata bisa menjadi gejala pertama pasien dengan Covid-19. Pasien Covid-19 bisa datang dengan nyeri perut disertai diare sehingga lebih mengarah ke suatu infeksi usus. Ternyata kalau kita lihat lagi patofisiologi penyakit ini bahwa virus ini bisa mengenai berbagai organ yang mengandung reseptor angiotensin converting enzyme-2 (Ace-2). Virus akan masuk ke organ melalui reseptor ini. Kita ketahui bahwa Ace-2 merupakan regulator penting dalam peradangan usus.
Laporan-laporan dari China melaporkan bahwa ternyata sepertiga kasus yang ditemukan mempunyai keluhan diare. Pasien bisa datang dengan demam dan diare. Sedang gejala batuk dan sesak bisa datang kemudian. Pada pasien yang mempunyai gejala gastrointestinal diserta diare, pada feses juga dapat ditemukan adanya virus COVID-19. Walaupun demikian sampai saat ini penyebaran virus COVID-19 ini belum terjadi secara fecal oral, seperti pada penyakit demam tifoid atau pada infeksi rotavirus pada saluran cerna. Tetapi ada catatan menarik, pada pasien yang gejala awalnya diare, hilangnya virus dari tubuh akan lebih lama dibandingkan pada pasien yang tidak mempunyai gejala gastrointestinal. Penelitian yang dilakukan oleh Jin dkk yang melakukan investigasi pada 74 pasien yang terinfeksi COVID-19 terdapat gejala gastrointestinal seperti diare, mual dan muntah. Yang menarik dari penelitian ini ternyata 28% dari pasien dengan gejala gastrointestinal ini tidak mempunyai gejala gangguan pernafasan. Jika dibandingkan dengan kelompok pasien tanpa keluhan gastrointestinal yang berjumlah 577 pasien, ternyata pasien dengan gejala gastrointestinal ini komplikasinya lebih berat, lebih banyak pasien dengan demam lebih tinggi dari 38.5 derajat celcius, banyak keluarga yang tertular dan lebih banyak terjadi gangguan liver ditandai dengan peningkatan kadar SGOT/SGPT.1 Secara umum dari laporan yang ada memang gejala gastrointestinal pada pasien yang terkonfirmasi COVID-19 dengan angka kejadian yang bervariasi gejala diare bisa ditemukan pada umumnya pada 2-10% kasus, mual terjadi pada 2-15% kasus, muntah terjadi pada 1-5% kasus sedang nyeri perut terjadi 2-6 % kasus. Pada umumnya nafsu makan mereka berkurang bahkan sampai 80% kasus. Belum lagi pada pasien dengan COVID-19 mengalami gangguan penciuman dan gangguan kecap yang akan memperburuk nafsu makannya.
Pada penelitian lain dari China yang juga melakukan penelitian pada kasus dengan keluhan gastrointestinal mendapatkan dari 95 kasus yang diteliti, 58 pasien (61.6%) memiliki gejala gastrointestinal. Adapun gejala gastrointestinal yang muncul antara lain diare sebanyak 24.2%, mual 17.9%, muntah 4.2 % dan gangguan fungsi hati yang ditandai oleh peningkatan SGOT/SGPT sebanyak 32.6%. Pada 6 pasien yang mengalami masalah gastrointestinal ini dilakukan pemeriksaan endoskopi dan dilakukan biopsi ternyata virus COVID-19 ini ditemukan di beberapa lokasi gastrointestinal antara lain esofagus, gaster, duodenum dan rektum. Pada pasien-pasien ini juga dilakukan pemeriksaan virus pada feses dan mendapatkan bahwa 52.4% mendapatkan virus pada fesesnya. Sekali lagi hal ini memastikan bahwa virus COVID-19 ini bisa menempel pada saluran cerna dan bisa ditemukan pada feses. Pada penelitian yang dilakukan di Singapura ternyata pada 50% kasus yang diperiksa ditemukan virus pada feses pada 50 % kasus, tetapi ternyata pada pasien dengan feses positif COVID-19 gejala gastrointestinal yang muncul hanya pada setengah kasus. Untuk informasi tambahan selain ditemukan pada feses, virus COVID-19 juga bisa teridentifikasi pada swal anus maupu swab rektal. Hal penting yang harus dilakukan bahwa pada feses masih bisa ditemukan virus COVID-19, dan bisa saja transmisi virus terjadi dari aerosol yang keluar melalui feses tersebut. Oleh karena itu penting sekali bahwa memang selama isolasi mandiri tempat tidur dan toilet mereka sebaiknya dipisah.
Tatalaksana Covid-19 dengan Trombosis dan Gangguan Koagulasi
Infeksi novel Corona virus (COVID-19) merupakan infeksi yang disebabkan oleh virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus-2 (SARS-CoV-2) dengan jumlah kasus yang terus meningkat di beberapa negara di dunia dan angka kematian yang tinggi. Data-data menunjukkan bahwa gangguan koagulasi, terutama peningkatan D-dimer dan fibrinogen-degradation product (FDP) ditemukan dengan kadar yang sangat tinggi pada pasien pneumonia akibat COVID-19 yang meninggal. Emboli paru ditemukan pada 30% pasien COVID-19 dan pasien yang saat awal datang dengan pneumonia dan respiratory insufficiency mengalami progresivitas menjadi penyakit sistemik dan mengalami disfungsi organ multipel. Pemeriksaan histopatologik pada otopsi pasien COVID-19 mendapatkan adanya trombosis yang luas dan mikrotrombus pada kapiler alveolus. Sebanyak 71% pasien COVID-19 yang meninggal juga memenuhi kriteria Koagulasi Intravaskular Diseminata atau Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) berdasarkan kriteria International Society on Thrombosis and Haemostasis (ISTH). Data-data tersebut menunjukkan bahwa gangguan koagulasi merupakan salah satu penyebab kematian pasien COVID-19 derajat berat, berkaitan dengan mortalitas dan prognosis yang buruk pada pasien COVID-19.
Diagnosis Gangguan Koagulasi
Berdasarkan berbagai data yang ada, ISTH merekomendasikan pemeriksaan D-dimer, masa prothrombin (prothrombin time/PT) dan hitung trombosit pada semua pasien dengan infeksi COVID-19. Interpretasi kadar D-dimer harus dilakukan dengan hati-hati pada pasien usia lanjut dan jika terdapat penyakit penyerta/komorbid (seperti gangguan hati, pasien dengan penyakit kardiovaskular) yang dapat meningkatkan kadar D-dimer meski tanpa disertai infeksi.
Pada pasien COVID-19 berat dengan risiko perburukan koagulopati dan menjadi DIC, pemeriksaan laboratorium hemostasis dapat ditambahkan fibrinogen untuk menilai perburukan atau diagnosis awal terjadinya DIC. Kriteria DIC yang digunakan adalah kriteria ISTH yang dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini:
Kategori | Skor | Nilai |
---|---|---|
Trombosit (/mm3) | 2 | <50.000 |
1 | ≥ 50.000, <100.000 | |
D-dimer/FDP | 3 | Meningkat tinggi |
2 | Meningkat sedang | |
Pemanjangan PT | 2 | ≥ 6 detik |
1 | ≥3 detik, <6 detik | |
Fibrinogen (g/mL) | 1 | <100 |
Total skor | ≥ 5 < 5 | Overt DIC Non-overt DIC |
Pemeriksaan PT, D-dimer, trombosit dan fibrinogen dapat dilakukan secara serial/berkala sesuai dengan penilaian klinis pasien. Untuk mempermudah pernghitungan skor DIC di atas, dapat menggunakan kalkulator di bawah ini:
Pemberian Tromboprofilaksis
Pada setiap pasien yang dirawat dengan COVID-19, dilakukan penilaian apakah memerlukan tromboprofilaksis dan tidak terdapat kontra indikasi pemberian antikoagulan. Pemberian antikoagulan profilaksis pada pasien COVID 19 derajat ringan harus didasarkan pada penilaian dokter yang merawat dengan menimbang faktor-faktor risiko trombosis pada pasien tersebut.
Pada setiap pasien COVID-19 sedang hingga berat yang dirawat di rumah sakit jika tidak terdapat kontraindikasi (absolut / realtif) pada pasien (perdarahan aktif, riwayat alergi heparin atau heparin-induced thrombocytopenia, Riwayat perdarahan sebelumnya, gangguan hati berat) dan jumlah trombosit > 25.000/mm3, maka pemberian antikoagulan profilaksis dapat dipertimbangkan. Antikoagulan tersebut dapat berupa low molecular-weight heparin (LMWH) dosis standar 1 x 0,4 cc subkutan atau unfractionated heparin (UFH) dosis 2 x 5000 unit sehari secara subkutan. Dosis profilaksis intermediate (enoxaparin 2 x 0,4 cc, low-intensity heparin infusion) dapat dipertimbangkan pada pasien kritis (critically-ill).
Penilaian risiko perdarahan juga dapat menggunakan skor IMPROVE (Tabel 6). Sebelum memberikan antikoagulan harus dievaluasi kelainan sistem/organ dan komorbiditas untuk menilai risiko terjadinya perdarahan maupun jenisnya.
Faktor risiko | Poin |
---|---|
Insufisiensi ginjal moderat (klirens keratin 30-50 mL/menit) | 1 |
Pria | 1 |
Usia 40-84 tahun | 1,5 |
Kanker aktif | 2 |
Penyakit reumatik | 2 |
Pemakaian kateter vena sentral | 2 |
Admisi di ICU/CCU | 2,5 |
Insufisiensi renal berat (klirens keratin < 30 mL/menit) | 2,5 |
Insufisiensi liver (INR>1,5) | 2,5 |
Usia ≥ 85 tahun | 3,5 |
Trombositopenia < 50.000/IU | 4 |
Riwayat perdarahan dalam 3 bulan terakhir | 4 |
Ulkus gastro-intestinal aktif | 4 |
Profilaksis dengan fondaparinux dosis standar juga dapat dipertimbangkan pada pasien COVID-19 yang dirawat, tapi pada kondisi pasien COVID-19 yang kritis tidak menjadi pilihan utama karena pada kondisi pasien yang tidak stabil sering didapatkan gangguan ginjal.
Hal lain yang harus dipertimbangkan sebelum memberikan antikoagulan adalah adanya penyakit komorbid seperti gangguan ginjal, atau pasien memerlukan penilaian lebih lanjut, pasien tersebut harus dikonsulkan kepada dokter SpPD-KHOM, dokter jantung (SpJP/SpPD-KKV), dan/atau subspesialis lain yang terkait dengan penyulit pada pasien tersebut. Algoritma “Tatalaksana koagulasi pada COVID 19 berdasarkan marker laboratorium sederhana” yang diterjemahkan dari rekomendasi ISTH dapat dilihat pada Gambar 6 di bawah ini.
Antikoagulan profilaksis diberikan selama pasien dirawat. Efek samping perdarahan atau komplikasi lain harus dipantau selama pemberian antikoagulan. Selama pemberian antikoagulan, pemeriksaan laboratorium hemostasis rutin tidak diperlukan kecuali bila ada efek samping perdarahan atau terjadi perburukan ke arah DIC atau pertimbangan klinis khusus. Jika kondisi pasien membaik, dapat mobilisasi aktif dan penilaian ulang tidak didapatkan risiko trombosis yang tinggi, antikoagulan profilaksis dapat dihentikan, kecuali pada pasien- pasien tertentu dengan risiko trombosis antikoagulan profilaksis dapat dilanjutkan setelah berobat jalan.
Apabila didapatkan perdarahan dengan koagulopati septik (perburukan kondisi) maka pedoman ISTH atau panduan terkait transfusi darah dapat diaplikasikan/digunakan.
Antikoagulan Profilaksis Pada Pasien Covid-19 Kondisi Kritis
Peningkatan dosis profilaksis antikoagulan direkomendasikan pada pasien Covid-19 yang dirawat ICU atau post-ICU. Pemberian antikoagulan profilaksis pada pasien Covid-19 kondisi kritis mengikuti kriteria berikut ini:
- Kriteria inklusi
- Pasien terkonfirmasi COVID-19 atau pasien suspek atau probable yang membutuhkan perawatan ICU dan/atau setelah dipindahkan dari perawatan ICU
- Trombosit lebih 25.000
- Kriteria eksklusi
- Jumlah tombosit kurang dari 25.000 atau memiliki manifestasi perdarahan
- Pasien bedah saraf (neurosurgery) atau memiliki perdarahan aktif
Peningkatan dosis lebih besar dari standar dapat dilakukan sesuai dengan pertimbangan medis. Pada pasien dengan kontraindikasi, penggunaan alat profilaksis mekanis (alat kompresi pneumatik intermiten) dapat dipertimbangkan.
Monitoring anti-Xa dan APTT secara rutin umumnya tidak diperlukan, namun dapat menjadi pertimbangan untuk menyesuaikan dosis bila ada risiko perdarahan. Target anti- Xa untuk profilaksis adalah 0,2-0,5 (puncak terapi dalam 4- 6 jam setelah 3-4 injeksi). APTT sering kali memanjang pada pasien kritis sehingga tidak digunakan untuk menjadi penyesuaian dosis, kecuali bila dari awal terapi aPTT tidak memanjang.
Dosis penyesuaian | CrCl ≥ 30 mL/menit | CrCl < 30mL/menit |
---|---|---|
Standar | Enoxaparin 40 mg dua kali sehari SK atau UFH 7500 IU tiga kali sehari SK | UFH 7500 IU tiga kali sehari SK |
Obes (≥120kg atau IMT ≥ 35) | Enoxaparin 0,5 mg/kg dua kali sehari SK (dosis maksimal 100 mg dua kali sehari) atau UFH 10.000 IU tiga kali sehari SK | UFH 10.000 IU tiga kali sehari SK |
Berat badan kurang dari 60 kg | Enoxaparin 30 mg dua kali sehari SK atau UFH 7500 IU tiga kali sehari SK | UFH 7500 IU tiga kali sehari SK |
Tatalaksana Covid-19 dengan Tromboemboli Vena (Emboli Paru dan Trombosis Vena Dalam)
Pada pasien COVID-19 yang mengalami emboli paru (EP) atau trombosis vena dalam (deep vein thrombosis/DVT), jika tidak terdapat kontraindikasi, harus diberikan antikoagulan dosis terapi berupa LMWH 1 mg/kgBB 2x sehari subkutan atau heparin dengan dosis loading 80 unit/kgBB IV dilanjutkan drip kontinyu 18 unit/kgBB/jam dengan monitor aPTT untuk menyesuaikan dosis dengan target 1,5 – 2,5x kontrol. Dosis heparin memerlukan titrasi dosis sesuai dengan nilai aPTT, dapat dilihat pada Tabel 8. Tidak diperlukan monitoring laboratorium pada pemberian LMWH kecuali pada kondisi khusus seperti gangguan ginjal, obesitas, kehamilan, diperlukan monitoring dengan pemeriksaan anti-Xa. Fondaparinux dosis terapeutik dapat dipertimbangkan untuk diberikan pada pasien COVID-19 dengan EP/DVT dengan menilai risiko perdarahan dan fungsi ginjal. Antikoagulan untuk EP/DVT diberikan selama 3 – 6 bulan.
aPTT (detik) | Dosis modifikasi |
---|---|
<35 detik (1,2x normal) | 80 unit/kg (bolus), naik drip 4 unit/kg/jam dari sebelumnya |
35-45 (1,2-1,5× normal) | 40 unit/kg (bolus), naik drip 2 unit/kg/jam dari sebelumnya |
46-70 (1,5-2,3x normal) | TIDAK ADA PENYESUAIAN DOSIS |
71-90 (2,3-3x normal) | Turun drip 4 unit/kg/jam |
90 (>3x normal) | Hentikan drip 1-2 jam. Mulai drip 3 unit/kg/jam |
Untuk mempermudah penghitungan dosis total heparin dalam 24 jam, dapat menggunakan kalkulator di bawah ini:
Antikoagulan oral seperti DOAC (direct oral anticoagulant) atau Vitamin K antagonis tidak disarankan untuk diberikan pada pasien COVID-19 sebagai tromboprofilaksis atau pasien COVID-19 dengan EP/DVT yang dirawat dan potensial mengalami perburukan atau kondisi tidak stabil. Jika setelah berobat jalan antikoagulan oral dapat dipretimbangkan jika tidak ada interaksi dengan obat-obatan yang diberikan pada pasien COVID-19 seperti antivirus, antibiotik (golongan makrolid), steroid dan obat lainnya.
Perlu diingat bahwa dalam pemberian antikoagulan, penilaian risiko perdarahan dan thrombosis, monitor fungsi ginjal dan penilaian adanya komplikasi pada pasien harus dilakukan secara berkala. Mengingat risiko perdarahan dan durasi terapi antikoagulan pada pasien dengan emboli paru/DVT yang harus diberikan selama minimal 3-6 bulan atau lebih, pasien dengan emboli paru atau DVT harus dikonsulkan kepada dokter SpPD-KHOM, dan jika diperlukan dikonsulkan ke dokter spesialis paru (SpP) atau SpPD-KP), dokter spesialis jantung dan pembuluh darah (SpJP) atau SpPD-KKV atau dokter spesialis lain yang terkait agar dapat diberikan terapi yang optimal/adekuat dan monitoring sesuai ketentuan.
Kondisi Lain
- Jika terdapat komplikasi DIC, berbagai terapi suportif harus diberikan seperti cairan yang adekuat untuk mempertahankan hemodinamik dan menjaga perfusi jaringan, antibiotika untuk mengatasi infeksi bakteri sekunder dan lain-lain. Disarankan untuk merawat bersama intensivis (KIC), dokter SpPD-KHOM dan SpPD-KPTI.
- Bila terjadi komplikasi DVT, EP, stroke, Acute Coronary Syndrome (ACS) atau DIC, pasien harus dirujuk atau dikonsulkan kepada dokter ahli/subspesialis terkait, seperti dokter SpPD atau dokter SpPD-KHOM atau dokter jantung dan pembuluh darah (SpJP/SpPD-KKV). Jika mengalami EP, pasien dapat dikonsulkan kepada dokter SpPD- KHOM, Dokter Spesialis Paru (SpP)/Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Pulmonologi (SpPD-KP), atau konsultan lain yang terkait seperti radiologi intervensi. Untuk pasien COVID 19 dengan komplikasi stroke dikonsulkan kepada dokter Spesialis Saraf (SpS).
- Bila terjadi EP yang disertai gangguan respirasi dan sirkulasi maka seharusnya dirawat di perawatan intensif bersama dokter spesialis anestesi (SpAn) atau perawatan intensif/intensivist.
- Jika pasien COVID-19 dengan gangguan koagulasi tersebut merupakan pasien dengan komorbid khusus seperti CAD dalam dual antiplatelet therapy, fibrilasi atrial yang sudah dalam terapi warfarin, gangguan ginjal, hamil, penderita autoimun, atau mengalami penyulit yang bersifat kompleks, disarankan untuk konsultasi dan penatalaksanaan dalam tim bersama dokter ahli/subspesialis terkait, sehingga pemberian antikoagulan dan terapi lain dapat diberikan dengan pertimbangan yang baik dan aman. Pasien COVID 19 dalam keadaan kritis perlu dikonsulkan pada dokter spesialis anestesi dan perawatan intensif
Tatalaksana Covid-19 dengan Cedera Miokardium
Virus SARS-CoV-2 yang menjadi penyebab Covid-19 diketahui menyebabkan gangguan sistem pernapasan dengan tingkat infeksi yang beragam dari tanpa manifestasi (asimtomatik) hingga manifestasi berat yang membutuhkan rawat ruang intensif, ventilasi mekanik, hingga extracorporeal membrane oxygenation (ECMO). Namun, diketahui bahwa virus SARS-CoV-2 juga menyerang saluran cerna dan mengakibatkan miokarditis atau cedera miokardium. Cedera miokardium sebagai manifestasi dari Covid-19 menjadi salah satu sorotan karena mengakibatkan peningkatan mortalitas, kebutuhan perawatan intensive care unit, dan beratnya penyakit intra perawatan rumah sakit.2 Keterlibatan cedera miokardium pada pasien dengan Covid-19 perlu menjadi perhatian karena akan menentukan prognosis pasien, kebutuhan akan ruang rawat intensif, serta biaya perawatan yang tentu akan meningkat.
Patogenesis Cedera Miokardium Akibat Covid-19
Patogenesis Cedera Miokardium Akibat COVID-19 Hingga saat ini belum diketahui mekanisme pasti terjadi cedera miokardium akibat COVID-19, namun diketahui terdapat dua proses patogenesis:
- Interaksi antara virus SARS-CoV-2 dengan angiotensin convertase enzyme-2 berakibat pada terjadinya: kardiomiopati, disfungsi kardiak, dan gagal jantung.
- Virus SARS-CoV-2 berpotensi menginvasi langsung otot jantung berakibat pada kerusakan otot jantung. Hal tersebut didasarkan pada ditemukannya RNA virus SARS-CoV-2 di otot jantung dari orang yang meninggal.
- Aktivasi sitokin inflamasi berupa TNFα dan TGF-β yang memiliki efek berupa disfungsi otot jantung dan reaksi inflamasi yang berpotensi mengakibatkan kerusakan otot yang terus menerus.
Faktor Risiko Cedera Miokardium Akibat Covid-19
Terdapat beberapa faktor risiko yang dapat mempengaruhi terjadinya cedera miokardium:
- Usia tua: Rata-rata pasien dengan cedera miokardium berusia 66 tahun.
- Gangguan metabolik: Pasien dengan cedera miokardium memiliki prevalensi hipertensi, diabetes mellitus, dan penyakit jantung
Diagnostik Cedera Miokardium Akibat Covid-19
Gejala terjadinya miokardium pada Covid-19 tidaklah khas. Gejala yang terjadi serupa dengan keluhan pada penyakit jantung lain seperti nyeri dada ataupun sesak napas. Selain itu, tidak ada perbedaan bermakna pada gejala yang muncul antara pasien terinfeksi Covid-19 yang mengalami cedera miokardium ataupun yang tidak mengalami cedera miokardium. Gejala berupa sesak napas, batuk, demam, nyeri dada, myalgia, pusing, mual atau muntah, serta diare dialami pada proporsi yang sama antara pasien Covid-19 dengan cedera atau tanpa cedera miokardium.
Adapun pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
- Pemeriksaan EKG
- Pemeriksaan paling awal yang dapat digunakan ketika mencurigai pasien dengan Covid-19 dengan keterlibatan cedera miokardium adalah kelainan pada pemeriksaan EKG. Hal ini ditunjukkan pada salah satu laporan kasus oleh Saus PS et al yang menunjukkan terdapatnya gelombang T inversi yang difus pada lead II, III, aVF, V2-V6.5 Variasi gambaran EKG yang cukup khas pada pasien Covid-19 dengan keterlibatan cedera miokardium adalah: Segmen ST elevasi atau depresi baik yang regional maupun difus, perubahan gambaran iskemik EKG selama perawatan di rumah sakit, gangguan konduksi, serta gambaran voltase rendah (low voltage)
- Pemeriksaan rontgen toraks
- Tidak ada perbedaan bermakna pada pemeriksaan rontgen toraks antara pasien Covid-19 dengan atau tanpa cedera miokardium
- Pemeriksaan laboratorium
- Terdapat beberapa perbedaan hasil pemeriksaan laboratorium antara pasien Covid-19 dengan dan tanpa cedera miokardium, terutama untuk pemeriksaan berikut (dengan cedera miokardium vs tanpa cedera miokardium):
- Troponin I (ng/ml)
- Nilai dasar: 0.06 (0.02-0.51) vs 0.0
- Nilai puncak: 0.09 (0.02-0.86) vs 0.01 (0.00 – 0.02)
- Troponin T (ng/ml)
- Nilai dasar: 0.04 (0.0-0.16) vs 0.0
- Nilai puncak: 0.29 (0.06-1.22) vs 0.00
- High sensitive Troponin T (hs-Trop T) (ng/ml)
- Nilai dasar: 30.8 (16.7 – 69.5) vs 6.2 (3.0-9.4)
- Nilai puncak: 62.5 (25.6 – 123) vs 9.4 (5.6 – 14.8)
- CKMB (ng/ml)
- Nilai dasar: 3.6 (2.1 – 20.1) vs 1 (0.7-2.2)
- Nilai puncak: 5.1 (2.8 – 21.4) vs 1.1 (0.6 – 2.9)
- Brain natriuretic peptide (BNP) (pg/ml)
- Nilai dasar: 30.8 (16.7 – 69.5) vs 6.2 (3.0-9.4)
- Nilai puncak: 62.5 (25.6 – 123) vs 9.4 (5.6 – 14.8)
- Troponin I (ng/ml)
- Terdapat beberapa perbedaan parameter laboratorium lain dengan angka yang cenderung lebih tinggi pada pasien Covid-19 dengan cedera miokardium: laktat, CRP, interleukin 6, Laktat dehidrogenase, ferritin, D-Dimer, serta procalcitonin
- Terdapat beberapa perbedaan hasil pemeriksaan laboratorium antara pasien Covid-19 dengan dan tanpa cedera miokardium, terutama untuk pemeriksaan berikut (dengan cedera miokardium vs tanpa cedera miokardium):
- Pemeriksaan ekokardiografi
- Pada pemeriksaan ekokardiografi dengan median pemeriksaan di hari ke-4, ditemukan terdapat berbagai macam perubahan fungsi jantung yang secara signifikan ditemukan pada pasien COVID- 19 dengan manifestasi cedera miokardium. Terdapat lima kelainan mayor ekokardiografi yang bisa ditemukan:
- Gerakan abnormal ventrikel kiri
- Disfungsi ventrikel kanan
- Efusi perikardium
- Disfungsi global ventrikel kiri
- Disfungsi diastolik grade II atau III
- Pada pemeriksaan ekokardiografi dengan median pemeriksaan di hari ke-4, ditemukan terdapat berbagai macam perubahan fungsi jantung yang secara signifikan ditemukan pada pasien COVID- 19 dengan manifestasi cedera miokardium. Terdapat lima kelainan mayor ekokardiografi yang bisa ditemukan:
Membedakan dengan Sindrom Koroner Akut
Dengan hasil pemeriksaan yang hampir mirip dengan sindrom koroner akut, seringkali pasien berakhir dengan label penyakit jantung koroner, namun tidak berarti seluruh pasien tersebut harus dikirim ke laboratorium kateterisasi jantung untuk membuktikan bukan sebuah sindrom koroner akut.
Pasien dengan sindrom koroner akut umumnya memiliki presentasi klinis nyeri dada terutama pada saat datang ke rumah sakit (onset awal) dibandingkan dengan cedera miokardium akibat COVID-19 dengan (onset yang lebih akhir) rata-rata di hari ke- 5, memiliki nilai elevasi troponin yang lebih tinggi, nilai D-Dimer yang lebih tinggi, serta hampir pasti ditemukan gangguan gerakan dinding ventrikel kiri.
Tatalaksana Cedera Miokardium Akibat Covid-19
Hingga saat ini, masih banyak terapi yang diteliti untuk penatalaksanaan cedera miokardium akibat Covid-19. Namun, sudah ada beberapa terapi yang diajukan sebagai tatalaksana cedera miokardium akibat Covid-19:
- Terapi antiviral: penggunaan berbagai macam terapi antiviral, salah satunya Remdesivir dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan infeksi Covid-19 yang berat
- Ace-inhibitor: sesuai dengan mekanisme dari over aktivasi angiotensin II, penggunaan ace-inhibitor (ACE-I) atau angiotensin II receptor blocker (ARB) dapat menurunkan angka mortalitas dan kebutuhan akan ventilasi mekanik pada pasien non-severe acute respiratory syndrome (SARS).
- Tatalaksana cytokine storm: tatalaksana cytokine storm melibatkan tatalaksana anti-syok, simtomatik dan suportif, serta pemberian steroid. Perlu diperhatikan, pemberian steroid dosis tinggi dapat berakibat pada pemanjangan waktu bersihan virus.
- Kolkisin (Colchicine): Penggunaan kolkisin sebagai anti- inflamasi terbukti efektif pada pasien dengan perikarditis secara umum. terbukti pada uji coba GRECCO-19 trial dengan bukti pencegahan terjadinya perburukan pada pasien yang mendapatkan kolkisin. Hingga saat ini kolkisin sebagai terapi cedera miokardium masih diteliti dalam COLHEART-19 trial.
Tatalaksana Covid-19 dengan Gagal Jantung
Pasien dengan komorbid kardiovaskular mengalami peningkatan risiko presentasi yang lebih parah dan komplikasi Covid-19. Hipertensi dan penyakit kardioserebrovaskular mencapai 17,1%, dan 16,4%, masing-masing dari pasien Covid- 19 yang dirawat di rumah sakit, dan mengalami risiko hingga ~ 2 kali lipat dan ~ 3 kali lipat lebih tinggi, untuk mengalami Covid-19 dengan manifestasi severitas berat.
Gagal jantung akut dapat mempersulit perjalanan klinis Covid-19, khususnya pada kasus yang berat. Mekanisme yang mendasari gagal jantung akut pada Covid-19 dapat meliputi iskemia miokard akut, infark atau peradangan (miokarditis), sindroma distres napas akut, cedera ginjal akut dan hipervolemia, kardiomiopati yang diinduksi stres (Takotsubo kardiomiopati), miokarditis, dan takiaritmia. Pneumonia Covid-19 dapat menyebabkan status hemodinamik yang memburuk karena hipoksemia, dehidrasi, dan hipoperfusi.
Level BNP / NT-proBNP yang meningkat secara signifikan juga menunjukkan gagal jantung akut. Penggunaan bedside point of care (POC) transthoracic echocardiography (TTE) dapat dipertimbangkan, dengan perhatian untuk mencegah kontaminasi dari pasien personil medis dan/atau peralatan. Strategi pengobatan yang sama untuk gagal jantung akut dapat diterapkan pada pasien dengan dan tanpa Covid-19. Data tentang gagal jantung akut pada Covid-19 masih sangat jarang. Dalam satu laporan, sebanyak 23% dari semua pasien yang dirawat di rumah sakit mengalami gagal jantung, sementara prevalensi gagal jantung secara signifikan lebih tinggi dalam kasus fatal dibandingkan pada kasus yang selamat (52% vs 12%, P <0,0001).
Risiko infeksi Covid-19 mungkin lebih tinggi pada pasien gagal jantung kronis karena usia lanjut dan adanya beberapa komorbiditas. Pada pasien gagal jantung yang dicurigai Covid-19, penilaian klinis rutin, pengukuran suhu dengan perangkat non- kontak, EKG (aritmia, iskemia miokard, miokarditis), rontgen dada (kardiomegali, pneumonia Covid-19) dan temuan laboratorium (peningkatan tingkat sedimentasi, fibrinogen, protein C-reaktif, dan limfositopenia) dapat memberikan petunjuk diagnostik.
Transtorakal ekokardiografi dan CT scan toraks dapat digunakan untuk penilaian lebih lanjut. Perhatian terutama harus diberikan pada pencegahan penularan virus ke penyedia layanan kesehatan ataupun terjadinya kontaminasi peralatan. Pasien dengan gagal jantung kronik harus mengikuti langkah-langkah perlindungan untuk mencegah infeksi. Pasien gagal jantung stabil yang dapat beraktivitas (tanpa keadaan darurat jantung) harus mengurangi kunjungan ke rumah sakit. Terapi medis yang disarankan sesuai pedoman (termasuk beta-blocker, ACEI, ARB dan antagonis reseptor mineralokortikoid), harus dilanjutkan pada pasien gagal jantung kronik, terlepas dari terdapat atau tidaknya infeksi Covid-19. Telemedicine harus dipertimbangkan sedapat mungkin untuk memberikan saran medis dan tindak lanjut dari pasien gagal jantung yang stabil.
Tatalaksana Covid-19 dengan Hipertensi
Hipertensi merupakan salah satu komorbid yang paling sering ditemui pada pasien Covid-19. Hipertensi juga banyak terdapat pada pasien Covid-19 yang mengalami ARDS. Saat ini belum diketahui pasti apakah hipertensi tidak terkontrol merupakan faktor risiko untuk terjangkit Covid-19, akan tetapi pengontrolan tekanan darah tetap dianggap penting untuk mengurangi beban penyakit. SARS-CoV-2, virus yang mengakibatkan Covid-19, berikatan dengan ACE2 di paru-paru untuk masuk ke dalam sel, sehingga penggunaan penghambat angiotensin converting enzyme (ACE inhibitor) dan angiotensin receptor blockers (ARB), 2 golongan obat yang sering digunakan dalam mengontrol hipertensi, dipertanyakan akan memberikan manfaat atau merugikan, karena ACE inhibitor dan ARB meningkatkan ACE2 sehingga secara teoritis akan meningkatkan ikatan SARS-CoV-2 ke paru-paru. Akan tetapi, ACE2 menunjukkan efek proteksi dari kerusakan paru pada studi eksperimental. ACE2 membentuk angiotensin 1-7 dari angiotensin II, sehingga mengurangi efek inflamasi dari angiotensin II dan meningkatkan potensi efek antiinflamasi dari angiotensin 1-7. ACE inhibitor dan ARB, dengan mengurangi pembentukan angiotensin II dan meningkatkan angiotensin 1-7, mungkin dapat berkontribusi dalam mengurangi inflamasi secara sistemik terutama di paru, jantung, ginjal dan dapat menghilangkan kemungkinan perburukan menjadi ARDS, miokarditis, atau cedera ginjal akut (acute kidney injury).
Faktanya ARB telah disarankan dalam pengobatan Covid-19 dan komplikasinya. Peningkatan ACE2 terlarut dalam sirkulasi mungkin dapat mengikat SARS-CoV-2, mengurangi kerusakan pada paru atau organ yang memiliki ACE2. Penggunaan ACE2 rekombinan mungkin menjadi pendekatan terapeutik untuk mengurangi viral load dengan mengikat SARS-CoV-2 di sirkulasi dan mengurangi potensi ikatan ke ACE2 di jaringan. Penggunaan obat-obatan ini harus dilanjutkan untuk mengontrol tekanan darah dan tidak dihentikan, dengan dasar dari bukti yang ada saat ini.
Beberapa tinjauan sistematik dan meta analisis melaporkan pemberian ACE inhibitor dan ARB tidak meningkatkan progresivitas penyakit Covid-19, sehingga ACE inhibitor dan ARB tetap dapat digunakan sebagai terapi antihipertensi pada populasi pasien Covid-19. European Society of Cardiology (ESC) juga tetap merekomendasikan pemberian ACE inhibitor dan ARB sebagai upaya mengendalikan hipertensi pada pasien Covid-19 dikarenakan efek negatif kedua obat ini tidak memiliki basis kaidah ilmiah.
Penggunaan ACE inhibitor atau ARB tidak berhubungan dengan peningkatan risiko Covid-19 dan didapatkan penurunan derajat keparahan Covid-19 dengan ACE inhibitor atau ARB pada populasi umum dan kelompok pasien dengan hipertensi. Risiko kematian karena semua sebab (all-cause death) mengalami penurunan dengan terapi ACE inhibitor atau ARB pada populasi umum dan populasi pasien dengan hipertensi. Direkomendasikan pemberiaan RAAS inhibitor tetap dilanjutkan.
Ada kemungkinan bahwa hubungan yang dilaporkan antara hipertensi dan risiko komplikasi berat atau kematian akibat infeksi Covid-19 dapat dikacaukan oleh kurangnya penyesuaian usia. Saat ini tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa hipertensi merupakan faktor risiko independen untuk komplikasi berat atau kematian akibat infeksi Covid-19. Meskipun banyak spekulasi, saat ini tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa pengobatan sebelumnya dengan ACEI atau ARB meningkatkan risiko infeksi Covid-19, atau risiko munculnya komplikasi berat dari infeksi Covid-19. Pengobatan hipertensi harus mengikuti rekomendasi yang ada dalam pedoman dari ESC (European Society of Cardiology) dan ESH (European Society of Hypertension). Tidak ada perubahan untuk rekomendasi pengobatan ini yang diperlukan selama pandemi Covid-19. Pasien yang diisolasi sendiri dengan kondisi hipertensi dan sedang dirawat tidak perlu mengunjungi rumah sakit untuk kunjungan pemeriksaan rutin selama pandemi ini. Pasien dapat menggunakan pemantauan tekanan darah di rumah secara berkala, dengan konferensi video, atau konsultasi telepon hanya jika diperlukan. Pasien dengan hipertensi mungkin mengalami risiko yang meningkat terhadap aritmia jantung akibat dari penyakit jantung yang mendasarinya, atau akibat dari seringnya pasien mengalami hipokalemia pada kondisi infeksi Covid-19 berat. Terapi antihipertensi mungkin perlu dihentikan sementara pada pasien infeksi akut di rumah sakit yang mengalami hipotensi atau cedera ginjal akut sekunder akibat infeksi Covid-19 yang berat. Pada pasien yang sebelumnya dirawat karena hipertensi yang memerlukan ventilasi invasif, obat antihipertensi parenteral hanya diindikasikan untuk mereka yang mengalami hipertensi berat persisten.
Tatalaksana Covid-19 dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
Pasien PPOK berisiko terhadap Covid-19, terutama pada PPOK yang berat dengan VEP1 prediksi kurang dari 50%, riwayat eksaserbasi dengan perawatan di rumah sakit, membutuhkan oksigen jangka panjang, gejala sesak dan dengan komorbid lainnya.
Pasien PPOK pada masa pandemi Covid-19 ini disarankan untuk meminimalisir konsultasi secara tatap muka. Bila ada konsultasi secara tatap muka maka perlu dilakukan skrining terlebih dahulu melalui telepon untuk memastikan pasien tidak ada gejala Covid-19. Pasien segera berobat bila terdapat gejala atau perubahan dari gejala sehari-hari yang mengarah ke Covid-19 ke rumah sakit rujukan Covid-19.
Tindakan pencegahan perlu dilakukan untuk menghindari terpajan coronavirus seperti menjaga jarak, menggunakan masker, sering mencuci tangan, tidak menyentuh muka, hidung, mulut dan mata dan menghindari kontak dengan orang yang mungkin telah terinfeksi Covid-19.
Pasien PPOK diminta untuk tetap menggunakan secara rutin obat inhaler atau oral yang sudah teratur digunakan. Demikian juga bagi pasien PPOK yang terinfeksi Covid-19 atau dicurigai terinfeksi Covid-19. Tidak ada bukti bahwa penggunaan kortikosteroid inhaler (ICS) atau oral untuk PPOK harus dihindari pada pasien PPOK selama masa pandemi Covid-19. Namun penggunaan ICS untuk pasien PPOK dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat rawat inap karena eksaserbasi PPOK, ≥ 2 eksaserbasi dalam satu tahun, eosinofil darah >300 sel/ul, riwayat atau konkomitan asma, sehingga bila tidak memenuhi hal tersebut tidak dianjurkan pemberian ICS. Pada pasien PPOK yang mendapat terapi ICS dosis tinggi dipertimbangkan untuk menurunkan ke dosis standar. Pasien PPOK dengan eksaserbasi ditatalaksana sesuai dengan pedoman nasional yang sudah ada.
Tatalaksana Covid-19 dengan Tuberkulosis
Secara umum pasien TB tetap harus patuh menjalani pengobatan TB sampai sembuh. Pasien tetap harus menerapkan protokol kesehatan seperti etiket batuk, praktik hidup sehat dan bersih, rajin mencuci tangan, menjaga jarak dan memakai masker. Pasien tetap diberikan pengobatan anti-TB (OAT) sesuai standar untuk suspek, probable dan pasien terkonfirmasi Covid-19. Prinsip yang dianjurkan adalah pengobatan TB tetap berjalan tanpa pasien harus terlalu sering mengunjungi fasyankes TB untuk mengambil OAT.
- Pasien suspek dan pasien terkonfirmasi Covid-19 dengan gejala ringan atau tanpa gejala
- Pasien diberikan obat sesuai tatalaksana Covid-19 dengan melakukan isolasi diri 14 hari sambil menunggu swab Covid-19
- Pasien TB diberikan sejumlah OAT untuk periode tertentu sehingga stok OAT yang memadai harus disediakan selama isolasi diri atau selama dirawat
- Pemantauan pengobatan dapat diselenggarakan secara elektronik menggunakan metode non tatap muka, misalnya fasilitas video call yang dapat membantu pasien menyelsaikan pengobatan TB mereka
- Pasien TB sensitif obat pada fase pengobatan intensif, pemberian OAT diberikan dengan interval tiap 14-28 hari
- Pasien TB sensitif obat pada fase pengobatan lanjutan, pemberian OAT diberikan dengan interval tiap 28-56 hari
- Pasien TB resisten obat pada fase pengobatan intensif, pemberian OAT oral diberikan dengan interval tiap 7 hari
- Pasien TB resisten obat pada fase pengobatan lanjutan, pemberian OAT oral diberikan dengan frekuensi tiap 14- 28 hari dengan memperkuat pengawas minum obat (PMO)
- Interval pemberian OAT bisa diperpendek melihat kondisi pasien
- Pasien TB resisten obat yang belum terkonfirmasi Covid-19 namun masih menggunakan terapi injeksi diharapkan tetap melakukan kunjungan setiap hari ke faskes yang ditunjuk dan selalu menggunakan masker. Diupayakan injeksi dilakukan di Faskes terdekat dari rumah pasien dengan tetap memperhatikan keamanan petugas faskes tujuan
- Pada pasien TB resisten obat yang juga terkonfirmasi Covid-19 dan masih menggunakan terapi injeksi tetap mendapat terapi dari Faskes yang ditunjuk dengan petugas yang mendatangi kerumah pasien atau tempat pasien isolasi diri. Petugas yang memberikan terapi injeksi tetap harus memperhatikan keamanan dengan menggunakan APD yang lengkap dan sesuai standar penanganan Covid-19
- Pasien suspek yang dirawat inap mendapat OAT sesuai standar
- Pasien dan keluarganya harus diberikan informasi terkait efek samping dan tanda-tanda bahaya yang mungkin terjadi dan apa yang harus dilakukan jika kondisi tersebut muncul
- Pasien TB yang masih batuk agar tetap memakai masker baik di rumah maupun saat keluar rumah, dan disarankan untuk memiliki ruang tidur yang terpisah dengan anggota keluarga lainnya
- Pemberian Terapi Pencegahan TB diberikan 2 bulan sekali dengan kewajiban lapor perkembangan ke petugas kesehatan melalui telefon atau sarana komunikasi lainnya minimal setiap bulan sekali
- Pasien atau keluarga proaktif menghubungi petugas kesehatan jika ada keluhan atau efek samping obat
- Pasien TB Terkonfirmasi Covid-19 dengan gejala sedang dan berat
- Pasien dengan gejala sedang dan berat mendapat OAT sesuai standar di rumah sakit tempat pasien dirawat
Tatalaksana Covid-19 pada Anak, Remaja, dan Neonatus
Definis Kasus
Definisi operasional kasus Covid-19 pada anak dan neonatus yaitu kasus suspek, kasus probable, kasus konfirmasi dan kontak erat. Definisi kasus ini mengikuti Panduan Kementerian Kesehatan RI. Pada anak manifestasi klinis dari Covid-19 dapat meliputi manifestasi sistemik di luar gejala respirasi seperti demam yang disertai diare, muntah, ruam, syok, keterlibatan jantung dan organ lain yang dikenal sebagai multisystem inflammatory syndrome pada Covid-19 (MIS-C). Untuk itu, klinisi perlu mengetahui kondisi MIS-C pada anak dan menatalaksananya. Apabila menemukan tanda dan gejala MIS-C pada anak, klinisi dapat menegakkan diagnosis berdasarkan pemeriksaan serologi antibodi.
Derajat Penyakit
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan hasil pemeriksaan penunjang, maka klasifikasi klinis dapat dibagi menjadi tanpa gejala, ringan, sedang, berat dan kritis .
- Tanpa gejala
- Hasil uji SARS-CoV-2 positif tanpa ada tanda dan gejala klinis.
- Ringan
- Gejala infeksi saluran napas atas seperti demam, fatigue, mialgia, batuk, nyeri tenggorokan, pilek, dan bersin. Beberapa kasus mungkin tidak disertai demam, dan lainnya mengalami gejala saluran pencernaan seperti mual, muntah, nyeri perut, diare, atau gejala non-respiratori lainnya.
- Sedang
- Gejala dan tanda klinis pneumonia. Demam, batuk, takipnu*, dapat disertai ronki atau wheezing pada auskultasi paru tanpa distres napas dan hipoksemia.
- *Takipnu= Frekuensi napas <2 bulan: ≥60x/menit, 2–11 bulan: ≥50x/menit, 1–5 tahun: ≥40x/menit, >5 tahun: ≥30x/menit
- Berat
- Gejala dan tanda klinis pneumonia berat berupa napas cuping hidung, sianosis, retraksi subkostal, desaturasi (saturasi oksigen <92%).
- Adanya tanda dan gejala bahaya umum seperti kejang, penurunan kesadaran, muntah profuse, tidak dapat minum, dengan atau tanpa gejala respiratori.
- Kritis
- Pasien mengalami perburukan dengan cepat menjadi acute respiratory distress syndrome (ARDS) atau gagal napas atau terjadi syok, ensefalopati, kerusakan miokard atau gagal jantung, koagulopati, gangguan ginjal akut, dan disfungsi organ multipel atau manifestasi sepsis lainnya. Kriteria gagal napas dengan pediatric acute respiratory distress syndrome (PARDS) dapat dilihat pada gambar di bawah
- Multisystem inflammatory syndrome (MIS)
- Anak dan remaja 0-19 tahun yang mengalami demam ≥ 3 hari DAN disertai dua dari:
- Ruam atau konjungtivitis bilateral non purulenta atau tanda inflamasi mukokutaneus pada mulut, tangan dan kaki
- Hipotensi atau syok
- Gambaran disfungsi miokardium, perikarditis, vaskulitis, abnormalitas koroner (terdiri atas kelainan pada ekokardiografi, peningkatan Troponin/NT-proBNP)
- Bukti adanya koagulopati (dengan peningkatan PT, APTT, D-dimer)
- Gejala gastrointestinal akut (diare, muntah, atau nyeri perut)
- DAN peningkatan marker inflamasi seperti LED, CRP atau procalcitonin
- DAN tidak ada penyebab keterlibatan etiologi bakteri yang menyebabkan inflamasi meliputi sepsis bakteri, sindrom syok karena Stafilokokkus atau Streptokokkus
- DAN terdapat bukti Covid-19 (berupa RT-PCR, positif tes antigen atau positif serologi) atau kemungkinan besar kontak dengan pasien Covid-19
- Anak dan remaja 0-19 tahun yang mengalami demam ≥ 3 hari DAN disertai dua dari:
Pemeriksaan RT-PCR Swab dan Virus
Pemeriksaan swab mengikuti panduan pemeriksaan yang sudah dijelaskan di atas. Pada kasus suspek dan probable COVID-19 dengan hasil swab nasoorofaring negatif, maka pemeriksaan swab dapat dilakukan dari rektal atau spesimen saluran napas bawah (mis. sputum). Pemeriksaan virus SARS-CoV-2 dapat diambil dari saluran napas, feses, maupun spesimen lain seperti plasenta.
Pemeriksaan Rapid Antibodi dan Antigen Terhadap SARS-COV-2
Pemeriksaan antibodi digunakan untuk mengetahui seroprevalensi yang membantu surveilans epidemiologi COVID-19. Pemeriksaan rapid antibodi positif pada anak dengan kecurigaan MIS-C, walaupun hasil PCR SARS-CoV- 2 negatif, diagnosis MIS-C tetap dapat ditegakkan. Hal ini didasarkan atas manifestasi klinis MIS-C dapat timbul setelah 2-4 minggu pasca awitan.
Pada saat ini WHO (16 Desember 2020) memasukkan rapid antigen sebagai tes diagnostik dalam penegakkan kasus COVID-19. Penggunaan tes ini dapat membantu apabila sarana pemeriksaan RT-PCR terbatas, harganya lebih murah dan hasil lebih cepat. Namun, perlu ketepatan dalam waktu dan cara pengambilan sampel.
Tatalaksana Kasus Suspek/Probable/Konfirmasi Covid-19
Tata laksana kasus COVID-19 meliputi tata laksana standar yang terdiri atas tata laksana suportif meliputi farmakologis dan non farmakologis serta tata laksana pemberian antivirus.
- Kontak Erat Tanpa gejala
- Karantina dan pemantauan
- Karantina di rumah selama 14 hari
- Pasien melakukan pemantauan mandiri di rumah dan dipantau melalui telepon/telekonsultasi oleh petugas FKTP atau tenaga kesehatan lainnya
- Kontrol di FKTP setelah 14 hari karantina untuk pemantauan klinis.
- Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan PCR mengikuti panduan di atas
- Non-farmakologis
- Nutrisi adekuat
- Berikan edukasi terkait tindakan yang perlu dikerjakan (leaflet untuk dibawa ke rumah)
- Pasien
- Pasien mengukur suhu tubuh 2 kali sehari, pagi dan malam hari
- Selalu menggunakan masker jika ke luar kamar dan saat berinteraksi dengan anggota keluarga
- Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau hand sanitizer sesering mungkin
- Jaga jarak dengan keluarga (physical distancing)
- Upayakan kamar tidur sendiri/terpisah
- Upayakan WC/toilet terpisah, apabila tidak memungkinkan
menggunakan WC/toilet paling akhir (setelah anggota keluarga lainnya) - Menerapkan etiket batuk (diajarkan oleh tenaga medis) – Alat makan-minum segera dicuci dengan air/sabun
- Berjemur matahari minimal sekitar 10-15 menit setiap harinya
- Pakaian yang telah dipakai sebaiknya dimasukkan dalam kantong plastik /wadah tertutup yang terpisah dengan pakaian kotor keluarga yang lainnya sebelum dicuci (siapa tau gak punya mesin cuci)
- Membersihkan lingkungan kamar dan WC/toilet yang digunakan
- Ukur dan catat suhu tubuh tiap jam 7 pagi, jam 12 siang dan jam 19 malam
- Segera berinformasi ke petugas pemantau/FKTP atau keluarga jika terjadi peningkatan suhu tubuh >38°C, sesak napas, atau munculnya keluhan kesehatan lainnya
- Lingkungan/kamar:
- Perhatikan ventilasi, cahaya, dan udara
- Membuka jendela kamar secara berkala
- Menggunakan APD saat membersihkan kamar (setidaknya masker, dan bila memungkinkan sarung tangan dan goggle)
- Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau hand sanitizer sesering mungkin
- Bersihkan kamar setiap hari, bisa dengan air sabun atau bahan desinfektan lainnya.
- Keluarga:
- Bagi anggota keluarga yang berkontak erat dengan pasien sebaiknya memeriksakan diri ke FKTP/rumah sakit
- Anggota keluarga senantiasa pakai masker
- Jaga jarak minimal 1-meter dari pasien
- Senantiasa mencuci tangan
- Jangan sentuh daerah wajah kalau tidak yakin tangan bersih
- Ingat senantiasa membuka jendela rumah agar sirkulasi udara tertukar
- Bersihkan sesering mungkin daerah yang mungkin tersentuh pasien misalnya gagang pintu dll.
- Karantina dan pemantauan
- Tanpa gejala terkonfirmasi, suspek /probable / terkonfirmasi dengan gejala ringan
- Isolasi dan pemantauan
- Rawat jalan, isolasi mandiri
- Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan PCR ulang mengikuti panduan di atas
- Non-farmakologis
- Nutrisi adekuat
- Edukasi terkait tindakan yang harus dilakukan (sama dengan edukasi kontak erat tanpa gejala).
- Farmakologis
- Perawatan suportif
- Pemberian Vit C (1-3 tahun maksimal 400 mg/hari; 4-8 tahun maksimal 600 mg/hari; 9-13 tahun maksimal 1,2 gram/hari; 12-18 tahun maksimal 1,8 gram/hari) dan Zink 20 mg/hari atau obat suplemen lain dapat dipertimbangkan untuk diberikan meskipun evidence belum menunjukkan hasil yang meyakinkan.
- Pada pasien dengan gejala ringan namun memiliki komorbid, perlu dipertimbangkan tata laksana sebagaimana pasien dengan gejala sedang
- Isolasi dan pemantauan
- Suspek / probable / terkonfirmasi dengan gejala sedang
- Isolasi dan pemantauan
- Rawat inap isolasi
- Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan PCR ulang mengikuti panduan di atas
- Pemeriksaan laboratorium darah rutin dengan hitung jenis dan foto toraks, jika memungkinkan diperiksa pula CRP. Pemeriksaan lain seperti fungsi hati, fungsi ginjal, dan pemeriksaan lainnya sesuai indikasi/sesuai komorbid.
- Orangtua penunggu pasien diperiksakan swab naso-orofaring
- Non-farmakologis
- Oksigenasi. Pada keadaan ini terdapat takipnu yang secara cepat menjadi hipoksia, maka perlu disiapkan oksigen
- Infus cairan maintenance
- Nutrisi adekuat.
- Farmakologis
- Perawatan suportif
- Pemberian antivirus untuk SARS-CoV-2 (Tabel 12)
- Antibiotik empirik lebih disukai dosis tunggal atau sekali sehari karena alasan infection control, yaitu ceftriaxon IV 50- 100 mg/kgBB/24jam pada kasus pneumonia komunitas atau terduga ko-infeksi dengan bakteri dan/atau Azitromisin 10 mg/kg jika dicurigai disertai dengan pneumonia atipikal (DPJP dapat memberikan jenis antibiotik lain sesuai dengan keputusan klinis, dengan menyesuaikan dengan pola kuman rumah sakit)
- Jika dicurigai ko-infeksi dengan influenza diberikan oseltamivir
- < 1 tahun: 3 mg/kg/dosis setiap 12 jam
- > 1 tahun:
- BB < 15 kg: 30 mg setiap 12 jam
- BB 15-23 kg: 45 mg setiap 12 jam
- BB 23-40 kg: 60 mg setiap 12 jam
- >40 kg: 75 mg setiap 12 jam
- Kortikosteroid
- Pemberian Vit C (1-3 tahun maksimal 400 mg/hari; 4-8 tahun maksimal 600 mg/hari; 9-13 tahun maksimal 1,2 gram/hari; 12-18 tahun maksimal 1,8 gram/hari) dan Zink 20 mg/hari atau obat suplemen lain dapat dipertimbangkan untuk diberikan meskipun evidence belum menunjukkan hasil yang meyakinkan.
- Isolasi dan pemantauan
- Kasus suspek dengan gejala berat dan kritis
- Isolasi dan pemantauan
- Rawat inap isolasi tekanan negatif
- Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan PCR ulang mengikuti panduan di atas
- Orangtua penunggu pasien diperiksakan swab naso-orofaring
- Pemantauan laboratorium darah rutin berikut dengan hitung jenis dan foto toraks, ditambahkan dengan analisis gas darah untuk menilai kondisi hipoksia yang akurat dan CRP. Pemeriksaan fungsi ginjal, fungsi hati, elektrolit, faktor koagulasi seperti d-dimer, fibrinogen, PT/APTT, penanda inflamasi seperti ferritin, LDH, dan marker jantung seperti troponin/NT-pro BNP dan EKG sesuai indikasi.
- Non-farmakologis
- Terapi oksigen
- Infus cairan
- Nutrisi adekuat, jika diputuskan menggunakan OGT/NGT maka harus dilakukan di ruangan isolasi tunggal atau bertekanan negatif dengan menerapkan standard PPI dengan APD level 3.
- Farmakologis
- Perawatan suportif
- Pemberian antivirus untuk SARS-CoV-2 (Tabel 9)
- Antibiotik empirik lebih disukai dosis tunggal atau sekali sehari karena alasan infection control, yaitu ceftriaxon IV 50- 100 mg/kgBB/24jam pada kasus pneumonia komunitas atau terduga ko-infeksi dengan bakteri dan/atau azitromisin 10 mg/kg jika dicurigai disertai dengan pneumonia atipikal (DPJP dapat memberikan jenis antibiotik lain sesuai dengan keputusan klinis, dengan menyesuaikan dengan pola kuman rumah sakit)
- Jika dicurigai ko-infeksi dengan influenza diberikan oseltamivir (dosis seperti di penanganan kasus sedang)
- Kortikosteroid
- Pemberian Vit C (1-3 tahun maksimal 400 mg/hari; 4-8 tahun maksimal 600 mg/hari; 9-13 tahun maksimal 1,2 gram/hari; 12-18 tahun maksimal 1,8gram/hari) dan Zink 20 mg/hari atau obat suplemen lain dapat dipertimbangkan untuk diberikan meskipun evidence belum menunjukkan hasil yang meyakinkan.
- Isolasi dan pemantauan
- Kasus probable/konfirmasi berat dan kritis, MIS-C
- Isolasi dan pemantauan
- Ruangan intensif tekanan negatif (sesuai kondisi setempat)
- Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan swab PCR mengikuti panduan di atas
- Pemantauan laboratorium darah rutin berikut dengan hitung jenis dan foto toraks, ditambahkan dengan analisis gas darah untuk menilai kondisi hipoksia yang akurat dan CRP. Pemeriksaan fungsi ginjal, fungsi hati, elektrolit, faktor koagulasi seperti d-dimer, fibrinogen, PT/APTT, penanda inflamasi seperti ferritin, LDH, IL-6 dan marker jantung seperti troponin/NT-pro BNP, ekokardiografi dan EKG sesuai indikasi.
- Non-farmakologis
- Terapi oksigen
- Infus cairan
- Nutrisi adekuat, jika diputuskan menggunakan OGT/NGT maka harus dilakukan di ruangan tekanan negatif dengan menerapkan standard PPI dengan APD level 3.
- Farmakologis
- Perawatan suportif
- Pemberian antivirus untuk SARS-CoV-2 (Tabel 9)
- Antibiotik empirik lebih disukai dosis tunggal atau sekali sehari karena alasan infection control, yaitu ceftriaxon IV 50- 100 mg/kgBB/24jam pada kasus pneumonia komunitas atau terduga ko-infeksi dengan bakteri dan/atau azitromisin 10 mg/kg jika dicurigai disertai dengan pneumonia atipikal (DPJP dapat memberikan jenis antibiotik lain sesuai dengan keputusan klinis, dengan menyesuaikan dengan pola kuman rumah sakit)
- Jika dicurigai ko-infeksi dengan influenza boleh diberikan oseltamivir
- Kortikosteroid
- Pemberian Vit C (1-3 tahun maksimal 400 mg/hari; 4-8 tahun maksimal 600 mg/hari; 9-13 tahun maksimal 1,2 gram/hari; 12-18 tahun maksimal 1,8 gram/hari) dan Zink 20 mg/hari atau obat suplemen lain dapat dipertimbangkan untuk diberikan meskipun evidence belum menunjukkan hasil yang meyakinkan.
- Pemberian IVIG, kortikosteroid, antikoagulan, antiinflamasi lain seperti anti IL-6 diberikan dengan pertimbangan hati-hati melalui diskusi dengan tim Covid-19 rumah sakit.
- Isolasi dan pemantauan
Pemberian Antivirus Potensial dan Anti-Inflamasi untuk Infeksi Covid-19
Terapi definitif untuk Covid-19 masih terus diteliti, namun laporan efektivitas dan keamanan obat antivirus tersebut adalah pada pasien dewasa, sedangkan pada anak masih dalam penelitian. Pemberian anti SARS-CoV-2 pada anak harus mempertimbangkan derajat beratnya penyakit dan komorbid, serta persetujuan orang tua. Dosis pemberian antivirus potensial dan durasi pemberiannya dapat dilihat pada Tabel 9.
Pemantauan Derajat Keparahan Pasien pada Kasus Anak dengan Covid-19
- Pemantauan derajat keparahan pasien yang disepakati oleh pakar intensif anak adalah nilai rasio SpO2/FiO2 (SF ratio)
- Pada pasien dengan tunjangan pernapasan non-invasif dapat digunakan indeks saturasi oksigen (oxygen saturation index/OSI)
- Pada pasien dengan ventilasi mekanik invasif dapat dihitung indeks oksigenasi (oxygenation index/OI)
- Kadar FiO2 disesuaikan untuk mencapai target saturasi perifer atau SpO2< 97% agar validitas penghitungan SF rasio dan OSI dapat dijaga
- Prediksi perburukan pirau intrapulmonal dapat dilakukan dengan menghitung dan memantau AaDO2
- Kriteria P-ARDS yang digunakan sesuai dengan kriteria Pediatric Acute Lung Injury Conference Consensus (PALICC)
Indikasi dan Prinsip Penggunaan NIV atau HFNC pada Kasus Anak dengan Covid-19
- Anak dengan klinis sesak (RR >+2 SD sesuai usia) dengan atau tanpa peningkatan usaha nafas atau work of breathing
- Memerlukan suplementasi oksigen untuk mempertahankan SpO2 > 88% dan OI (oxygenation index) < 4 atau OSI < 5
- Terdapat infiltrat baru yang konsisten dengan gambaran penyakit paru akut
Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) atau Bilevel Non- Invasive Ventilation (NIV)
- Rekomendasi tunjangan pernapasan awal pada pasien dengan SF rasio sebesar 221 – 264. CPAP dan NIV Bilevel lebih dianjurkan oleh karena tekanan jalan napas akan lebih terjamin dibandingkan dengan pemberian high flow nasal cannula (HFNC)
- Jika SF rasio < 221, intubasi jangan ditunda
- Jika tidak terjadi perbaikan oksigenasi (target SpO2 92-97% dengan FiO2< 0.6) dalam pemantauan 60-90 menit, atau ROX index< 5, lakukan intubasi
- Interface yang digunakan pada CPAP/NIV dianjurkan helmet, guna mengurangi kebocoran atau leak yang terjadi. Jika tidak tersedia, dapat digunakan sungkup non-vented oro-nasal atau full-face yang disambungkan dengan sirkuit double-limb atau single-limb dengan filter
- Lakukan titrasi tekanan sesuai respons pasien (target oksigenasi atau peningkatan upaya bernapas)
- Penggunaan CPAP dan NIV berisiko untuk terjadinya kontaminasi aerosol terutama jika ada kebocoran. Penggunaan alat pelindung diri (APD) yang memadai mutlak harus dipenuhi jika merawat pasien infeksi Covid-19 dengan CPAP/NIV
High Flow Nasal Cannula (HFNC)
- High flow nasal cannula (HFNC) dapat dipergunakan jika CPAP/NIV tidak tersedia, pada pasien dengan SF rasio > 264 dengan pemberian FiO2 0.35-0.4
- HFNC juga berisiko menyebabkan kontaminasi aerosol, karena tingkat kebocoran / leak yang tinggi.
- Jika target oksigenasi (SpO2> 92 – 94 % dengan FiO2< 0.4) tidak membaik dalam waktu 30 – 60 menit, segera intubasi
Ventilasi Mekanisk Invasif
- Saat ini belum ada rekomendasi modus ventilator tertentu pada pasien anak dengan infeksi Covid-19 yang mengalami ARDS
- Modus ventilator, pengaturan awal dan penyesuaian bergantung pada kondisi pasien dan sesuai keahlian dokternya
- Anjuran untuk menerapkan ventilasi proteksi paru sesuai rekomendasi PALICC
- Pasien mengalami hipoksemia refrakter apabila ditemukan:
- PaO2/FiO2 < 150
- OI ≥ 12
- OSI ≥ 10 dan atau
- FiO2> 0.6
Tindakan Intubasi Trakeal Emergensi pada Anak dengan Covid-19
Jika diperlukan tindakan intubasi, perhatikan hal-hal berikut:
- Pencegahan infeksi adalah prioritas utama: semua tim yang terlibat harus menggunakan APD sesuai standar dan tindakan dilakukan di ruang dengan tekanan negatif
- Jalur komunikasi harus tersedia untuk tim di dalam ruangan dan tim di luar ruangan
- Pastikan sudah tersedia checklist intubasi dan daftar peran masing-masing staf. Dalam melakukan intubasi minimalisasi petugas yang ada di ruang intubasi. Staf yang melakukan intubasi terdiri dari 3 orang, yaitu:
- Intubator atau operator airway dilakukan oleh dokter yang paling berpengalaman dalam mengintubasi dan berperan untuk mengintubasi pasien dalam upaya pertama
- Asisten airway bertugas membantu intubator membuka jalan napas, memastiakan jalan napas paten dan memberikan bantuan pernapasan.
- Asisten pemberi obat-obatan, bertugas memberikan obat- obatan selama proses intubasi dan melakukan moitoring atau pengawasan terhadap tindakan intubasi maupun kondisi pasien.
- Periksa monitor, akses IV, instrumen, obat-obatan, ventilator dan suction
- Pertimbangkan penggunaan video laryngoscope
- Pertimbangkan tahanan krikoid/rapid sequence intubation (RSI)
- Hindari ventilasi sungkup manual jika tidak diperlukan
- Jika diperlukan, gunakan teknik 2 orang, dengan oksigen aliran rendah dan batasi pemberian tekanan
- Pastikan filter tersedia antara face mask dan bag
- Intubasi dan konfirmasi dengan monitor kapnografi kontinu dan pemeriksaan visual kembang dada (hindari penggunaan stetoskop)
- Jika menggunakan video laryngoscope – gunakan disposable blade
- Bila pelumpuh otot telah diberikan, segera intubasi
- Masukkan ETT hingga kedalaman yang ditentukan dan kembangkan cuff untuk menutup jalan nafas sebelum memulai ventilasi. Catat kedalaman ETT
- Pasang NGT untuk dekompresi lambung sehingga tidak mengganggu ventilasi paru
- Hindari melepas sambungan sirkuit; tekan dan putar semua konektor untuk mengunci. Klem selang endotrakeal saat melepas sambungan
- Gunakan algoritma gagal intubasi jika terjadi kesulitan
- Beri instruksi sederhana dan gunakan closed loop communication
- Jika status pasien Covid-19 belum dikonfirmasi, aspirasi trakea untuk pemeriksaan virologi dilakukan dengan closed suction
- Buang alat sekali pakai dengan aman setelah digunakan
- Dekontaminasi alat yang dapat digunakan ulang sesuai instruksi. Setelah meninggalkan ruangan, lepas APD dengan teliti
- Bersihkan ruangan 20 menit setelah intubasi (atau tindakan yang menghasilkan aerosol terakhir)
- Simpan peralatan terkait lainnya di luar ruangan sampai dibutuhkan
Rangkuman Obat-obatan/Terapi Farmakologis untuk Pasien Covid-19 Anak, Remaja, dan Neonatus
Nama obat | Indikasi | Kontraindikasi | Dosis | Durasi | Keterangan |
---|---|---|---|---|---|
Remdesivir | Covid-19 konfirmasi klinis sedang (dengan atau tanpa komorbid; imunokompeten maupun imunokompromais) Covid-19 konfirmasi klinis berat dan kritis MISC dengan RT-PCR positif | Gangguan hepar (ALT ≥ 5x batas atas normal atau ada elevasi ALT yang berkaitan dengan meningkatnya bilirubin direk, alkalin fosfatase, atau INR) Gangguan ginjal (>28 hari dengan eFGR <30 ml/menit atau neonatus cukup bulan (7-28 hari kehidupan) dengan serum kreatinin ≥ 1 mg/dL, kecuali manfaat lebih banyak dari risiko pemberian obat. Tidak ada penyesuaian dosis untuk pasien dengan eGFR >30 ml/menit | <40 kg: 5 mg/kg IV loading dose pada hari ke-1; diikuti 2,5 mg/kg IV tiap 24 jam ≥40 kg: 200 mg IV loading dose pada hari ke-1; diikuti 100 mg IV tiap 24 jam Drip selama 30-120 menit | Untuk pasien yang tidak memerlukan ventilasi mekanik atau ECMO diberikan selama 5 hari atau sampai pulang mana yang lebih cepat. Jika belum perbaikan maka dapat diberikan sampai 10 hari. | Tersedia melalui permintaan khusus untuk anak-anak. Pemberian didiskusikan dengan tim penanganan COVID-19 di rumah sakit masing-masing. RS melaporkan penggunaan Remdesivir anak ke BPOM sebagai otorisasi penggunaan emergensi (emergency used authorization) |
Favipiravir | Covid-19 konfirmasi klinis ringan (dengan komorbid dan/atau imunokompromais) Covid-19 konfirmasi klinis sedang | 10-15 kg: H1 500 mg, hari selanjutnya 200 mg tiap 8 jam 16-21 kg: H1 800 mg, hari selanjutnya 400 mg tiap 12 jam 22-35 kg: H1 1200 mg, hari selanjutnya 600 mg tiap 12 jam Diatas 35 kg: H1 1600 mg, hari selanjutnya 800 mg tiap 12 jam | |||
Oseltamivir | Jika dicurigai koinfeksi dengan influenza | < 1 tahun : 3 mg/kg/dosis setiap 12 jam > 1 tahun – BB < 15 kg : 30 mg tiap 12 jam – BB 15-23 kg : 45 mg tiap 12 jam – BB 23-40 mg : 60 mg tiap 12 jam – BB > 40 kg : 75 mg tiap 12 jam | |||
Tocilizumab | Covid-19 konfirmasi berat atau MISC yang refrakter dengan terapi standard ATAU Covid-19 berat atau MISC dengan peningkatan IL-6 | Kontraindikasi relatif, adanya infeksi aktif | Infant: 8 mg/kgBB/dosis IV, dosis tunggal BB < 30 kg : 12 mg/kgBB/dosis IV dosis tunggal BB > 30 kg : 8 mg/kgBB IV Maksimum dosis 800 mg | Dosis tunggal, dapat diulang 12-24 jam kemudian jika kondisi pasien tidak perbaikan | Pemberian didiskusikan dengan tim penanganan Covid-19 di rumah sakit masing-masing |
IVIG | Covid-19 terkonfirmasi berat-kritis MIS-C | Pada pasien yang menunjukan gejala seperti Kawasaki: 2 g/kgBB dosis tunggal diinfus 8- 12 jam Pada pasien tanpa gejala seperti Kawasaki: 1 g/kgBB dosis tunggal diinfus 8-12 jam | Dosis tunggal | Pemberian didiskusikan dengan tim penanganan Covid-19 di rumah sakit masing-masing | |
Plasma konvalesens | Covid-19 konfirmasi yang berat kritis | Anak > 40kg: 200-500 mL Anak < 40 kg: dosis 10- 15mL/kg | Hati-hati efek samping TRALI dan anafilaktik | ||
Steroid dosis rendah | Covid-19 konfirmasi derajat sedang dan berat | Deksametason: 0,15 mg per kgBB per hari diberikan tiap 24 jam (IV/oral/NGT) maksimal dosis 6 mg Prednisolone: 1 mg/kgBB satu kali sehari (oral/NGT), maksimal dosis 40 mg Metilprednisolon: 0,8 mg/kgBB IV satu kali sahari maksimal dosis 32 mg Hidrokortison: Neonatus < 1 bulan: 0,5 mg/kg IV tiap 12 jam selama 7 hari, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kg IV satu kali sehari selama 3 hari. Anak ≥ 1 bulan: 1,3 mg per kgBB tiap 8 jam maksimum dosis 50 mg, maksimum dosis per hari 150 mg | Diberikan selama 10 hari atau sampai pulang dari perawatan, mana yang lebih singkat | Anak besar obesitas menggunakan dosis dewasa Anak lebih kecil obesitas perhitungan dosis menggunakan BB ideal | |
Steroid dosis yang umum diberikan pada pasien kritis | MISC atau Covid-19 kritis | Metilprednisolon: 2 mg/kgBB/hari bagi 2 dosis. Hidrokortison : 2-4 mg/kg tiap 6 jam IV maksimal 100 mg per dosis | Metilprednisolon: ketika pasien perbaikan dapat diganti dengan prednisolone/prednisone oral pada saat pulang dari rumah sakit, kemudian ditappering off selama 3-4 minggu | Metilprednisolon: Untuk klinis yang tidak respons dengan IVIG atau MIS-C tipe macrophage activation syndrome atau cytokine release storm. Dapat diberikan bersamaan dengan IVIG Hidrokortison diberikan untuk syok resisten katekolamin | |
LMWH dan Heparin | MIS-C dengan keterlibatan jantung Dipertimbangkan pada kondisi kritis (hemodinamik tidak stabil), DIC, emboli paru dan limb-threatening deep vein thrombosis Profilaksis diberikan pada pasien dengan MIS-C. Data pemberian profilaksis pada anak Covid-19, masih terbatas. Pasien telah mendapat antikoagulan sebelumnya Pasien dengan kecurigaan atau menunjukkan adanya venous thromboembolism (VTE) Pada pemeriksaan lab ditemukan peningkatan D-dimer, fibrinogen, penurunan trombosit. Pada pencitraan ditemukan VTE | Perdarahan aktif, riwayat alergi heparin atau heparin-induced thrombocytopenia, riwayat perdarahan sebelumnya, jumlah trombosit <25.000/mm3, gangguan hati berat | Dosis profilaksis: Enoxaparin (low molecular-weight heparin/LMWH) 0,5 mg/kgBB tiap 24 jam SK ATAU Heparin dosis profilaksis 5000 U tiap 12 jam SK Pemberian antikoagulan disesuaikan dengan klinis dan marker koagulasi Dosis Terapeutik: Enoxaparin 0,5 – 1 mg/kgBB tiap 12 jam SK ATAU Heparin titrasi 20 U/kgBB/jam seusai target | Pemberian didiskusikan dengan tim penanganan Covid-19 di rumah sakit masing-masing | |
Aspirin | MIS-C dengan keterlibatan jantung Apabila pada pasien dicurigai adanya Kawasaki-Likeillnes | Aspirin (ASA) 3-5 mg/kg/day, max 81mg 4-6 minggu* | |||
Vitamin C | Semua pasien Covid-19 terkonfirmasi | 1-3 tahun maksimal 400 mg/hari; 4-8 tahun maksimal 600 mg/hari; 9-13 tahun maksimal 1,2 gram/hari; 12-18 tahun maksimal 1,8 gram/hari | |||
Zinc | Semua pasien Covid-19 terkonfirmasi | 20 mg/hari |
Tatalaksana Koagulopati pada Covid-19
Berikut ini adalah algoritme tatalaksana Covid-19 apda anak yang mengalami gangguan pembekuan darah atau koagulopati:
Tatalaksana Covid-19 pada Neonatus
Definisi kasus neonatus ditentukan oleh status definisi kasus maternal. Pasca terminasi kehamilan, status definisi kasus maternal sudah harus dapat ditentukan non-Covid-19, tersangka/terkonfirmasi Covid-19 (hasil pemeriksaan antigen virus SARS-CoV-2 yaitu RT-PCR).
- Neonatus tanpa gejala lahir dari ibu tersangka/terkonfirmasi Covid-19: Skrining dengan pemeriksaan pembuktian virus SARS-CoV-2 dengan apus nasofaring harus dilakukan segera, idealnya dua kali dengan interval minimal 24 jam. Diagnosis Covid-19 dapat disingkirkan bila didapatkan hasil apus nasofaring tersebut negatif dua kali pemeriksaan berturut turut.
- Neonatus bergejala, pemeriksaan laboratorium dan pencitraan selain untuk pembuktian Covid-19 juga untuk diagnosis penyakit utamanya. Neonatus dinyatakan tidak menderita Covid-19 bila hasil apus nasofaring tersebut negatif dua kali pemeriksaan berturut turut.
Diagnosis Penyakit Utama
- Infeksi awitan dini Covid-19 (apabila infeksi terjadi dalam 72 jam pasca lahir);
- Infeksi awitan lambat Covid-19 (apabila infeksi terjadi setelah 72 jam pasca lahir)
Tatalaksana
Bayi baru lahir dalam keadaan stabil, pasca lahir segera dimandikan untuk mengurangi risiko infeksi. Didasari pada status definisi kasus maternal:
- Tersangka Covid-19, semua tindakan dan perawatan dalam isolasi fisik (penularan droplet), dengan APD tingkat-2.
- Konfirmasi Covid-19, semua tindakan aerosol generated dilakukan dalam ruang isolasi dengan APD tingkat-3
Pada status definisi kasus maternal belum jelas semua tindakan perawatan dalam isolasi fisik (kemungkinan penularan droplet/percikan ludah) risiko rendah, dengan APD tingkat-2 sampai ditentukan status definisi pasti, kecuali memerlukan terapi yang menyebabkan pembentukan aerosol maka APD yang digunakan adalah tingkat 3.
Penundaan pemotongan tali pusat berdasarkan pedoman Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, bayi baru lahir dari ibu tersangka atau terkonfirmasi Covid-19 tidak dilakukan.
Inisiasi Menyusui Dini
- Diskusikan dengan orang tua mengenai keuntungan dan kerugian IMD, serta cara penularan virus Covid-19.
- IMD dilakukan atas keputusan bersama dengan orang tua
- IMD dapat dilakukan bila status ibu adalah kontak erat atau kasus suspek, dan dapat dipertimbangkan pada ibu dengan status kasus konfirmasi (simtomatik ringan /asimtomatik), DAN klinis ibu maupun bayi baru lahir dinyatakan stabil.
- Inisiasi menyusu dini dilakukan dengan mengutamakan pencegahan penularan Covid-19 yaitu ibu menggunakan APD minimal masker.
Rawat Gabung
- Bayi sehat dari ibu kasus suspek dapat dirawat gabung dan menyusu langsung dengan mematuhi protokol pencegahan secara tepat.
- Bayi dari ibu kasus konfirmasi atau kasus probable dilakukan perawatan bayi di ruang isolasi khusus terpisah dari ibunya (tidak rawat gabung).
- Jika kondisi ibu tidak memungkinkan merawat bayinya maka anggota keluarga lain yang kompeten dan tidak terinfeksi Covid-19 dapat merawat bayi termasuk membantu pemberian ASI perah selama ibu dalam perawatan isolasi khusus.
Rawat gabung untuk ibu suspek dapat dilakukan bila:
- Fasilitas kesehatan mempunyai kamar rawat gabung perorangan (1 kamar hanya ditempati 1 orang ibu dan bayinya)
- Perawatan harus memenuhi protokol kesehatan ketat, yaitu jarak antara ibu dengan bayi minimal 2 meter. Bayi dapat ditempakan di inkubator atau cots yang dipisahkan dengan tirai.
- Ibu rutin dan disiplin mencuci tangan sebelum dan sesudah memegang bayi.
- Ibu memberlakukan perilaku hidup bersih dan sehat.
- Ibu harus memakai masker bedah
- Ruangan rawat gabung memiliki sirkulasi yang baik.
- Lingkungan disekitar ibu juga harus rutin dibersihkan dengan cairan disinfektan.
- Edukasi dan informasi tentang cara penularan virus penyebab Covid-19.
Rawat gabung tidak dianjurkan bila:
- Ruang rawat gabung berupa ruangan/bangsal bersama pasien lain.
- Ibu sakit berat sehingga tidak dapat merawat bayinya.
Nutrisi
Bila ibu dan keluarga menginginkan menyusui dan dapat patuh melakukan pencegahan penularan virus SARS-CoV-2 maka tenaga kesehatan akan membantu melalui edukasi dan pengawasan terhadap risiko penularan Covid-19. Menyusui ASI terutama bila klinis ibu tidak berat sehingga memungkinkan langkah tersebut. Terdapat 3 pilihan pemberian nutrisi pada bayi yang lahir dari ibu yang tersangka dan terkonfirmasi Covid-19 (tergantung klinis ibu):
- Pilihan pertama, pada kondisi klinis ibu berat sehingga ibu tidak memungkinkan memerah ASI dan/atau terdapat sarana-prasarana fasilitas kesehatan yang memadai. Keluarga dan tenaga kesehatan memilih mencegah risiko penularan, dengan melakukan pemisahan sementara antara ibu dan bayi. Jika ASI perah atau ASI donor yang layak tidak tersedia, maka pertimbangkan: ibu susuan (dengan penapisan medis untuk menghindari risiko transmisi penyakit) atau susu formula bayi yang sesuai dengan memastikan penyiapan yang benar, aman dan diikuti bantuan relaktasi setelah ibu pulih. Selama perawatan isolasi khusus, ibu dapat tetap memerah ASI untuk mempertahankan produksi dan ASI perah tetap dapat diberikan sebagai asupan bayi. Selama perawatan isolasi khusus, ibu dapat tetap memerah ASI untuk mempertahankan produksi dan ASI perah tetap dapat diberikan sebagai asupan bayi. Ibu memakai masker selama memerah. Ibu mencuci tangan menggunakan air dan sabun selama minimal 20 detik sebelum memerah (disiplin dalam menjaga kebersihan tangan serta higienitas diri). Ibu harus membersihkan pompa serta semua alat yang bersentuhan dengan ASI dan wadahnya setiap selesai (sesuai manufaktur pabrik). ASI perah diberikan oleh tenaga kesehatan atau anggota keluarga yang tidak menderita Covid-19.
- Pilihan kedua, pada kondisi klinis ibu sedang. Keluarga dan tenaga kesehatan memilih mengurangi risiko penularan, mempertahankan kedekatan ibu dan bayi. Pilihan nutrisinya adalah ASI perah. Ibu memakai masker selama memerah. Ibu menerapkan protokol pencegahan infeksi seperti poin 1 di atas.
- Pilihan ketiga, pada kondisi klinis ibu tidak bergejala/ringan dan atau sarana – prasarana terbatas atau tidak memungkinkan perawatan terpisah. Keluarga dan tenaga kesehatan menerima risiko tertular dan menolak pemisahan sementara ibu dan bayi. Pilihan nutrisinya adalah menyusui langsung. Ibu menggunakan masker bedah. Ibu mencuci tangan dan membersihkan payudara dengan sabun dan air. Ibu menyusui bayinya. Orang tua harus mengerti bayi berisiko tertular walaupun belum diketahui secara pasti. Untuk mengurangi risiko penularan pada pilihan ini, jika memungkinkan ibu harus menjaga jarak 2 meter dengan bayinya selama tidak menyusui.
Ibu dan bayi diperbolehkan pulang dengan meneruskan pembatasan fisik dan bayi diperiksa laboratorium bila terdapat keluhan. Ibu tersangka atau terkonfirmasi Covid-19 dapat menyusui kembali apabila sudah memenuhi kriteria bebas isolasi seperti panduan di atas. Rekomendasi untuk penggunaan obat untuk tata laksana Covid-19 pada ibu hamil dan menyusui yang terinfeksi Covid-19 berdasar kajian literatur Lactmed, terangkum dalam tabel berikut Tabel 10.
Obat | Tinjauan | Rekomendasi |
---|---|---|
Azitromisin | Karena kadar azitromisin yang rendah dalam ASI dan lazim digunakan pada bayi dalam dosis yang lebih tinggi, penggunaan selama menyusui tidak menyebabkan efek buruk pada bayi yang disusui. | Aman |
Ritonavir / Lopiravir (Aluvia), Remdezivir, Pavipiravir (Avigan) | Tidak diketahui relevansi keamanan obat anti virus ini pada bayi yang disusui | Belum terdapat bukti ilmiah yang cukup kuat |
Interferon β | Kadar interferon beta-1a dalam ASI sangat kecil, tidak mungkin mencapai aliran darah bayi. | Aman |
Tocilizumab | Hanya sejumlah kecil tocilizumab (antibodi kappa G1 (IgG1) antibodi manusia) yang terdeteksi dalam ASI dan tidak ada efek samping yang dilaporkan, tetapi harus digunakan dengan hati-hati terutama saat menyusui bayi yang baru lahir atau bayi prematur. | Aman, dengan pemantauan ketat |
N-acetylcysteine | Tidak ada informasi tersedia tentang penggunaan acetylcysteine selama menyusui, untuk menghindari paparan terhadap bayi, ibu menyusui disarankan mempertimbangkan memompa dan membuang ASI mereka selama 30 jam setelah pemberian NAC. | Belum terdapat bukti ilmiah yang cukup kuat |
Alur Tatalaksana Neonatus dari Ibu Suspek atau Terkonfirmasi
Analgesia pada Penanganan Nyeri Pasien Covid-19
Nyeri merupakan kondisi yang banyak ditemukan pada pasien dengan COVID-19 meliputi nyeri tenggorokan, myalgia, nyeri kepala dan termasuk nyeri akibat prosedur tindakan yang dilakukan pada pasien seperti intubasi endotracheal dan ventilasi mekanik.
Secara umum penanganan nyeri pada pasien Covid-19 perlu dilakukan untuk menghindari efek akibat penanganan nyeri yang tidak adekuat baik konsekuensi fisiologis maupun psikologis. Konsekuensi fisiologis yang paling dikhawatirkan adalah tercetusnya respon simpatis saraf otonom terutama pada nyeri sedang sampai berat seperti akibat prosedur tindakan yang dilakukan. Respon simpatis yang dihasilkan dikenal dengan fenomena pressor response berupa pelepasan katekolamin dapat menyebabkan peningkatan laju nadi dan tekanan darah serta vasokonstriksi pembuluh darah pada organ-organ vital seperti jantung.
Takikardia dan hipertensi menyebabkan gangguan keseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen ke otot miokard yang jika hal ini digabungkan dengan terjadinya gangguan oksigenasi pada pasien Covid-19, maka dapat terjadi iskemia organ multipel yang akan menghambat pemulihan pasien atau bahkan memperberat kondisi pasien.
Pemilihan analgesia pada pasien Covid-19 perlu dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal diantaranya besarnya simulasi nyeri, intensitas dan jenis nyeri yang dirasakan pasien serta kondisi pasien dengan adanya perubahan sistem tubuh pasien infeksi Covid-19. Analgesik yang umum digunakan berupa analgesia non-opioid ( Parasetamol, non-steroid anti inflammatory drug (NSAID) ), opioid dan beberapa ajuvan analgesia sesuai kondisi nyeri pasien seperti gabapentinoid, antidepresan trisiklik dan lainnya.
Pasien dengan intensitas nyeri ringan cukup diberikan analgesia non-opioid, sementara pasien dengan intensitas nyeri sedang sampai berat memerlukan tambahan analgesia kuat seperti opioid dengan konsep multimodal analgesia yang banyak digunakan dalam praktek penanganan nyeri dengan analgesik. Pada kondisi berat maka diperlukan pemberian sediaan analgesia opioid intravena seperti pada pelaksanaan intubasi dan pemberian ventilasi mekanik.
Analgetik Non-Opioid
Parasetamol merupakan analgesia yang banyak digunakan pada pasien Covid-19 untuk meredakan gejala seperti seperti demam, nyeri kepala, dan nyeri akut maupun kronis lainnya karena memiliki efek analgetik dan antipiretik dengan penggunaan tidak lebih dari 4 gram perhari secara oral maupun intravena mengingat efek toksisitas hati bila digunakan dengan dosis berlebih.
Penggunaan NSAID pada laporan awal dinyatakan adanya pengaruh jenis tertentu seperti Ibuprofen pada perburukan kasus Covid-19, ternyata hal tersebut tidak cukup bukti ilmiah. Sehingga NSAID termasuk Ibuprofen tetap dapat digunakan atau tidak dihentikan pemberiannya selama pasien masih membutuhkan analgetik anti inflamasi, tentu tetap dengan pertimbangan yang sama seperti pada pasien non- Covid-19 lainnya sehubungan dengan fungsi gastrointestinal, renal, koagulasi dan kardiovaskuler serta selektifitas jenis NSAID terhadap enzim siklooksigenase COX-1 dan COX-2 yang digunakan.
Perlu diingat bahwa penggunaan analgetik dan antipiretik dapat mengaburkan gejala yang terjadi pada pasien dalam penegakan diagnosis kemungkinan terinfeksi. Namun dalam menangani nyeri dan demam pada pasien dengan Covid-19 maka praktisi medis perlu mempertimbangkan tetap menggunakan pilihan yang tersedia termasuk parasetamol dan NSAID.
Analgetik Opioid
Opioid adalah jenis analgesik dengan potensi analgesia yang kuat dan perlu diberikan pada kondisi nyeri dengan intensitas sedang sampai berat. Beberapa efek samping seperti mual muntah, pruritus, sedasi dan depresi nafas (walaupun sangat jarang) dapat dihindari dengan penggunaan dosis opioid yang sesuai dengan melakukan titrasi dari awal. Selain itu pemilihan penggunaan jenis opioid juga menentukan terjadinya efek samping yang bisa terjadi.
Ada kemungkinan bahwa efek depresi napas oleh opioid dapat menghasilkan dampak positif terhadap gejala pasien dengan infeksi Covid-19 karena opioid menurunkan dorongan untuk bernapas dengan mempengaruhi respon batang otak terhadap hipoksia dan hiperkapnia secara langsung.
Efek samping lain sehubungan dengan pasien Covid-19 adalah efek imunosupresif dari opioid yang dikhawatirkan dapat menyebabkan penurunan fungsi imun seperti yang biasa didapatkan pada penggunaan opioid dalam jangka waktu lama. Dalam hal ini dapat dipertimbangkan penggunaan jenis opioid yang kurang imunosupresif dibanding yang lain misalnya buprenorphine, hydromorphone, oxycodone dan tramadol dibanding opioid yang lebih imunosupresif, misalnya kodein, methadone, morfin, fentanyl, dan remifentanil.
Hingga saat ini masih belum ada hubungan yang jelas antara penggunaan opioid dan eksaserbasi gejala Covid-19 sehingga analgesik opioid masih digunakan dalam penanganan nyeri dengan intensitas sedang dan berat pada pasien Covid-19 terutama pada penatalaksanan jalan nafas seperti tindakan intubasi dan analgesia selama pemberian ventilasi mekanik.
Obat | Mekanisme kerja | Dosis | Efek samping | Pertimbangan perawatan |
---|---|---|---|---|
Fentanyl | Agonis reseptor mu-opioid | Dosis intermiten: 0,35–0,5 mcg/kgBB IV setiap 0,5-1 jam. Infus: 0,7-10 mcg/kgBB/jam IV | Kekakuan dinding dada dengan infus cepat | Pembersihan yang berkepanjangan dan tidak dapat diprediksi dapat melampaui infus penghentian Risiko hipotensi lebih rendah dari morfin Akumulasi pada disfungsi hati Tambalan fentanil adalah alternatif tetapi pertimbangkan masalah penyerapan (onset dan offset) |
Morfin | Agonis reseptor mu-opioid | Dosis intermiten: 2–4 mg IV setiap 1–2 jam Infus: 2–30 mg / jam IV | Hipotensi Bradikardia | Metabolit dapat menumpuk pada disfungsi ginjal Akumulasi morfin-6-glukuronida dapat menyebabkan sedasi dan morfin-3 glukuronida dapat menyebabkan neurotoksisitas Morfin enteral adalah alternatif selama kekurangan terapi IV: konversi PO perlu dipertimbangkan untuk dosis |
Hydromorphone | Agonis reseptor mu-opioid | Dosis intermiten: 0,2–0,6 mg IV setiap 1-2 jam. Infus: 0,5-3 mg/kgBB/jam IV | Hipotensi | 5-7 kali lebih kuat daripada morfin Akumulasi hidromorfon-3-glukuronida pada disfungsi ginjal dapat menyebabkan neurotoksisitas |
Remifentanil | Agonis reseptor mu-opioid | Dosis loading: 1,5 mcg/kgBB IV Infus: 0,5-15 mcg/kgBB/jam IV | Hipotensi Kekakuan dinding dada | Pantau gejala putus obat opiat selama 24 jam setelah menghentikan remifentanil Gunakan berat badan sebenarnya. Gunakan IBW jika berat badan pasien sebenarnya 130%> IBW Tidak ada akumulasi pada gagal hati / ginjal Dapat menyebabkan sindrom serotonin dengan penggunaan bersamaan dengan agen serotonergik |
Sufentanil | Agonis reseptor mu-opioid | Infus: 0,3-1,5 mcg/kgBB/jam | Bradiaritmia Hipotensi | Dapat menyebabkan sindrom serotonin dengan penggunaan bersamaan dengan agen serotonergik 5-10 kali lebih kuat daripada fentanyl Enteral tersedia sebagai alternatif (perhatikan konversi untuk dosis ekuipoten) |
Alfentanil | Agonis reseptor mu-opioid | Dosis loading: 50 mcg/kgBB IV Infus: 0,5-1,5 mcg/kgBB/jam | Hipotensi | Gunakan berat badan sebenarnya. Gunakan IBW jika berat badan pasien sebenarnya 130%> IBW 5 kali lebih kuat daripada fentanyl Dapat menyebabkan sindrom serotonin dengan penggunaan bersamaan dengan agen serotonergik |
Oxycodone | Agonis reseptor mu-opioid | Dosis oral: 5-20 mg tiap 4-6 jam | Hipotensi | Konsentrasi serum meningkat 50% pada pasien dengan CrCl < 60 mL / menit Interaksi obat dengan inhibitor CYP3A4 JANGAN menghancurkan formulasi pelepasan terkontrol Perhatian dengan konversi ke dosis ekuipoten |
Metadon | Agonis reseptor mu-opioid, antagonis reseptor NMDA | Dosis oral: 10-40 mg tiap 6-12 jam Dosis intermiten: 2,5-10 mg IV tiap 8-12 jam | Perpanjangan interval QTc | Waktu paruh yang panjang Efek berkepanjangan dengan disfungsi hati dan ginjal Dapat menyebabkan sindrom serotonin dengan penggunaan bersamaan dengan agen serotonergik Waktu paruh eliminasi tidak sesuai dengan durasi singkat dari efek analgesik Hati-hati dengan pemberian bersama dengan obat lain yang memperpanjang QTc |
Gabapentin | Modulasi kanal kalsium | Dosis oral: 900-3600 mg/hari terbagi TID-QID | Edema perifer | Kurangi dosis berdasarkan CrCl |
Karbamazepin | Penghambat kanal natrium | 200-1200 mg/hari terbagi BID-TID | Hiponatremia tergantung dosis Stevens-Johnson sindrom / toksik epidermal nekrolisis Agranulositosis | Pertimbangkan pengurangan dosis 25% pada gangguan ginjal berat (CrCl <10 ml / menit) Pertimbangkan pengurangan dosis: menjalani metabolisme hati yang ekstensif |
Pregabalin | Modulasi kanal kalsium | Dosis oral: 150-600 mg/hari terbagi TID-QID | Edema perifer | Kurangi dosis berdasarkan CrCl |
Ketorolac | Inhibisi COX-1 dan COX-2 yang reversible | Dosis intermitenL 15-30 mg IV/IM setiap 6 jam sampai 5 hari | Risiko gagal ginjal dan perdarahan | Hindari OAINS pada disfungsi ginjal, perdarahan gastrointestinal dan kelainan trombosit |
Ibuprofen | Inhibisi COX-1 dan COX-2 yang reversible | Dosis oral: 400 mg setiap 4 jam (maks 2,4 g/hari) Dosis intermiten: 400-800 mg IV tiap 6 jam (maks 3,2 g/hari) | Risiko gagal ginjal dan perdarahan | Hindari OAINS pada disfungsi ginjal, perdarahan gastrointestinal dan kelainan trombosit |
Lidokain | Penghambat kanal natrium | Dosis loading: 1,5 mg/kgBB Infus: 0,5-2,5 mg/kgBB/jam | Bradikardia Hipertensi Hipotensi Penglihatan kabur Tremor | Pantau kadar obat (normal <4 mcg / mL, tingkat toksik> 5 mcg / mL) Waktu paruh diperpanjang dengan gagal jantung kongestif, penyakit hati, syok, dan gangguan ginjal |
Kesimpulan
Saat ini kita sedang dirundung masalah pandemi yang belum terlihat akan berlalu dalam waktu singkat. Sayangnya, sampai saat ini belum ada terapi khusus yang sangat efektif yang bisa mengurangi kesakitan maupun kematian secara signifikan. Walaupun demikian, dengan pemberian terapi suportif yang baik dan pelaksanaan protokol kesehatan yang ketat, dapat mempercepat proses jalan keluar dari keadaan pandemi Covid-19 ini.
Referensi
- Burhan E, Susanto AD, Nasution SA, Ginanjar E, Pitoyo CW, Susilo A, et al. Pedoman tatalaksana Covid-19. 3rd ed. Burhan E, Susanto AD, Isbaniah F, Nasution SA, Ginanjar E, Pitoyo CW, et al., editors. Jakarta: PDPI, PERKI, PAPDI, PERDATIN, IDAI; 2020.
- Pinzón MA, Ortiz S, Holguín H, Betancur JF, Arango DC, Laniado H, et al. Dexamethasone vs methylprednisolone high dose for Covid-19 pneumonia. PLoS One. 2021;16(5 May):1–13.
Seorang dokter, saat ini sedang menjalani pendidikan dokter spesialis penyakit dalam FKUI. Peminat berbagai topik sejarah dan astronomi.