Puasa pada Dispepsia: Pengaruh Puasa pada Gejala Maag

Cecep Suryani SoburGastroenterologi, Kedokteran Leave a Comment

Dispepsia atau sakit maag merupakan salah satu keluhan penyakit yang paling umum di masyarakat. Umumnya penyakit ini berhubungan dengan pola makan. Saat puasa, tentu terdapat perubahan pola makan yang signifikan. Bagaimana hubungan atau pengaruh puasa pada dispepsia ini? Bagi penderita dispepsia, amankah untuk puasa?

Definisi Sindrom Dispepsia

Dalam pembahasan mengenai dispepsia, dijelaskan mengenai pengertian atau definisi dari penyakit ini. Kali ini akan dikemukakan ulang mengenai definisi dispepsia atau sakit maag.

Dispepsia diartikan sebagai sensasi nyeri atau rasa tidak nyaman yang berpusat di perut bagian atas yang bersifat kronik atau berulang. Rasa tidak nyaman yang dimaksud adalah perasaaan negatif yang bukan nyeri, seperti cepat kenyang dan rasa penuh di perut atas. 

Jadi, tidak hanya rasa perih di sekitar ulu hati saja. Perut begah, kembung, dan rasa cepat kenyang walaupun makan sedikit juga masuk ke dalam gejala sakit maag atau disepesia.

Tanda Bahaya (Alarm Sign) pada Dispepsia

Dispepsia merupakan satu kumpulan gejala atau sindrom. Penyakit ini banyak penyebabnya mulai dari hanya gangguan fungsional sampai penyebab yang sangat serius seperti kanker lambung. Untuk mengetahui adanya penyakit serius tersebut maka perlu dilakukan endoskopi saluran cerna bagian atas.

Esofagoduodenoskopi atau endoskopi saluran cerna bagian atas.
Esofagoduodenoskopi atau endoskopi saluran cerna bagian atas.

Salah satu indikasi untuk dilakukannya endoskopi pada dispepsia yaitu apabila dialami oleh penderita dengan usia 55 tahun ke atas serta terdapat tanda bahaya atau alarm sign yaitu sebagai berikut:

  • Perdarahan saluran cerna (muntah darah, muntah hitam seperti kopi (hematemesis), atau buang air besar seerti oli (melena))
  • Anemia
  • Mudah kenyang
  • Penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas (>10% dari berat badan asal)
  • Disfagia progresif (sulit menelan yang semakin parah)
  • Nyeri menelan (odinofagia)
  • Muntah terus-menerus atau persisten
  • Memilki saudara atau anggota keluarga dengan penyakit kanker lambung atau kerongkongan
  • Sebelumnya memiliki riwayat penyakit ulkus atau tukak peptikum
  • Limfadenopati atau terdapat pembesaran kelenjar getah bening
  • Ada massa atau tumor di perut

Puasa pada Dispepsia dengan Alarm Sign

Disebabkan adanya potensi penyakit serius, maka untuk dispepsia dengan alarm sign maka difokuskan terlebih dahulu untuk dilakukan endoskopi secepat mungkin. Untuk puasa sebaiknya dibahas terlebih dahulu dengan dokter yang menangani karena ada kemungkinan puasa dapat memperburuk kondisi fisik pada kondisi ini.

Hal yang penting dilakukan dalam kondisi ini adalah menyingkirkan kemungkinan penyakit serius atau sesegera mungkin mendeteksi penyakit serius terutama kanker. Oleh sebab itu, fokuskan terlebih dahulu pada endoskopi sedangkan untuk puasa harus disesuaikan dengan kondisi pasien per pasien.

Puasa pada Penderita Tukak atau Ulkus Peptikum

Setelah melakukan endoskopi baik pada dispepsia usia >55 tahun atau dengan tanda bahaya, maka seringkali didapatkan adanya tukak lambung atau ulkus peptikum. Bagaimana pada kelompok pasien ini, apakah boleh berpuasa?

Mari kita lihat data dari penelitian. Beberapa penelitian melihat bagaimana efek puasa terhadap beberapa parameter berikut:

PenelitianParameterHasil observasi
Amine EM, et al. J Res Med Sci. 2013;18:230.Kejadian perdarahan saluran cerna saat bulan RamadhanAda peningkatan, secara statistik tidak signifikan
Chandra E, et al. Indones J Gastroenterol Hepatol Dig Endosc. 2013;14(2).Gejala dispepsia dengan pemberian omeprazole pada orang berpuasaOmeprazole mengurangi gejala dispepsia pada orang berpuasa
Gokakin AK, et al. Arab J Gastroenterol. 2012;13(4):180–3.Gejala nyeri ulu hati pada penderita tukak lambungPada puasa gejala nyeri ulu hati bertambah
Hakkou F, et al.Gastroenterol Clin Biol. 1994:190–4.Ekspresi atau pengeluaran asam lambung dan pepsin.Pada orang berpuasa terjadi peningkatan asam lambung dan pepsin
Hosseini-asl K, et al. Am J Gastroenterol. 2002 Sep;97(9):2471–2.Observasi penderita ulkus peptikum yang berpuasaDengan meminum obat, penderita dengan ulkus peptikum aktif aman untuk berpuasa
Iraki L, et al. Gastroenterol Clin Biol. 1997;21:813–819.Kadar pH lambungKeasaman lambung orang berpuasa meningkat
Penelitian mengenai penyakit ulkus peptikum dan puasa

Dari penelitian-penelitian di atas ada beberpa hal yang dapat kita kita ambil kesimpulan:

  • Puasa meningkatkan produksi asam lambung, tingkat keasaman, dan pepsin. Hal ini dapat berpotensi memperberat tukak lambung dan memang terjadi peningkatan gejala maupun kejadian perdarahan saluran cerna saat puasa.
  • Dengan pemberian obat PPI, gejala dispepsia selama puasa dapat berkurang
  • Penderita tukak lambung aktif yang dalam pengobatan aman untuk berpuasa.

Jadi secara garis besar, apabila terdapat tukak lambung, maka untuk berpuasa harus disertai dengan pemberian obat yaitu proton pump inhibitor (PPI) seperti omeprazole, lansoprazole, paroprazole, esomeprazole, dan sebagainya.

Puasa pada Dispepsia Tanpa Tanda Bahaya dan Dispepsia Fungsional

Pada penderita dispepsia atau sakit maag tanpa tanda bahaya atau sudah melakukan endoskopi dan hasilnya normal atau radang yang ringan, maka kemungkinan menderita dispepsia fungsional. Umumnya pada kondisi ini aman untuk berpuasa tetapi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

  • Terapi standar pada pasien ini umumnya berupa pemberian obat proton pump inhibitor (PPI)
  • Pemeriksaan infeksi Helicobacter pylori dilakukan saat endoskopi atau dengan urea breath test (UBT) di daerah dengan tingkat infeksi H. pylori >10%
  • Pada dispesia nonfungsional, banyak ditemukan hipomotilitas dari antral, atau kurangnya pergerakan lambung
  • Makanan tinggi lemak dapat mencetus lebih banyak gejala dispepsia dari makanan tinggi karbohidrat.

Jadi, pada dispepsia fungsional tetap disarankan menjalani puasa dengan bersama-sama diberikan terapi berupa PPI. Pada beberapa pasien dengan hipomotilitas, puasa dapat memperbaiki gejala sehingga puasa bisa membantu mengurangi gejala dispepsia. Selama puasa saat sahur dan berbuka hindari untuk mengonsumsi makanan tinggi lemak.

Obat-obatan Lain

Selain PPI, obat penekan asam lambung lainnya adalah H2RA seperti cimetidine dan ranitidine. Pada penyakit ulkus peptikum sebaiknya dipakai PPI adapun untuk dispepsia fungsional atau tanpa tanda bahaya, H2RA dapat digunakan.

Obat-obatan prokinetik juga bisa digunakan untuk dispepsia fungsional. Cisapride yang dahulu banyak beredar sekarang tidak bisa digunakan lagi karena potensi bahaya. Saat ini di Indonesia yang bisa bersifat prokinetik misalnya adalah metoclopramide.

Obat ini selain prokinetik juga merupakan obat anti mual. Namun, efek samping munculnya gejala ekstrapiramidal harus diperhatikan sehingga kurang baik dipakai dalam jangka panjang. Obat anti mual lain yang lebih sedikit memberikan efek samping ekstra piramidal seperti domperidone.

Golongan mukoprotektor juga bisa diberikan untuk mengurangi gejala dispepsia. Obat ini melindungi dinding lambung secara langsung misalnya sucralfat atau menambah daya proteksi mukosa lambung seperti rebamipide dan misoprostol.

Antasida dapat diberikan terutama untuk mengurangi iritasi dan keasaman lambung dengan segera. Perlu juga diperhatikan untuk menghentikan obat-obatan yang bersifat merusak mukosa lambung terutama obat golognan NSAID.

Kesimpulan

Puasa pada dispepsia tergantung dari penyebab dispepsia yang ada pada pasien. Langkah awal adalah tentukan ada tidaknya tanda bahaya atau alarm sign. Pada pasien ini, endoskopi harus menjadi prioritas sebelum ditentukan apakah boleh atau tidaknya puasa. Pada penderita yang diketahui ulkus peptikum, puasa dapat dilakukan selama mengonsumsi obat PPI. Begitu juga dengan dispepsia tanda tanda bahaya dan dispepsia fungsional, puasa juga bisa dilakukan namun tetap disertai dengan konsumsi obat penekan lambung. Perubahan pola makan juga harus diperhatikan terutama menghindari makanan dengan kadar lemak tinggi.

Mengenai penjelasan persiapan penderita sakit maag atau dispepsia menjelang puasa juga dapat disimak di video di bawah ini:

Referensi

  1. Amine EM, Kaoutar S, Ihssane M, Adil I, Dafr-Allah B. Effect of Ramadan fasting on acute upper gastrointestinal bleeding. J Res Med Sci. 2013;18(3):230.
  2. Chandra E, Ndraha S, Wibawa I. Effect of Omeprazole to Dyspeptic Symptom on Ramadan Fasting Patient based on Dyspepsia Symptoms Severity Index Scores. Indones J Gastroenterol Hepatol Dig Endosc. 2013;14(2).
  3. Gokakin AK, Kurt A, Akgol G, Karakus BC, Atabey M, Koyuncu A, et al. Effects of Ramadan fasting on peptic ulcer disease as diagnosed by upper gastrointestinal endoscopy. Arab J Gastroenterol. 2012;13(4):180–3.
  4. Hakkou F, Tazi A, Iraqui L, Celice-Pingaud C, Vatier J. [The observance of Ramadan and its repercussion on gastric secretion]. Gastroenterol Clin Biol. 1994;18(3):190–4.
  5. Hosseini-asl K, Rafieian-kopaei M. Can patients with active duodenal ulcer fast Ramadan? Am J Gastroenterol. 2002 Sep;97(9):2471–2.
  6. Iraki L, Abkari A, Vallot T, et al. Effet du jeûne du ramadan sur le pH intragastrique enregistré sur 24 heures chez le sujet sain [Effect of Ramadan fasting on intragastric pH recorded during 24 hours in healthy subjects]. Gastroenterol Clin Biol. 1997;21(11):813–819.
  7. Pilichiewicz AN, Feltrin KL, Horowitz M, Holtmann G, Wishart JM, Jones KL, et al. Functional dyspepsia is associated with a greater symptomatic response to fat but not carbohydrate, increased fasting and postprandial CCK, and diminished PYY. Am J Gastroenterol. 2008;103(10):2613–23.
  8. Seifi N, Hashemi M, Safarian M, Hadi V, Raeisi M. Effects of Ramadan Fasting on Common Upper Gastrointestinal Disorders ; A Review of the Literature. 2017;3–6.
  9. Stanghellini V, Ghidini C, Ricci Maccarini M, Paparo GF, Corinaldesi R, Barbara L. Fasting and postprandial gastrointestinal motility in ulcer and non-ulcer dyspepsia. Gut. 1992;33(2):184–90.
  10. Talley NJ, Ford AC. Functional Dyspepsia. N Engl J Med. 2015;373(19):1853–63.
  11. Talley NJ, Vakil N. Guidelines for the management of dyspepsia. Am J Gastroenterol. 2005 Oct;100(10):2324–37.

Tinggalkan Balasan