Definisi dan Tatalaksana Krisis Hipertensi

Cecep Suryani SoburGinjal-Hipertensi, Kedokteran Leave a Comment

Hipertensi atau darah tinggi cukup banyak didapatkan pada masyarakat di Indonesia. Salah satu tanda kegawatan pada penyakit darah tinggi adalah krisis hipertensi. Krisis hipertensi merupakan salah satu keadaan gawat darurat dimana tekanan darah naik secara mendadak ke titik ekstrim. Kondisi ini harus diatasi segera untuk mencegah kematian maupun kecacatan. Bagaimana mengenali dan penanganannya? Berikut uraiannya.

Waspada krisis hipertensi apabila tekanan darah > 180/120 mmHg dengan salah satu diantara berikut ini:

  • Pandangan menjadi kabur atau buram
  • Tiba-tiba linglung, meracau, bicara tidak nyambung
  • Tidak sadarkan diri atau kejang
  • Kelemahan tubuh sesisi
  • Sesak napas
  • Nyeri dada atau dada terasa terhimpit benda berat
  • Sedang dalam kondisi hamil trimester 2 atau 3 (tekanan darah > 160/100 mmHg)
Gejala/tandaPresentase kasus (%)
Nyeri kepala 63
Gangguan penglihatan 59
Gejala pencernaan (mual, muntah, penurunan berat badan) 49
Gagal jantung 30
Sequelae neurologis (ensefalopati) 17
Hipertrofi ventrikel kiri 86
Gangguan ginjal berat (kreatinin > 3,4 mg/dL) 33
Gangguan ginjal ringan sedang (kratinin 1,3-3,4 mg/dL) 46
Anemia hemolitik mikroangiopati 28

Krisis hipertensi merupakan satu penyakit yang heterogen yang ditandai tekanan darah yang tinggi dan adanya kerusakan organ atau target organ damage (TOD). Biasanya krisis hipertensi kejadiannya menurun karena mulai baiknya pengobatan. Namun, masih adanya krisis hipertensi ini menandakan bahwa kesadaran dan pengobatan hipertensi masih perlu untuk diperbaiki.

Definisi Krisis Hipertensi

Krisis hipertensi biasanya dibedakan antara hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi. Perbedaannya terletak akan adanya TOD, dimana hipertensi emergensi adalah hipertensi yang tidak terkontrol dengan adanya TOD seperti otak, jantung, ginjal, retina, atau pembuluh darah. Adapun pada hipertensi urgensi tidak ditemukan adanya kerusakan organ. Biasanya krisis hipertensi terjadi jika tekanan darah diastolik melewati 120-130 mmHg dan sistolik 200-220 mmHg. Perlu diingat bahwa kerusakan organ lebih besar pada keadaan dimana tekanan darah naik secara cepat dibandingkan nilai absolut tekanan darah itu sendiri. Artinya, ada pasien dimana pada tekanan darah 190/110 sudah mengalami kerusakan organ karena tekanan darah pasien tersebut naik secara cepat dari normal. Hal ini dapat lihat pada kasus preeklamsia atau eklamsia pada kehamilan dimana tekanan darah > 160/100 sudah dianggap preeklamsia berat dan sudah muncul berbagai macam kerusakan organ. Adapun hipertensi berat didefinisikan dengan tekanan darah antara 180/110 sampai 220/130 mmHg tanpa ada gejala kerusakan organ dan tidak pula dimasukkan kedalam hipertensi urgensi.

Alur singkat tatalaksana krisis hipertensi
BNP, Brain-natriuretic peptide; CT, computerized Tomography; GP, general practitioner; IV, intravenous

Hipertensi Emergensi

Kembali ke definisi, hipertensi emergensi terdiagnosis apabila ada kerusakan yang akut pada otak, ginjal, jantung, retina, dan pembuluh darah. Kondisi ini sebaiknya dirawat inap dengan pengawasan hemodinamik dengan pemberian obat antihipertensi intravena (infus). Kesegeraan untuk menurunkan tekanan darah, target tekanan darah yang harus dicapai, serta waktu yang harus dilalui untuk mencapai target tekanan darah sangat tergantung dari jenis TOD yang terlibat. Oleh sebab itu, sangat penting untuk mengenali atau mengidentifikasi TOD dalam keadaan menghadapi pasien dengan hipertensi emergensi.

Hipertensi emergensi dengan retinopati

Hipertensi emergensi yang paling sering adalah terjadinya retinopati hipertensi grade III dan IV dimana grade III terjadi perdarahan retina bilateral dengan bentuk flamed shaped atau cotton wool spots. Adapun pada retinopati grade IV terdapat gambaran papiledema. Disampig retinopati, biasanya didapatkan pula hemolisis mikroangiopati dan gangguan ginjal. Dalam keadaan ini, pengobatan yang dianjurkan adalah labetalol karena dapat tetap mempertahankan aliran darah ke otak dibandingkan pemberian nitroprusid. Obat ini memiliki waktu paruh panjang (5,5 jam) sehingga ada potensi hipotensi walaupun obat sudah dihentikan. Alternatif lain adalah nitroprusid, nicardipine, dan urapudil (kombinasi a1-selective adrenergic blocker dan agonis 5HT).

Ensefalopati Hipertensi

Keadaan ini terjadi pada 10-15% pasien hipertensi dengan retinopati hipertensi yang berat namun, tidak semua pula kondisi ensefalopati hipertensi ini disertai dengan retinopati hipertensi. Ciri dari ensefalopati yang terjadi adalah penurunan kesadaran, delirium, agitasi, stupor, kejang, atau buta kortikal. Tanda dan gejala defisit neurologis fokal biasanya tidak dijumpai. Apabila terdapat defisit neurologis fokal besar kemungkinan terdapat stroke.

Untuk diagnosis diperlukan pemeriksaan tambahan berupa CT-scan atau MRI yang menunjukan edema serebral yang biasanya tampak pada bagian posterior dari otak. Terjadinya predileksi posterior karena daerah ini mendapat suplai terutama dari arteri vertebra dimana arteri vertebra lebih sedikit menerima inervasi dari saraf simpatis sehingga tidak mampu mengurangi osilasi dari tekanan darah dibandingkan system karotis. Ensefalopati hipertensi juga dikenal sebagai penyebab dari reversible posterior leuciencephaopathy syndrome (RPLS). Selain hipertensi, RPLS juga berlaitan dengan TTP, sindrom hiperperfusi endarteriektomi karotis, terapi sitotoksik (siklosporin, tacrolimus), dan pemebrian obat antiangiogenik dan proapoptosis seperti bevacizumab dan bortezomib.

Pada kasus ensefalopati hipertensi, terapi harus diberikan secepatnya untuk menurunkan tekanan darah dengan cara yang terkontrol untuk mencegah perburukan saraf dan kerusakan otak yang permanen. Obat yang dianjurkan adalah labetalol karena kemampuan mempertahankan aliran darah ke otak dari pada nitroprusid. Pada kasus kejang, obat anti kejang juga harus diberikan. Apabila pada fase awal penurunan tekana darah terjadi perburukan fungsi saraf, maka patut dicurigai terdapat stroke sumbatan atau perdarahan.

Infark atau Iskemia Miokardial Akut

Pada keadaan krisis hipertensi, terjadi peningkatan afterload dan kebutuhan oksigen jantung yang bisa menginduksi iskemia otot jantung. Suplai oksigen dapat berkurang lebih jauh disebabkan oleh hipertrofi ventrikel dan berkurangnya cadangan aliran coroner. Pada kondisi ini, selain menurunkan tekanan darah, harus dijaga agar tidak terjadi refleks takikardia akibat berkurangnya waktu isi diastolik. Baik labetalol maupun nitrogliseril dapat diberikan pada krisis hipertensi dengan infark miokard akut. Jika pasien mendapat nitrogliserin, diperlukan tambahan β-blocker terutama dalam keadaan takikardia. Nitroprusside menyebabkan pengurangan aliran darah coroner regional dan dapat menambah kerusakan otot jantung karena iskemia.

Gagal Jantung Akut

Pada keadaan ini. nitroprusside merupakan pilihan pertama karena mampu menurunkan pre dan afterload jantung secara cepat. Nitrogliserin juga dapat dipilih walaupun efeknya pada penurunan tekanan darah yang diinginkan biasanya melebihi 200 μg/menit. Pemberian loop diuretic dapat membantu mengurangi overload sehingga bisa menurunkan tekanan darah lebih jauh lagi.

Stroke Akut Iskemik atau Hemoragik

Pada fase akut stroke iskemik, untuk mencegah komplikasi lebih lanjut, teknan darah diturunkan bilan > 220/120 mmHg. Untuk mempertahankan perfusi dari penumbra dan mencegaj hipoperfusi akibat autoregulasi dari otak, maka penurunan tekanan darah tidak boleh melebihi 15%. Apabila pada stroke iskemik direncakan untuk trombolitik, maka tekanan darah ditargetkan < 185/110 mmHg. Dalam kasus stroke perdarahan, tekanan sistolik diturunkan < 180 mmHg dan MAP < 130 mmHg. Labetalol adalah pilihan utama dengan nitroprusside atau nicardipine sebagai pilihan alternatif.

Diseksi Aorta

Kondisi diseksi aorta memerlukan penurunan tekanan darah segera sehingga sistolik 100-110 mmHg atau nilai terendah yang dapat ditoleransi. Untuk mencapai hal tersebut, diperoleh dengan kombinasi nitroprusside dengan esmolol atau metoprolol. Labetalol bolus dapat digunakan sebagai alternatif namun kekurangannya adalah karena waktu paruh yang lama maka koreksi cepat tekanan darah dalam keadaan hipotensi tidak dilakukan dalam waktu cepat.

Krisis Adrenergik

Krisis adrenergic adalah situasi dimana krisis hieprtensi disebabkan oleh katekolamin baik karena factor endogen (pheochromocytoma, penghentian clonidine) atau eksogen (XTC, kokain, amfetamin). Obat terpilih adalah ohenoxybenzamine, non-competitive α-blocking agent, atau phentolamine (competitive α-blocking). Beta blocker dapat ditambahkan namun hanya jika sudah diberikan α-blocker.

Pada manajemen perioperative pheochromocytoma, nitroprusside atau urapidil bisa digunakan. Labetalol dapat menyebabkan serangan hipotensi pada saat operasi sehingga kurang cocok digunakan untuk manajemen perioperatif pheochromocytoma.

Untuk toksikasi kokain, XTC, atau amfetamin, pemberian obat ansiolitik adalah pilihan Utama dan phentolamine ditambahkan bila hipertensi tetap ada setelah benzodiazepine diberikan. Apabila kemudian muncul iskemia jantung, dapat diberikan nitrogloserin atau verapamil. Aspirin juga diberikan untuk mencegah thrombosis sekunder akibat trauma reperfusi.

Hipertensi Perioperatif

Pada pembedahan, hipertensi etrjadi akibat aktivitas simpatis, pemberian obat vaskokonstriksi, ekspansi volume, atau dihentikannya obat tekanan darah sementara menjelang prosedur (misalnya karena puasa). Risiko besar adanya hipertensi terutama pada tindakan bedah kardiovaskular dan bedah kranial. Nicardipine direkomendasikan untuk hipertensi pada operasi by pass jantung atau CABG dan kraniotomi. Pada keadaan takikardia, dapat ditambahkan beta blocker.

Krisis Hipertensi pada Kehamilan

Penurun tekanan darah pada kehamilan dengan target TD <165/105 mmHg. Labetalol adalah obat terpilih dengan dikombinasi antihipertensi oral seperti nifedipine OROS atau metildopa. Nadi janin harus dimonitor dan dosis labetalol tidak melebihi 800 mg dalam 24 jam. Aletrnatif pengobatan lain adalah nicardipine.

Pilihan Obat Anti Hipertensi dan Target Tekanan Darah

Di bawah ini adalah tabel rangkuman mengenai kerusakan organ atau target organ damage beserta penanganannya.

Waktu dan target TDRekomendasi pertamaTerapi alternatif
Retinopati, mikroangiopati, gangguan ginjal akutBeberapa jam, NAP -20 sampai -25%LabetalolNitroprusside, nicardipine, urapidil
EnsefalopatiSegera, MAP -20% sampai -25%LabetalolNicardipine, nitroprusside
Diseksi aortaSegera, sistolik <110 mmHgNitroprusside dan esmololLabetalol
Edema paruSegera, MAP 60 mmHg sampai 100 mmHgNitroprusside (dengan loop diuretic)Nitroprusside, urapidil (dengan loop diuretic)
Infark miokardialSegera, MAP 60 mmHg sampai 100 mmHgNitrogliserinLabetalol
Stroke iskemik akut dan TD > 220/120 mmHg1 jam, MAP -15%LabetalolNicardipine, nitroprusside
Stroke perdarahan dan TD sistolik > 180 mmHg atau MAP > 130 mmHg1 jam, TD sistolik <180 mmHg dan MAP <130 mmHgLabetalolNicardipine, nitroprusside
Stroke iskemik akut yang terindikasi tromblitik, TD > 185/110 mmHg1 jam, MAP <15%LabetalolNicardipine, nitroprusside
Intoksikasi kokain/XTCBeberapa jamPhentolamine (dengan benzodiazepine)Nitroprusside
Krisi adrenergikSegeraPhentolamineNitroprusside, urapidil
Hipertensi peri atau pos operatif pada CABGSegeraNicardipineUrapidil atau nitrogliserin
Hipertensi peri atau pos operatif pada kraniotomiSegeraNicardipineLabetalol
Preeklampsia berat atau eklampsiaSegera, TD <160/105 mmHgLabetalol (disertai MgSO4 dan antihipertensi oral)Ketanserin, nicardipine

Adapun pada tabel berikut berisi profil singkat mengenai masing-masing agen antihipertensi yang dipergunakan dalam penanganan krisis hipertensi.

ObatOnsetWaktu paruhDosisKontraindikasi dan efek samping
Esmolol1-2 menit10-30 menit0,5-1 mg/kg bolus; 50-300 mcg/kg/menit sebagai infusAV blok derajat 2 atau 3, gagal jantung, COPD (relatif), bradikardia
Phentolamine1-2 menit3-5 menit1-5 mg; diulang setelah 5-15 menit sampai TD tercapai; 0,5-1 mg/jam sebagai infusTakiaritmia, angina pektoris
Hydralazine10-30 menit-Inisial 10 mg infus IV pelan (dosis inisial maksimal 20 mg); ulangi setiap 4-6 jam bila perluEfek dan durasi tidak bisa diprediksikan, bukan terapi lini pertama untuk kebanyakan kasus
Ketanserin1-2 menit30-60 menit5 mg sebagai bolus, diulang setelah 5 menit (maks 30 mg); 2-6 mg/jam sebagai infusProlong QT, AV blok derajat 2 atau 3, bradikardia, hipokalemia
Labetalol5-10 menit3-6 jam0,25-0,5 mg/kg; 2-4 mg/menit sampai TD tercapai, setelah itu 5-20 mg/jamAV blok derajat 2 atau 3, gagal jantung, COPD (relatif), bradikardia
Nicardipine5-15 menit30-40 menit5-15 mg/jam sebagai infus, mulai 5 mg/jam, ditingkatkan 2,5 mg/jam setiap 15-30 menit sampai tercapai target TD, kemudian diturunkan sampai 3 mg/jamGagal hati
Nitroglycerine1-5 menit3-5 menit5-200 mcg/menit, dinaikan 5 mcg/menit setiap 5 menit
NitroprussideSegera1-2 menit0,3-10 mcg/kg/menit, dinaikan 9,5 mcg/kg/menit setiap 5 menit sampai tercapai target TDGagal hati/ginjal (relatif), intoksikasi sianida
Urapidil3-5 menit4-6 jam12,5-25 mg sebagai bolus; 5-40 mg/jam sebagai infus

Hipertensi Urgensi

Krisis hipertensi tanpa ada gejala gangguan organ dapat diobati dengan antihipertensi oral. Hati-hati dengan penururnan tekanan darah secara tajam seperti pemberian nifedipine sublingual dapat menyebabkan terjadinya iskemia jantung, otak, atau ginjal. Dalam kondisi ini, pemberian amlodipine atau nifedipine OROS dapat menjadi pilihan. Observasi dilakukan dua jam setelah pemberian obat antihipertensi dengan pengukuran tekanan darah interval 15 menit. Target penurunan tekanan darah <180/110 mmHg atau setidaknya <200/120 mmHg. Bila terjadi penurunan tekanan darah yang tajam disertai dengan gejala, maka dapat diberikan bolus NaCl 0,9%. Setelah pasien pulang, dalam tiga sampai lima hari pasien harus datang kembali ke dokter untuk evaluasi lebih lanjut mengenai hipertensi yang diderita.

Kesimpulan

Krisis hipertensi merupakan kegawatdaruratan yang harus dilakukan secara tepat. Secara umum krisis hipertensi dibagi menjadi hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi. Untuk membedakan keduanya adalah dengan mencari adanya target organ damage (TOD). Selain itu, menentukan TOD juga penting untuk menyusun langkah dan target terapi yang akan diberikan kepada pasien.

Sumber

  1. Magee LA, Pels A, Helewa M, Rey E, von Dadelszen P, Hypertension Guideline C, et al. Diagnosis, evaluation, and management of the hypertensive disorders of pregnancy: executive summary. J Obs Gynaecol Can. 2014;36(5):416–38.
  2. Muiesan ML, Salvetti M, Amadoro V, di Somma S, Perlini S, Semplicini A, et al. An update on hypertensive emergencies and urgencies. J Cardiovasc Med. 2015;16(5):372–82.
  3. van den Born BJH, Beutler JJ, Gaillard CAJM, de Gooijer A, van den Meiracker AH, Kroon AA. Dutch guideline for the management of hypertensive crisis — 2010 revision. Neth J Med. 2011 May;69(5):248–55.

Tinggalkan Balasan