Sebagai negara tropis, kita sering berhadapan dengan kasus gigitan ular. Mungkin di perkotaan kasusnya cukup jarang namun di daerah rural masih sering ditemukan. Pada kesempatan kali ini kita akan membahas mengenai penatalaksanaan kasus gigitan ular.
Daftar Isi
Profil Ular Berbisa di Indonesia
Terdapat sekitar 2800 spesies ular dengan 320 diantaranya penting untuk manusia. Terdapat tiga famili ular berbisa yang utama yaitu Atractaspididae, Elapidae, dan Viperidae. Clobidrae merupakan famili ular terbesar namun untungnya mayoritas tidak berbahaya walaupun terdapat beberapa laporan kasus envenomisasi dari gigitan ular famili tersebut.
Dua Kelompok Besar Ular Berbisa: Barat dan Timur
Adapun di Indonesia, jenis ular berbisa terbagi ke dalam dua kelompok. Pertama adalah kelompok Indonesia bagian barat, di sebelah barat dari garis Wallace (Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Kepulauan Sunda). Kelompok ini secara garis besar mirip dengan ular berbisa dari wilayah Asia.
Kelompok kedua adalah Indonesia Timur, meliputi wilayah bagian timur dari garis Wallace (Papua dan Maluku). Ular berbisa dari kelompok ini serupa dengan ular dari wilayah Australo-Papua.
Pengelompokan Ular Berbisa Berdasarkan Klasifikasi WHO
Adapun menurut WHO, spesies ular dibagi dua kategori berdasarkan posisi penting ular tersebut dalam dunia medis. Kategori pertama terdiri dari ular dengan bisa yang sangat berbahaya dan secara medis penting, penyebarannya luas, dan menyebabkan mortalitas dan morbiditas tinggi. Adapun kategori kedua adalah kelompok ular yang tidak terlalu penting secara medis.
Ular Berbisa Klasifikasi 1 WHO Wilayah Barat
Ular berbisa di Indonesia bagian barat yang masuk ke kategori pertama dari WHO terdiri dari famili Elapidae dan Viperidae. Dari famili Elapidae terdapat spesies ular Bungarus candidus, Naja sputatrix, dan Naja sumatrana.
Bungarus candidus atau dikenal dengan nama ular weling merupakan ular nokturnal yang biasa menggigit di malam hari. Ular ini terkenal dengan efek bisa neurotoksik (LD50) 3,5 µg per tikus sehingga merupakan salah satu ular dengan bisa terkuat.
Adapun speses Naja lebih dikenal sebagai ular kobra. Ular ini dikenal dengan kemampuan meludahkan bisa yang bila terkena mata menyebabkan venom ophtalmia.
Dari Viperidae yang masuk ke dalam WHO kategori 1 adalah Daboia siamensis, Cryptelytrops albolabris, dan Calloselasma rhodostoma. Ciri dari ular viper adalah bentuk kepala segitiga, sisik yang berkilat kehijauan, dan pupil yang eliptikal dan berposisi vertikal. Nama lokal untuk ular ini adalah ular hijau.
Daboia siamensis hidup di daerah pertanian dan biasa tinggal di bebeatuan dan daerah bersemak. Ular ini bersifat nokturnal, bergerak lambat, dan berusara “hiss” yang keras serta dapat menyerang secara agresif apabila diganggu.
Calloselasma rhodostoma atau nama lainnya ular tanah, ular biludak, atau ular gibug merupakan ular berbadan tebal dan dapat tumbuh sampai panjang 1,10 m. Ular ini banyak ditemui di hutan dataran rendah. Untungnya ular ini tidak terlalu agresif.
Ular Berbisa Klasifikasi 1 WHO Wilayah Timur
Di daerah timur dari garis Wallace yang masuk kategori 1 WHO adalah Acanthopis laevis. Ular ini masuk ke dalam famili Elapidae dan mendapat julukan eastern death adder. Hidup di berbagai habitat seperti padang rumput, hutan hujan, dan sebagainya. Tubuhnya biasanya pendek namun dapat tumbuh mencapai satu meter. Jika berpapasan, ular ini biasanya relatif berdiam diri namun apabila disentuh dapat mematuk dengan cepat.
Epidemiologi Kasus Gigitan Ular di Indonesia
Walaupun kasusnya cukup sering, namun gigitan ular merupakan salah satu kasus medis yang agak “terlupakan”. Secara global diperkiraka dalam satu tahun terdapat 1,2 juta sampai 5,5 juta kejadian dengan kejadian envenomasi sekitar 421.000 – 1.841.000 kasus. Kematian yang disebabkan kasus gigitan ular sekitar 20.000 – 94.000 kematian per tahun.
Perkiraan ini didasarkan atas laporan kasus dan kemungkinan angka yang sesungguhnya lebih besar. Perlu diketahui bahwa banyak kasus gigitan ular terjadi di daerah pedesaan dan banyak yang diobati secara tradisional sehingga banyak yang tidak tercatat.
Adapun data epidemiologi di Indonesia mengenai kasus gigitan ular secara nasional sama sekal tidak ada. Data epidemiologinya sangat jarang dan kebanyakan berupa laporan kasus di rumah sakit. Antara tahun 1996-1998 dilaporkan terdapat 180 kasus gigitan ular di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung. Di RS Cipto Mangunkusumo dilaporkan terdapat 42 kasus gigitan ular antara tahun 2004-2009 dengan 17 pasien mengalami gejala envenomasi.
Menurut pengalaman penulis sendiri di Puskesmas daerah pedesaan di Jawa Barat, kasus gigitan ular ini apabila sedang tinggi dapat mencapai dua sampai tiga kasus per minggu. Data epidemiologi ini sangat penting sebenarnya agar dapat mempersiapkan logistik terutama untuk penyediaan serum anti bisa ular yang tepat.
Manifestasi Klinis Gigitan Ular
Manifestasi atau gejala klinis gigitan ular berbeda tergantung dari tipe bisa. Reaksi racun atau envenomasi dapat berupa reaksi lokal atau bahkan gejala sistemik yang fatal. Reaksi ini tergantung lokasi gigitan dan jumlah bisa yang masuk.
Gigitan ular pit viper dapat menyebabkan reaksi lokal seperti nyeri, bengkak, dan nekrosis yang dapat menyebabkan kehilangan jaringan atau bahkan amputasi. Efek sitotoksik dan miotoksik bisa dapat menyebabkan rhabdomiolisis yang dapat memicu gagal ginjal akut. Bisa Crotaline terutama merusak sel endotel sehingga menyebabkan plasma leakage yang berlanjut menjadi syok hipovolemik.
Gejala Neurotoksik
Ular kobra, weling, dan ular laut dikenal akan efek neurotoksisitas. Neurotoksin artinya racun terhadap sel atau jaringan saraf akibat pengaruhnya baik terhadap sinpas maupun presinaps.
Racun presinaptik seperti β-bungarotoxin (β-BuTX) menyebabkan degenerasi nervus motorik, deplesi pembuluh darah sinaptik, dan kerusakan terminal nervus motorik. Adapun neurotoksin pos-sinaptik seperti α-neurotoksin mengikat reseptor asetikolin sehingga menyebabkan blokade neuromuskular.
Nervus kranialis biasanya yang pertama kali mengalami gangguan. Oleh sebab itu, pada keracunan akut biasa terjadi ptosis, kelemahan otot wajah, dan lebih lanjut paralisis dari otot pernapasan apabila bisa yang masuk banyak.
Efek Koagualopati
Perdarahan dilaporkan karena gigitan ular Rhabdopis dan Crotaline. Kasus fatal terjadi baik akibat perdarahan epidural dengan herniasi serebral. Manifestasi perdarahan yang lain adalah ekimosis, hematemesis, melena, dan hematuria.
Perdarahan ini disebabkan oleh proses venom induce consumption coagulopathy (VICC) dan trombositopenia. VICC terjadi karena serine protease dan enzim prokoagulan dalam bisa ular mengaktivasi aktivator faktor V, aktivator ptothrombin, dan thrombin-like enzyme (TLE) sehingga menimbulkan kondisi yang serupa dengan DIC.
Diagnosis Kasus Gigitan Ular
Diagnosis gigitan ular murni diagnosis klinis dengan keluhan dan disertai konfirmasi mengenai gigitan oleh saksi mata. Empat pertanyaan penting yang harus digali saat mengevaluasi pasien adalah sebagai berikut:
- Lokasi gigitan
- Waktu saat kejadian
- Karakteristik dari ular
- Gejala yang timbul
Identifikasi ular sebenarnya sangat penting walaupun sering kali sulit. Biasanya ular berbisa memiliki ciri kepala berbentuk segi tiga (triangular), terdapat organ cerukan sensor suhu, pupil yang berbentuk elips, satu baris sisik subkauda, dan memiliki ciri gigitan dengan satu atau dua tusukan taring.
Adapun ular tidak berbisa biasanya berkepala bundar, pupil bulat, sisi ventral dua baris, dan bentuk gigitan tampak beberapa tusukan kecil dalam satu baris. Untuk lebih jelas, perhatikan gambar di bawah ini:
Pemeriksaan fisis difokuskan kepada tanda vital, manifestasi perdarahan, tempat gigitan termasuk tanda gigitan, memar, dan kelenjar getah bening. Pemeriksaan fisis neurologis terutama nervus kranialis, pemeriksaan motorik, dan sensoris.
Untuk pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah:
- Darah perifer lengkap termasuk hitung jenis
- Elektrolit
- Kreatinin
- BUN atau ureum
- Hemostasis: Waktu perdarahan, waktu pembekuan, PT, aPTT, fibrinogen, D-dimer
- AST dan ALT
- Kreatinin kinase
- Golongan darah
Untuk hemostasis sederhana SEARO menganjurkan tes pembekuan darah 20 menit (20WBCT). Teknik ini menggunakan 2 mL darah dan ditaruh di atas gelas kering. Kemudian setelah 20 menit dilihat apakah darah membeku atau tidak. Apabila tidak membeku maka dicurigai terjadi VICC. Cara ini sederhana dan mudah dilakukan.
Pemeriksaan lainnya yang mungkin diperlukan adalah EKG dan urinalisa untuk melihat glukosuria, proteinuria, dan myoglobinuria.
Penanganan Kasus Gigitan Ular
Penanganan kasus gigitan bisa ular memerlukan pendekatan komprehensif sejak sebelum pasien dirawat di rumah sakit. Hambatan yang banyak dijumpai dapat berupa transportasi, manajemen pertolongan pertama tidak tepat, serta keterlambatan mendapatkan terapi anti bisa menyebabkan perburukan kondisi klinis.
Penanganan Awal/Pertolongan Pertama
Pertolongan pertama penting karena dapat menentukan luaran dari pasien. Prosedur pertolongan pertama yang penting adalah pemberian balut tekan dan imobilisasi.
Balut tekan dapat dilakukan dengan kassa elastik lebar (15 cm) yang dipasang di tempat gigitan dan meliputi seluruh ekstremitas tempat gigitan dengan tekanan yang sama dengan kasus terkilir. Ide untuk bebat ini adalah untuk blokade aliran limpatik tanpa membendung aliran arteri atau vena untuk mempelambat penyebaran bisa.
Banyak cara pertolongan pertama tradisional tidak lagi direkomendasikan karena berpotensi berbahaya. Hal ini termasuk membuat insisi di tempat gigitan ular atau digosok berulang-ulang. Hal ini bisa mempercepat penyebaran bisa. Pemberian kejut listrik, diberikan ramuan, pemasangan tourniquet yang ketat, maupun menyedot luka gigitan juga sebaiknya tidak dilakukan.
Penanganan di Rumah Sakit
Penanganan di rumah sakit seperti yang direkomendasikan oleh ATLS dimana melibatkan pengamanan jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi. Diperlukan pengawasan terhadap perubahan tanda vital dan tanda envenomasi. Pasien juga diberikan kenyamanan untuk mengurangi kecemasan karena kebanyakan kasus gigitan ular disebabkan oleh ular tidak berbisa. Selain itu, setengah kejadian kasus gigitan ular berbisa dimana bisa ular tidak dilepas sama sekali.
Untuk antinyeri dapat diberikan parasetamol atau opioid. Adapun NSAID tidak direkomendasikan karena risiko perdarahan. Pada psien dengan muntah, dianjurkan diposisikan dalam recovery position dengan kepala dimiringkan ke satu sisi untuk mencegah aspirasi. Pada kondisi muntah ini dapat diberikan obat chlorphromazine 25-50 mg.
Pemberian serum anti tetanus juga disarankan diberikan secara rutin pada kasus gigitan ular. Antibiotika juga dapat diberikan karena kemungkinan risiko infeksi. Dari penelitian ditemukan bahwa patogen yang menginfeksi luka gigitan ular dapat bakteri gram negatif seperti Morganella morganii, Aeromonas hydrophila, dan Enterococcus maupun gram positif seperti Staphylococcus aureus. Untuk itu, pemberian antibitoik ciprofloxacin direkomendasikan karena dapat mencakup baik bakteri gram positif maupun negatif.
Pemberian Antidot: Serum Anti Bisa Ular (SABU)
Pemberian antibisa merupakan satu-satunya cara dalam menangani kasus keracunan akibat bisa ular. Akan tetapi terdapat keterbatasan seperti reaksi hipersensitivitas atau alergi serta ketersediaan obat.
Indikasi kuat pemberian anti bisa menurut SEARO adalah adanya abnormalitas hemostatik, tanda neurotoksin, gangguan kardiovaskular, gagal ginjal akut, hemoglobinuria, myoglobinuria, bengkak di tempat gigitan lebih dari setengah ekstremitas dalam 48 jam gigitan, pembengkakan yang cepat, dan pembesaran kelenjar getah bening.
Adapun petunjuk dari Sentra Informasi Keracunan Nasional Badan POM terlebih dahulu luka gigitan dinilai derajatnya sebagai berikut:
Derajat | Venerasi | Luka | Nyeri | Edema/eritema | Gejala sistemik |
0 | 0 | + | +/- | <3 cm/12 jam | 0 |
I | +/- | + | + | 3-12 cm/12 jam | 0 |
II | + | + | +++ | 12-25 cm/12 jam | Neurotoksik, mual, muntah, pusing |
III | + | + | +++ | > 25 cm/12 jam | ++ Petekie, ekimosis, stok |
IV | +++ | + | +++ | > Ekstrimtias | ++ Gagal ginjal akut, perdarahan organ dalam, koma |
- Derajat 0 dan I tidak diberikan SABU kecuali dalam 12 jam terjadi kenaikan derajat
- Derajat II 3-4 vial SABU
- Derajat III 5-15 vial SABU
- Derajat IV ditambahkan 6-8 vial SABU
Cara Pemberian SABU
Pemberian antibisa ini dilakukan secepat mungkin sesuai indikasi klinis. Teknik pemberian yaitu 2 vial (5 mL per vial) dilarutkan dalam NaCl 0,9% 500 mL atau dextrosa 5% dan diberikan secara intravena dengan kecepatan 40-80 tetes per menit. Maksimal pemberian adalah 100 mL SABU (20 vial). Perlu diingat untuk dilakukan tes alergi sebelum diberikan SABU.
Antibisa di Indonesia adalah Biosave® yang diproduksi oleh Biofarma. Antibisa ini diperoleh dari serum kuda dan merupakan anti bisa polivalen untuk neurotoksin Naja sputatrix, Bungarus fasciatus, dan hematoksin dari Agkistrodon rhodostoma.
Cara lain pemberian adalah dua vial diencerkan oleh NS menjadi larutan konsenterasi 2% yang kemudian diinfus dengan kecepatan infus 40-80 tetes per menit. Dosis selanjutnya dapat diberikan 6 jam kemudian. Apabila tetap ada tanda envenomasi, maka dapat diberikan setiap 24 jam dengan dosis maksimal 80-100 mL. Anti bisa yang tidak diencerkan dapat diberikan namun dengan kecepatan infusan yang sangat lambat.
Perlu dicatat bahwa SABU ini tidak efektif terhadap bisa ular dari Indonesia Timur seperti Acanthopis antarticus, Xyuranus scuttelatus, Pseudechis papuanus, dan juga Enhydrina cystsa. Untuk itu di Indonesia bagian timur digunakan antibisa produksi Australia.
Penanganan Kondisi Khusus pada Kasus Gigitan Ular
Dalam menangani kasus gigitan ular terdapat beberapa kondisi klinis yang khusus yang memerlukan perhatian. Berikut penjelesannya:
Venom Induce Consumption Coagulopathy (VICC)
Pada kondisi VICC, pemberian anti bisa merupakan hal yang utama. Anti bisa akan mengikat bisa dan menetralisirkan racun tersebut. Tetapi terkadang walaupun sudah diberikan anti bisa, VICC tetap berlangsung. Hal ini dikarenakan ketika kaskade koagulasi sudah diaktivasi sulit untuk dihentikan. Oleh sebab itu, pemberian anti bisa lebih baik jika diberikan seawal mungkin.
Pada perdarahan yang berat terkadang diperlukan pemberian transfusi faktor koagulasi yang dapat berupa FFP, cryoprecipitate, atau transfusi whole blood. Penelitian di Australia menunjukan pemberian FFP setelah antibisa dapat membantu mengganti faktor koagulasi. Adapun pemberian heparin pada VICC tidak didukung oleh bukti yang kuat dan hasil dari pemberian heparin beragam sehingga heparin tidak direkomendasikan oleh WHO diberikan untuk kondisi VICC.
Neurotoksisitas
Jika terdapat tanda neurotoksisitas, pemberian SABU juga sangat penting. Terkadang diperlukan intubasi dini untuk mengamankan jalan napas terutama apabila ada gangguan saraf bulbar. Pemberian percobaan dengan kolinesterasi dapat membantu dan dapat digunakan jika ada tanda neurotoksisitas. Contohnya adalah edrophonium atau neostigmine IM 0,02 mg/kg berat badan. Atropine dapat diberikan sebagai premedikasi pemberian neostigmine.
Neurotoksisitas
Apabila terjadi gagal ginjal akut, maka kematian dapat mencapai 15-20%. Oleh sebab itu, lakukan evaluasi oliguria, hematuria, dan proteinuria. SABU tetap menjadi terapi penting dan apabila dibutuhkan maka dapat dilakukan hemodialisa. Apabila ada myoglobinuria, maka bersihan ginjal harus dipercepat baik dengan pemberian mannitol dan natrium bikarbonat. Namun pemberian ini tidak boleh diberikan apabila gagal ginjal akut disebabkan efek hipervolemia dan hiperosmolaritas.
Sindrom Kompartemen
Deteksi sindrom kompartemen di tempat gigitan penting dilakukan. Pemberian antibisa dapat mengurangi tekanan jaringan dan mionekrosis. Fasciotomi bukan pilihan utama dan hanya dilakukan apabila tidak membaik dengan pemberian antibisa.
Pencegahan Gigitan Ular
Pencegahan gigitan ular dapat berupa penghindaran tempat habitat ular seperti tempat dengan rumput tinggi, tempat bersemak, rawa, dan lubang di tanah. Adapun alat pelindung diri berupa memakai celana panjang yang tidak ketat, dan sepatu boot. Apabila berjalan dimalam hari, dianjurkan memakai lampu senter.
Profil Serum Anti Bisa Ular (SABU) di Indonesia
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa satu-satunya antibisa ular di Indonesia adalah Biosave produksi Biofarma. Dari analisa, didapatkan komposisi SABU adalah sebagai berikut:
Adapun menilik aktivitas imunologis (immunological binding activity) dari SABU dibandingkan dengan NPAV dan HPAV dari Thailand diperoleh hasil sebagai berikut:
Efektivitas SABU
Walaupun SABU telah lama dipakai di Indonesia, namun uji efektivitas dari anti bisa ini masih terbatas. Dari penelitian di atas, peneliti berpendapat:
This study unveiled the proteome of the Indonesian antivenom SABU, verifying that it is an F(ab’)2 antivenom product that also contains a significant amount of protein aggregates and contaminant albumins. The presence of substantial amount of protein aggregates and albumins is of serious safety concern as these components are known risk factors of hypersensitive reaction.
The inadequate efficacy of SABU could be due to the presence of other “junk proteins” and non-specific F(ab’)2 that do not react with the toxin antigens concerned. On the other hand, while antivenom neutralization against cobra and krait toxins (especially the low molecular mass alpha-neurotoxins) is known to be limited, such “weakness” of antivenom is in particular serious for SABU, judging from its feeble neutralization against the venoms of N. sputatrix and B. candidus, two medically important species in Java – the most densely inhabited island of Indonesia. Tan CH, et al Sci Rep. 2016 Dec 21;6(1):37299.
Dari penelitian di atas, didapat bahwa SABU produksi Indonesia masih memiliki banyak kelemahan. Diantaranya adalah tingginya protein kontaminan yang bisa mempertinggi reaksi alergi dan masih kurangnya efikasi atau aktivitas terutama terhadap ular berbisa penting seperti N. sputatrix dan B. candidus. Hal ini tentu harus mendorong proses pemurnian protein yang lebih baik dan mengembangkan antibisa yang memiliki efikasi yang lebih luas terhadap bisa ular yang secara medis penting di Indonesia.
Kesimpulan
Kasus gigitan ular masih sangat relevan terutama di daerah pedesaan atau pertanian di Indonesia. Walaupun demikian, penanganan kasus ini masih terkendala logistik serta transportasi pasien. Selain itu, serum anti bisa ular yang ada di Indonesia belum mencakup anti bisa yang bereaksi terhadap bisa ular dari wilayah Indonesia bagian timur. Bahkan, efektivitas dan efikasi dari SABU ini juga dirasa masih memerlukan dilakukan penelitian dan perbaikan lebih lanjut.
Referensi
- Adiwinata R, Nelwan EJ. Snakebite in Indonesia. Acta Med Indones. 2015;47(4):358–65.
- Badan POM RI. Pedoman Pelaksanaan Keracunan. http://ik.pom.go.id/v2016/pedoman-penanganan-keracunan
- Tan CH, Liew JL, Tan KY, Tan NH. Assessing SABU (Serum Anti Bisa Ular), the sole Indonesian antivenom: A proteomic analysis and neutralization efficacy study. Sci Rep. 2016 Dec 21;6(1):37299.
Seorang dokter, saat ini sedang menjalani pendidikan dokter spesialis penyakit dalam FKUI. Peminat berbagai topik sejarah dan astronomi.